Senin, 23 Mei 2022

Menimbang Dua Buku Shalat

AWAL 2008 silam saya dipinjami buku shalat yang judulnya cukup provokatif: “Buat Apa Shalat?”  Melihat judul di kavernya saja membuat saya penasaran untuk membuka dan membaca isi atau kupasan yang terdapat di dalam buku yang ditulis seorang doktor, yang juga intelektual Muslim. Haidar Bagir namanya. Menurut informasi, buku yang diterbitkan Mizan ini kabarnya termasuk best-seller.    

Para pegiat buku dan pembaca buku-buku filsafat Islam atau tasawuf, saya kira pasti mengenal sosok Haidar Bagir. Bila tidak mengetahui, ya sebaiknya mencari tahu di internet atau kepada mereka yang bergelut dalam dunia penerbitan. 

Buku yang memiliki anak judul ”Kecuali Jika Anda Hendak Mendapatkan Kebahagiaan dan Pencerahan Hidup” ini di dalamnya menguraikan tentang pentingnya memahami makna hakiki dibalik shalat seperti ruh (batin) shalat, yang bisa melahirkan kebahagiaan dan pencerahan hidup dan aplikasi sosialnya. 

Intinya, dalam buku ini—seperti yang tertulis di punggung buku—“sebagai jawaban atas kebutuhan eksistensial dan intelektual manusia modern akan kebahagiaan dan pencerahan hidup.” 

Menarik dan sangat substantif, terutama bahasan tentang ruh shalat yang di dalamnya menguraikan fungsi shalat dan shalat yang hakiki. Dalam bagian ini penulisnya, dengan argumen yang mudah dicerna nan cerdas, menegaskan bahwa ibadah shalat tidak bisa digantikan dengan meditasi atau ritual-ritual lainnya; karena di dalam shalat itu terkandung pencerahan. Juga memandu kita bagaimana meresapi ruh shalat melalui pemaknaan dan pengkhayatan para tokoh sufi dan filosof seperti Al-Hujwiri, Ibn Arabi, Abu Thalib Al-Makki, Jalaluddin Rumi, Imam Ghazali, Ibn Al-Qayyim Al-Jawjiyah, Syah Waliyullah Al-Dihlawi, Ibn Sina, dan Ayatullah Khomeini. Buku ini bagi saya—mengutip endorsement Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Jakarta, “lain daripada yang lain, mencerahkan dan transformatif.” 

Begitulah memang isi buku tersebut. Menawarkan sebuah pencerahan dan berupaya memikatnya. Tertarik atau tidak, jatuh pada pembaca. Mengikuti anjuran dalam buku itu atau tidak, kembali ke pembaca. 

Kehadiran buku yang mengulas aspek esoteris Islam memang cukup langka; apalagi buku yang berkaitan dengan aktivitas yang diulang-ulang (lima kali sehari). Meski memang sudah sering dilakukan, tapi jujur saja dengan buku itu saya dapat wawasan baru—pencerahan. Karena selama ini, saat saya melakukan kewajiban shalat baru sekadar aspek eksoteris (lahiriah shalat). Aspek esoterik atau pengkhayatan terhadap isi atau makna tiap gerakan dan bacaan shalat serta posisi hati atau jiwa saat berkomunikasi dengan Allah Ta`ala, belum saya dapatkan. Belum saya rasakan nikmatnya. Mengapa? Jawabannya: saya masih belajar dan termasuk “awam” dalam urusan agama. 

Inti buku yang saya baca itu bahwa ibadah shalat tidak sekadar menjalani rutinitas atau kewajiban semata, tapi merupakan sebuah bentuk penyaksian (musyahadah) atas keagungan dan kebesaran Allah; sehingga dengan itu ia mampu membaca atau melihat-Nya (mukasyafah) karena hijab atau tabir yang menutup kesadarannya telah dibuka-Nya. Biasanya, mereka yang tergolong Nabi dan Rasul serta para wali Allah yang bisa merasakannya. Imam Ali bin Abu Thalib tidak merasakan sakit saat dicabut panah yang menusuk di badannya dalam shalat. Atau Imam Ali Zainal Abidin yang gemetaran ketika wudhu dan mencucurkan air mata dalam sujudnya. Juga kisah lainnya. 

Mengalami, merasakan, dan menikmati “suasana berdua-duaan” dengan Allah melalui shalat, merupakan aspek yang perlu dan harus dihadirkan dalam setiap shalat. Bahkan, dalam setiap gerak, langkah, dengus nafas, kedipan mata, atau aliran darah, sangat harus dihadirkan. Dengan apa? Tentunya dengan zikir dan mengaplikasikan nilai-nilai Ilahiyah dalam keseharian kita. Ini yang saya dapati dari buku tersebut.     

Tapi buku memang sebuah buku. Hanya sebuah panduan semata, karena untuk aplikasi mendapatkan kebahagiaan dan pencerahan dari ibadah mahdhah tersebut tidak semudah yang digambarkan dalam buku. 

Jujur saja bahwa saya mengalami masalah dalam urusan shalat. Hingga saat ini saya masih mengganggap dan merasakan bahwa shalat saya masih terbatas menggugurkan kewajiban. Inginnya sih meningkat pada tingkat kebutuhan. Tapi sangat sulit dan belum terwujud. 

Dalam shalat kadang pikiran saya melayang, melanglangbuana, bahkan menemukan yang sebelumnya saya cari-cari karena hilang atau lupa. Mulut dan bibir saya memang membaca takbir, tasbih, tahmid, surat al-fatihah, dan bacaan lainnya; tetapi pikiran tak tentu, hingga lupa jumlah rakaat yang sudah saya selesaikan. Kadang juga membaca surat al-fatihah saat tasyahud awal; bacaan ruku dibaca saat tahiyat akhir. Jika sedang kacau begitu, saya langsung membaca bacaan yang harus dibaca saat gerakan itu. Bila dalam tasyahud tiba-tiba saja mengalir bacaan rukuk, saya buru-buru istghfar dan langsung membaca bacaan tasyahud. Kejadian itu sering, bahkan dalam setiap shalat. Tidak hanya shalat munfarid, saat berjamaah pun demikian. Kejadian tersebut hingga kini masih terus berlangsung—meskipun sudah mencoba mengikuti panduan shalat khusyuk yang pelatihannya berharga jutaan. 

Meskipun saya mengalami masalah dalam shalat, tapi tidak menyurutkan dalam upaya mencari solusi atau meningkatkan pemahaman tentang shalat. Saya bersyukur pada pertengahan Desember 2008 diberi kesempatan membaca sebuah naskah pra-cetak yang berjudul “Shalat T.O.P (Terjaga Oleh Pengetahuan)”  karya Drs. H. Fatikhin dan H. Muhammad Saifudin, Lc. 

Buku yang akan diterbitkan Penerbit Salamadani Bandung ini isinya terbagi dalam lima: tentang arti shalat dan nilai-nilai  yang terkandung di dalamnya; tata cara pelaksanaan shalat seperti  pra-pelaksanaan, ketika melaksanakan, pascapelaksanaan; menguraikan tentang khusyuk atau substansi shalat;  kemudahan-kemudahan dalam shalat; dan terakhir, membahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh umat Islam dalam ibadah shalat. Tiga bagian terakhir dari buku ini saya anggap menarik dan jarang ada yang membahasnya. Karena bila melihat buku-buku fikih, baik itu terjemahan dari Timur Tengah maupun yang ditulis penulis lokal (Indonesia), kebanyakan hanya mengulas pendapat-pendapat imam mazhab fikih dan dalil-dalil yang berhubungan dengan gerakan dan bacaan shalat.  Mungkin di sini bedanya dengan buku-buku shalat lainnya, termasuk dengan yang disebutkan di awal. 

Bila buku yang pertama berkenaan dengan aspek batin (ruh) dan hakikat shalat serta implikasinya atau dimensi tafsir shalat; sedangkan yang kedua menyajikan aspek zhahir (lahiriah/syariat) serta beberapa keutamaan dan sikap yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam melaksanakan shalat. Bagi saya yang awam, kedua buku tersebut sangat bermanfaat. Selama belum tiba hari kiamat, buku-buku Islam yang bertemakan ibadah dan pemahaman keislaman akan terus diminati dan dibaca orang. Meskipun kita sudah wafat dan kita memiliki buku jenis ibadah tersebut, pasti akan sangat berguna bila diwariskan ke anak cucu kita. Beda dengan buku pelajaran dan buku teknologi serta buku-buku teoritis lainnya, tiap tahun pasti harus berganti menyesuaikan dengan perkembangan zaman. 

Adakah buku abadi lainnya—selain dua sumber Islam dan buku-buku penjelasannya—dalam peradaban dunia?  Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Semoga saja kehadiran buku-buku ibadah dan tentang Islam bisa mencerahkan umat Islam. Amin ya rabbal `alamin. *** (ahmad sahidin)