Jumat, 27 Mei 2022

Awal Mula Tasawuf

Sejarah tasawuf tidak jelas kapan lahirnya. Ada yang menyatakan pada masa Nabi Muhammad saw, para penempuh jalan tasawuf sudah dilakukan keluarga Nabi dan sahabat dekatnya. Bahkan, Nabi Muhammad saw sendiri menempuh jalan tasawuf sebelum menerima wahyu dan mi’raj ke Sidratul Muntaha bertemu dengan Allah. Bertemu dengan Allah inilah yang disebut bagian dari ma’rifatullah dan kebersatuan dengan Allah, yang oleh para sufi dicita-citakan terjadinya. Mereka menganggap yang demikian merupakan tahapan akhir dari perjalanan ruhaniah. 

Begi juga tentang menyendiri dari keramaian dan merenungkan masalah-masalah yang terdapat di sekitar Makkah yang gemar berbuat keburukan dan tindakan amoral kemudian memilih Gua Hira sebagai tempat semedi, disebut bagian dari praktik sufistik Rasulullah saw. 

Kemudian dari Keluarga Nabi (Ahlulbait), Sayidah Fathimah Az-Zahra putri Rasulullah saw, yang diberi dzikir berupa tasbih, tahmid, dan takbir, serta amaliah sebelum tidur oleh Rasulullah saw, juga dianggap bagian tasawuf. Dalam tradisi sufi, sang guru kadang memberikan bacaan atau doa tertentu untuk dibacakan oleh muridnya. Hal itu juga yang dilakukan Nabi selaku guru kepada Sayidah Fathimah radhiallahu anha sebagai murid. 

Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pun diceritakan sering dapat ilmu dan pengajaran agama secara khusus dari Rasulullah saw hingga digelari Pintu Ilmu Rasul.[1] Suatu hari Salman Al-Firisi melaporkan kepada Sayidah Fathimah radhiallahu anha bahwa Sayidina Ali pingsan di kebun. Sayidah menjawab, “biarlah ia tenggelam bersama Allah.” Kalau dilihat dari khazanah tasawuf, fenomena tersebut disebut fana. 

Rasulullah saw pernah melihat sebuah kebun indah di Madinah dan pohon kurma yang lebat dengan buah. Datanglah Ammar bin Yassir bersama Sayidina Ali. Rasullullah saw memberitahukan bahwa kebun yang dimiliki Sayidina Ali di akhirat lebih indah dan pohon kurma itu akan menjadi tiang gantungan Ammar. Sejarah mengisahkan bahwa yang disebutkan Nabi saw terbukti, Ammar dibunuh kemudian digantung oleh orang-orang yang kelak berkuasa sebagai Dinasti Umayyah. 

Ketika akan wafat, Nabi Muhammad saw saat dalam masa akhir ajalnya meminta Sayidah Fathimah, Sayidina Ali, dan tiga cucunya (Imam Hasan, Imam Husein, dan Sayidah Zainah Al-Kubra) agar mendekat kepadanya. Rasulullah saw pertama mengabari bahwa cucunya yang pertama (Imam Hasan) akan wafat dibunuh dengan racun dan kelak di surga akan mendapatkan istana megah berwarna hijau. Imam Husain, cucu kedua, akan mendapatkan istana megah berwarna merah karena ia akan dipenggal kepala hingga darah membanjiri seluruh tubuhnya. Disampaikan pula Sayidah Zainab, cucu ketiga, yang akan melindungi kepunahan Keluarga Nabi dari musuh-musuh yang hendak menghilangkan nilai-nilai Islam yang dibawa Rasulullah saw.[2] Terbukti Sayidah Zainab yang menyebabkan Imam Ali Zainal Abidin putra Imam Husain tidak dibunuh oleh musuh-musuh Islam saat dalam kondisi sakit parah. Dari Imam Ali Zainal Abidin inilah Keluarga Nabi (Ahlulbait) tidak punah dan terus mewariskan ajaran-ajaran Islam dan menegakkan agama yang dibawa Rasulullah saw. 

Cuplikan yang dialami Rasulullah saw dan terbukti dalam sejarah, yang diterangkan diatas, kalau dilihat dari ilmu tasawuf termasuk kasyf, yaitu penyingkapan terhadap hal-hal ghaib atau masa yang akan datang. Orang yang mengalami kasyf, tentu tidak sembarang orang. Para sufi kemudian menyebut informasi masa depan yang disampaikan Nabi Muhammad saw sebagai fenomena mukasyafah. 

Ada yang menyebut orang-orang sufi sudah dipraktikan hidupnya oleh sejumlah sahabat yang miskin dan tidak memiliki tempat tinggal kemudian menetap sementara di serambi masjid yang berdekatan dengan rumah Nabi Muhammad saw di Madinah. Mereka ini dikenal ahlussuffah, yang hampir setiap hari mendapatkan bimbingan ruhaniah sehingga mendapatkan pencerahan yang memuaskan akal dan hatinya. Orang-orang ahlussuffah ini dianggap selaku pelopor tasawuf. 

Kemudian praktik sufistik telah dipraktikan pula oleh Imam Ali Zainal Abidin, keturunan Nabi Muhammad saw dari Imam Husain putra Sayidah Fathimah. Ia mengisi keharian dengan ibadah yang tekun, banyak bersujud, dan melantunkan doa-doa panjang yang kemudian dikumpulkan para muridnya menjadi kitab munajat berjudul Shahifah Sajjadiyyah.[3] 

Sejarah mengisahkan masa akhir Khulafa Rasyidin yang keempat: Khalifah Ali bin Abi Thalib. Masa ini banyak terjadi peperangan di antara sesama pemeluk Islam. Beberapa sahabat Nabi yang tidak terlibat kemudian memilih menyendiri dan mengkhususkan diri dalam ibadah di masjid. Tidak ikut terlibat karena perang yang terjadi sesama umat Islam. Mereka yang memencilkan diri ini dianggap pelopor dalam gerakan uzlah, menghindari dari kekacauan dengan memilih ibadah. Mereka yang masuk dalam golongan ini di antaranya: Musa Al-Asyari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, termasuk Imam Ali Zainal Abidin (lahir 15 Jumadil Ula 36 H./658 M. – 25 Muharam 95 H./713 M.) dari Keluarga Nabi (Ahlulbait). 

Pada masa sebelum abad dua Hijriah, belum ada yang menyebut cuplikan sejarah di atas sebagai praktik tasawuf. Baru abad dua Hijriah atau abad delapan Masehi muncul istilah sufi (shufi). Dalam perkembangan selanjutnya muncul pembagian tasawuf, irfan (nazari dan ‘amali), tarekat, maqamat, ahwal, riyadhah, dan khazanah sufi lainnya. 

Ayatullah Murtadha Muthahhari berpendapat bahwa Abu Hasyim dari Kufah (Irak) merupakan orang pertama digelari sufi. Ia dikenal sebagai guru Abu Sufyan Al-Tsauriy (wafat 161 H.) dan orang pertama yang membangun pondok sufi (khanaqah) di Ramallah, Palestina, yang digunakan untuk orang-orang yang mengkhususkan diri beribadah kepada Allah. Hal ini dikuatkan dengan keterangan kitab Al-Kafi, jilid V, bahwa pada zaman Imam Jafar Ash-Shadiq—putra Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Sayidan Ali dan Sayidah Fathimah binti Rasulullah saw—atau akhir abad dua Hijriah terdapat orang yang dijuluki sufi, yaitu Abu Hasyim. Kemudian mengutip dari Sari As-Saqati (wafat 243 H.) bahwa istilah sufi mulai populer abad tiga Hijriah.[4] 

Tokoh tasawuf

Dari abad dua sampai tiga Hijriah ini banyak lahir ulama yang disebut sebagai tokoh tasawuf. Mereka di antaranya: Hasan Al-Bashri (wafat usia delapan tahun) di Bashrah, (Irak), Malik bin Dinar (wafat 135 H.), Ibrahim bin Adham (wafat 161 H.), Rabiah Al-Adawiyah (seorang sufi wanita, wafat 185 H.), Abu Hasyim Shufi, Abu Sufyan Al-Tsauriy (wafat 161 H.), Syaqiq Al-Balkhi (wafat 153 H.), Imam Jafar Ash-Shadiq (wafat 765 M.) Ma’ruf Al-Karkhi, Imam Musa Al-Kazhim putra Imam Jafar Ash-Shadiq (wafat 799 M.), dan Fudhayl bin Iyadh (wafat 187 H.).      

Dari abad tiga sampai sepuluh Hijriah muncul sosok Abu Yazid Al-Busthami (wafat 261 H.), Bisyr Al-Hafi (wafat 227 H.), Sari As-Saqati (wafat 250 H.), Harits Al-Muhasibi  (wafat 223 H.), Junaid Al-Baghdadi (wafat 297 H.), Zunnun Al-Misri  (wafat 282 H./895 M.), Husain bin Mansur Al-Hallaj (wafat 309 H./913 M.), Abu Bakr Al-Syibli (wafat 334 H./ 846 M.), Abu Ali Ar-Rudbari (wafat 322 H.), Abu Nashr Sarraj Al-Thusi, Abu Fadhl As-Sarkhasi (wafat 400 H.), Abu Abdullah Ar-Rudbari (wafat 396 H.), Imam Ali Ar-Ridha putra Imam Musa Al-Kazhim (wafat 818 M.), Imam Muhammad Al-Jawad (wafat 835 M.), Abu Thalib Al-Makki (wafat 386 H.), Abu Hasan Khurqani (wafat 425 H.), Abu Said Abu Al-Khayr (wafat 440 H.), Abu Hamid Al-Ghazali (wafat 505 H.), Khawajah Abdullah Anshari (wafat 481 H.), Ayn Al-Qudhat Al-Hamadani (wafat 533 H.), Sana’i Ghaznawi, Ahmad Jami (wafat 536 H.), Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 561 H.), Ruz Bahan Baqli As-Syirazi (wafat 606H.), Najmuddin Kubra (wafat 616 H.), Fariduddin Aththar (wafat 628 H.), Syihabuddin Suhrawardi Az-Zanjani (wafat 630 H.), Ibn Faridh Al-Misri (wafat 632 H.), Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat 638 H.), Shadruddin Muhammad Al-Qunawi (wafat 672 H.), Maulana Jalaluddin Rumi (wafat 672 H.), Khawajah Nashruddin Thusi (wafat 672 H.), Fakhruddin Al-Iraqi Al-Hamadani (wafat 688 H.), Ala Daulah Simnani (wafat 736 H.), Abdurrazaq Al-Kasyani (wafat 735 H.), Khawajah Hafizh As-Syirazi (wafat 791 H.), Mahmud Syabistari (wafat 720 H.), Sayid Haidar Amuli, Abdulkarim Al-Jilli (wafat 805 H.), Syah Ni’matullah Wali (wafat 834 H.), Shainuddin Ali Tarakeh Al-Ishfahani, Muhammad bin Hamzah Al-Fannari, Syamsuddin Muhammad Al-Lahiji, Nuruddin Abdurrahman Jami, dan lainnya.[5] 

Dari abad sepuluh sampai sekarang, sufi yang terkenal adalah Suhrawardi Al-Maqtul, Mullah Shadra, Yusuf Al-Makasari (Makassar, Indonesia), Khawajah Muinuddin Chisti, Syah Waliullah, Abu Hasan Al-Syadzili,Tajuddin Ahmad bin Athaillah, Hamzah Fansuri (Aceh, Indonesia), Hasan Mustapa (Garut, Indonesia), Maulana Arabi Al-Darqawi, Sayid Muhammad Sanusi, Syaikh Muzhaffar, Syaikh Jawadi Amuli, Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathabai’, Sayid Kamal Al-Haidari, Syaikh Hisam Kabbani, Abah Anom (K.H.Shohibul Wafa Tajul Arifin), Ayatullah Ruhullah Khomeini, dan lainnya. 

Dalam perkembangannya, ada di antara para sufi yang membuat tarekat, kelompok yang menghimpun para pengikut dan melakukan ibadah yang merujuk kepada sufi yang diikutinya. Tarekat ternama di antaranya Qadariyah, Naqsyabandiyah, Rifaiyah, Syadziliyah, Maulawiyah, Betasyiyah, Ni’matullah, Tijaniyah, Jarrahiyah, Chistiyah, Uwaisiyah, Qadariyah Naqsyabandiyah (Tasikmalaya, Indonesia), Naqsyabandiyah Khalidiyah (Cianjur, Indonesia), Syathariyah (Aceh, Indonesia), dan lainnya. *** (ahmad sahidin)



[1] Sebuah hadits yang populer menyebutkan Rasulullah saw bersabda, “Ana madinatul ilmu wa ‘Aliyyun babuha; faman aradha mandina fal ya’tiha min babiha—Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya; barangsiapa yang ingin memasukinya hendaklah melalui pintunya.”

[2] Kejadian tragis ini terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriah. Umat Islam yang tergolong para pecinta Ahlulbait (Keluarga Nabi Muhammad saw) memperingati hari duka cita yang dikenal dengan Asyura. Setiap 10 Muharram peringatan Asyura dilakukan di Iran, Irak, Suriah, Lebanon, India, Arab Saudi (Madinah), Inggris, Malaysia, dan Indonesia (Bandung, Jakarta, Makassar, Bangil, Lampung, Padang, dan lainnya) yang dielenggarakan ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), dan Ahlulbait Indonesia (ABI). Di Jawa, Sunda, dan Aceh, penduduk kampung di daerah yang banyak dihuni Islam dan pesantren senantiasa memperingati asyura dengan membuat bubur merah dan bubur putih, menyantuni anak yatim dengan memberi uang dan mengusap kepalanya sebagai ungkapan bela sungkawa atas keturunan Imam Husain yang menjadi Yatim, dan membacakan syair berisi doa serta shalawat.

[3] Buku ini sudah ada terjemahannya oleh Jalaluddin Rakhmat dengan judul Shahifah Sajjadiyah: Gita Suci Keluarga Nabi (Bandung: IJABI dan Muthahhari Press, 1 Juli 2010). Tebalnya sekira 247 halaman yang meliputi doa pagi dan sore, doa orangtua, harapan, doa sehari-hari dari Senin sampai Minggu, dan munajat lainnya.

[4] Murtadha Muthahhari, Mengenal Irfan: Meniti Maqam-maqam Kearifan (Jakarta: Lentera, 2002) halaman 32-33.

[5] Uraian tokoh sufi dapat ditelusuri karakter ajarannya dalam buku Murtadha Muthahhari, Mengenal Irfan: Meniti Maqam-maqam Kearifan (Jakarta: Lentera, 2002) halaman 35-66.