Kamis, 19 Mei 2022

Kolonialisme Barat dan Perilakunya di Masyarakat Jawa Barat

Setelah kerajaan Mataram runtuh maka Jawa Barat berada dalam masa kuasa kolonialisme. Diawali dengan VOC, Portugis, Belanda, Inggris, kemudian Jepang. Berdasarkan buku Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) karya Karel A. Steenbrink bahwa pihak kolonialis melakukan penjajahan kepada bangsa Indonesia melalui beberapa tahap yang sistematis.

Pertama, orang-orang Belanda (termasuk Portugis) mencari rempah-rempah dan kekayaan alam untuk dimanfaatkan di Eropa dan mencari keuntungan yang bersifat ekonomi. Kedua, setelah menemukan tempat atau daerah yang banyak bahan yang menguntungkan secara ekonomi, mereka menguasai daerah-daerah yang menguntungkan dengan mendekati tokoh-tokoh yang berpengaruh dengan menawarkan kerjasama. Ketiga, mengendalikan tokoh-tokok lokal dan raja serta membiarkan di antara mereka pecah kemudian dengan mudah menggantikan kekuasaan oleh kolonial Belanda. Keempat, dalam posisi berkuasa ini orang-orang Belanda mengenal ajaran Kristen melalui sekolah-sekolah Belanda dan memberikan pendidikan modern dengan etika Kristen kepada calon pejabat atau keluarga bupati yang ditunjuk oleh kolonial Belanda untuk berkuasa. Kelima, mengendalikan gejolak umat Islam dengan memegang kendali tokoh seperti Raden Muhammad Musa oleh KF Holle dijinakan kemudian mampu mengendalikan masyarakat Garut. Snouck Hurgronje berusaha melepaskan Islam dari politik dengan dibantu Hasan Mustapa menyampaikan pada penduduk Muslim untuk lebih meningkatkan diri dalam ritual ketimbang mengurus politik. Gerakan tarekat diawasi karena jumlah anggota yang banyak bisa berpotensi digerakan oleh kiai-kiai. Di Batavia, pemerintah kolonial Belanda menggunakan tokoh Sayid Usman bin Yahya, seorang ulama dan keturunan Arab, yang bekerja untuk KF Holle dan L.W.C van den Berg, menyampaikan melalui ceramah dan tulisan berjudul Manhaj Al-Istiqamah fi ad-Din bi Salamah bahwa tarekat sebagai pusat fanatisme irasional. Kemudian menyebut pemberontakan kaum tarekat di Cilegon yang menyerang orang-orang Eropa sebagai tindakan kebodohan dan tidak termasuk syuhada orang Islam yang meninggal dalam perang tersebut. Keenam, setelah berada dalam kendali maka mereka membentuk “pemerintahan” Hindia Belanda yang menguasai dari berbagai sektor mulai politik, agama, hingga kebudayaan. Dalam kebudayaan, orang Kristen Belanda yang sekaligus pejabat, berupaya memisahkan Islam dengan budaya lokal dengan berusaha memunculkan cerita-cerita Hindu (Steenbrink, 1995: 191-193).

Kolonial Belanda juga membuat aturan larangan naik haji bagi orang Islam. Hal itu dilakukan karena kolonial Belanda mengkhawatirkan adanya kontak orang-orang Islam pribumi dengan ulama di Makkah. Tidak jarang orang yang pulang haji menyebarkan isu untuk lepas dari kaum kafir. Itulah kemudian yang membuat KF Holle (1892-1896) selaku penasihat urusan pribumi mengangkat Raden Muhammad Musa dari Garut sebagai kepala penghulu. Kedekatannya dengan tokoh Islam yang disegani orang Sunda ini, Holle berupaya menjauhkan orang Islam dari bahasa Arab dan Al-Quran. Melalui Raden Musa meminta agar para ajengan untuk menggunakan basa Sunda dan materi ibadah keseharian dalam ceramah daripada mengutip dari Al-Quran. Mengurangi cetakan Al-Quran dengan melaporkan setiap orang yang akan menulis atau mencetak Al-Quran karena bila tetap berkaitan dengan bahasa Arab maka orang akan paham isi agama dan melahirkan fanatisme agama. Bisa dipahami itu dilakukan karena kekhawatiran kolonial munculnya kesadaran dari umat Islam untuk lepas dari penjajah. Holle selaku pejabat Belanda tidak segan-segan memberikan hadiah kepada bupati yang berhasil melarang warganya tidak naik haji. Bupati Cilacap dan Bupati Purwokerto dipuji sebagai pejabat terbaik oleh Holle dan dapat hadiah ketika berhasil mengurangi jumlah santri yang belajar agam dari kiai atau pesantren. Termasuk mengawasi kaum tarekat yang biasa melakukan kumpulan hari tertentu. Pernah Penghulu Cianjur diundang dalam jamuan pesta yang diadakan Asisten Residen Batavia kemudian ditawari minum anggur. Karena seorang Muslim, bupati menolaknya. Namun, orang-orang Belanda memaksakan dengan memasukannya pada mulut bupati tersebut (Steenbrink, 1995: 110).

Karel menyebutkan pernah kejadian reaksioner dari umat Islam atas orang asing yang bersikap tidak baik. Karel menuliskannya dari Jan Huygen van Linschoten (1563-1611) bahwa: 

“Suatu waktu, ketika saya seorang Potugis kebetulan lewat, saya sangat berhasrat melihat ‘gereja’ pengikut Muhammad ini dan ingin mengetahui cara sembahyang mereka. Akan tetapi, penjaga pintu memcegat kami seraya menyuruh membuka sepatu. Ketik kami menolak membuka sepatu, ia berkata bahwa kami tidak diperbolehkan memasuki ‘gereja’ dengan bersepatu, namun ia tetap memperkenankan kami berdiri di pintu masuk sehingga kami dapat melihat ke dalam; dan ia juga membukakan beberapa jendela dari dalam sehingga kami dapat menyaksikan dengan jelas apa yang sedang berlangsung. Lalu orang Portugis bertanya kepadanya: di manakah tuhan dan orang-orang suci yang mereka sembah. Sebab, sebagaimana telah dikemukakan, ia melihat ‘gereja’ itu sama sekali tanpa patung-patung. Orang Moor itu menjawab bahwa mereka tidak menyembah kayu dan batu melainkan menyembah Tuhan Yang Hidup yang berada di surga. Lebih lanjut ia berkata, ‘kalian orang-orang Portugis Kristen dan orang kafir adalah sama: kalian menyembah patung-patung yang kalian buat sendiri dan mempersembahkan rasa hormat kepadanya yang semestinya hanya layak untuk Tuhan yang Hidup lagi Mahakuasa.’ Jawaban ini menyebabkan orang Portugis itu menjadi sangat marah dan mulai melontarkan kata-kata cacian kasar, sehingga sekelompok orang Moor dan India pun berkerumun. Hal ini sudah barang tentu dapat menimbulkan kericuhan besar seandainya saya tidak meminta maaf dan memaksa orang Portugis itu pergi dari situ. Lalu kami pergi dan itulah semua yang perlu dilaporkan” (Steenbrink, 1995: 26-27). *** (ahmad sahidin)