Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui dua gerbang penyebaran, yaitu Cirebon dan Banten. Pada dua daerah itu dikuasai oleh seorang raja juga seorang ulama, yaitu Sunan Gunung Jati. Karena dua kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, dia mendapatkan gelar Ratu Pandita. Di bawah kepemimpinannya dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda dari dua pusat kekuasaan Islam, yaitu Cirebon dan Banten.
Kesultanan Cirebon
Sejarah
mengenai Cirebon dapat dilihat dalam beberapa naskah di antaranya Carita Purwaka
Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad
Walangsungsang, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Pararatwan I
Bhumi Jawa Dwipa, Pustaka Negara Kertabumi, Wawacan Sunan Gunung Jati dan
lain sebagainya.
Cirebon
pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Pasambangan, yang letaknya
kurang lebih 5 KM dari kota Cirebon sekarang. Sedangkan kota Cirebon
sekarang asalnya bernama Lemah Wungkuk, yaitu sebuah desa kecil yang merupakan
pemukiman masyarakat Muslim yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang.
Menurut Pangeran Suleiman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda
Babad Cirebon, Ki Gedeng Alang-Alang oleh penguasa Pajajaran diangkat
menjadi kepala pemukiman masyarakat Muslim Lemah Wungkuk dengan gelar
Kuwu Cerbon. Ada pun batas wilayahnya meliputi Sungai Cipamali sebelah Timur,
Cigugur sebelah Selatan, Pegunungan Kromong sebelah Barat, dan Junti
(Indramayu) sebelah Utara.
Dalam Babad
Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, ataupun Pustaka
Rajyarajya I Bhumi Nusantara disebutkan sejarah Cirebon bermula dari dua
nagari yang berada di daerah pesisir pantai utara Cirebon, yaitu Nagari
Surantaka dan Singapura. Pada tahun 1415 ke Nagari
Singapura, tepatnya di Pelabuhan Muara Djati berlabuh kapal dari Cina
selama satu minggu yang dinahkodai oleh Te Ho atau Cheng Ho
atau Sam Po Kong dengan sekretarisnya bernama Ma Huang. Mereka adalah penganut
agama Islam. Setelah menetap di Nagari Singapura, Ma Huang menikah
dengan saudara Ki Gedeng Tapa, yaitu Nyai Rara Rudra. Setelah
perkawinannya, Ma Huang bergelar Ki Dampu Awang. Menurut buku Baluwarti
Keraton Kasepuhan Cirebon, para pengikut Cheng Ho berhasil membanguan
sebuah Mercu Suar.
Kemudian
tahun 1418 ke Nagari Singapura datang pula rombongan pedagang dari
Campa. Salah satu anggota rombongan tersebut terdapat seolang mubaligh,
yaitu Syekh Hasanudin bin Yusuf Siddik. Atas persetujuan Ki Gedeng
Tapa, untuk beberapa lama mereka tinggal di Singapura. Syekh
Hasanuddin bin Yusuf Siddik kemudian pergi ke Karawang dan mendirikan pesantren
dan namanya kemudian dikenal menjadi Syekh Quro. Dari pertemuannya dengan Syekh
Quro, kemudian Ki Gedeng Tapa mengirimkan puterinya Nyai Subang Larang
untuk belajar ilmu agama Islam di Pesantren Syekh Hasanuddin bin Yusuf Siddik
atau Syekh Quro Karawang.
Selain
kedatangan Syekh Quro, Ki Gedeng Tapa kedatangan pula mubaligh pengajar agama
Islam, yaitu Syekh Datuk Kahfi adik Sultan Sulaiman Bagdad. Pada saat dia
datang ke Singapura, penguasa nagari tersebut yaitu Ki Gedeng Tapa telah masuk
Islam. Maka atas izin dari Mangkubumi Singapura Syekh Datuk Kahfi menetap
di Nagari Singapura, yaitu di Pasambangan. Di Pasambangan ini Datuk Kahfi
menikah dengan Hadijah seorang cucu Haji Purwa. Haji Purwa dianggap sebagai
tokoh penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat. Kemudian Syekh Datuk Kahfi
mendirikan pesantren yang bernama Pesantren Quro Amparan Djati. Syekh Datuk
Kahfi ini kemudian dikenal sebagai Syekh Nurjati.
Menurut Pustaka
Carita Parahyangan, Prabu Siliwangi Raja Pajajaran dari isterinya yang
bernama Nyai Subang Larang atau Subang Karancang yang menganut agama
Islam mempunyai anak yang bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan
Raden Sanggara. Semua anak-anak Prabu Siliwangi dari Subang Larang mengikuti
jejak ibunya menganut agama Islam. Sebagaimana Subang Larang
ibunya, mereka menganut menganut Islam mazhab Hanafi. Setelah meninggal
ibunya, Pangeran Walangsungsang dan adiknya, Nyai Lara
Santang, diceritakan pergi menuju ke kerajaan Singapura yang terletak di
pesisir pantai Utara Jawa dengan tujuan untuk menemui kakeknya Ki Gedeng
Tapa. Di sinilah putra dan putri raja Pajajaran memeluk dan belajar agama Islam
kepada Syekh Nurjati. Pangeran Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki
Samadullah dan kelak setelah menunaikan ibadah haji namanya berganti
menjadi Haji Abdullah Iman. Pada tahun 1445, Haji Abdullah Iman membuka
pemukiman baru di daerah Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang atau Lemah
Wungkuk. Di daerah baru ini Ki Samadullah berhasil menarik perhatian dari para
pendatang lainnya, sehingga daerah Tegal Alang-Alang menjadi daerah baru yang
banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai latar belakang baik suku
maupun agama. Daerah ini yang kemudian disebut Dukuh Cirebon.
Atas
saran Syekh Nurjati, Ki Samadullah dan Nyai Larasantang menunaikan ibadah haji.
Dalam perjalanan ke Mekah, perahu layar mereka singgah di Mesir dan bertemu
wali kota Mesir bernama Syarif Abdullah dengan gelar Sultan Makmun keturunan
Bani Hasyim putera Ali Nurul Alim dengan Nyai Lara Santang Puteri Pajajaran. Di
Tanah Suci Mekah ini Nyai Lara Santang dinikahkan oleh Ki Samadullah
dengan Syarif Abdullah. Setelah menikah dengan Syarif Abdullah, Nyai Lara
Santang diberi gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Sedangkan Pangeran
Walangsungsang atau Ki Samadullah diberi gelar Haji Abdullah Iman
al-Jawi. Di Mekah mereka tinggal di rumah Syeikh Bayanullah adik Syeikh
Datuk Kahfi.
Setelah
menikahkan adiknya, Haji Abdullah Iman kembali ke Jawa untuk melanjutkan
penyebaran agama Islam. Sepulang dari Mekah ini Haji Abdullah Iman al-Jawi
mendirikan Masjid Jalagrahan kemudian menjadi Keraton Pakungwati, yang
diambil dari nama putri Pangeran Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji
Abdulah Iman al-Jawi atau Ki Cakrabumi dari isterinya Nyai Indang Geulis
yang bernama Nyai Pakungwati.
Menurut
Sunarjo (1983) karena menginginkan putera laki-laki untuk penerusnya, maka atas
persetujuan isterinya Nyai Indang Geulis, Haji Abdullah Iman al-Jawi
menikahi puteri Ki Gedeng Alang-Alang yang bernama Nyai Ratna Riris atau
Nyai Kancana Larang. Dari perkawinan kedua ini, Pangeran Walangsungsang
mempunyai putera yang diberi nama Pangeran Cerbon. Setelah meninggal
dunia Ki Gedeng Alang-Alang, Haji Abdullah Iman menjadi Kuwu Caruban dengan
gelar Pangeran Cakrabuana. Tidak lama kemudian meninggal dunia kakeknya,
Ki Gedeng Tapa, Pangeran Cakrabuana menjadi penguasa sekaligus ulama
dengan nama wilayah Nagari Caruban Larang (menggabungkan nagari Singapura dan
Caruban).
Sementara
itu Nyai Lara Santang atau Hajjah Syarifah Muda’im yang menikah
dengan Syarif Abdullah melahirkan dua orang putera, yaitu Syarif
Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Djati dan Syarif Nurullah. Syarif
Hidayatullah ini berguru di Mekah dan Baghdad kepada Syeikh Tajudin al-Kubri,
Syeikh Athaillah Syazali, Sayid Alkamil, dan Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu
Maulana Sultan Mahmud al-Khibti. Syarif Hidayatullah pergi ke Jawa dan adiknya,
Syeikh Nurullah (menggantikan kedudukan ayahnya yang wafat) yang dikenal dengan
nama Faletehan atau Fatahillah.
Dalam
perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah sampai di Gujarat dan Banten.
Di Banten Syarif Hidyatullah sempat mengajar agama Islam. Setelah bertemu
dengan Sunan Ampel, dapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di Jawa bagian
Barat, yaitu Tatar Sunda. Kemudian bertemulah dengan Sri Mangana Pangeran
Cakrabuana Haji Abdullah Iman al-Jawi dan mengajarkan agama Islam di pelabuhan
Muara Djati, Sembung-Pasambangan, dan Giri Amparan Djati. Syarif
Hidayatullah menikah dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan, menikah
dengan Nyai Rara Djati, Ratu Kawung
Anten, Ratu Tepasan, dan sorang puteri Cina On Tien.
Menurut
Sunarjo (1983) bahwa ke Cirebon telah datang rombongan dari Banten menghadap kepada
Sunan Gunung Djati memintanya untuk mengajarkan agama Islam di Banten.
Kemudian mengajarkan agama Islam di Banten dan kembali lagi ke Cirebon.
Selanjutnya dapat tugas sebagai Raja untuk menggantikan Sri Mangana
Pangeran Cakra Buana haji Abdullah Iman al-Jawi di Kerajaan Islam Cirebon yang
telah dikuasainya selama 30 tahun. Penobatan Susuhunan Djati sebagai
penguasa Kerajaan Islam Cirebon dilakukan oleh para wali yang tergabung dalam
Wali Sanga dari Jawa Timur di antaranya Raden Fatah dari Kesultanan Demak
yang didampingi oleh Panglima Perang Kesultanan Demak Fadhilah Khan. Peristiwa
penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Raja Kerajaan Islam Cirebon terjadi pada
tahun 1479. Sejak tahun itulah Caruban Larang atau Cirebon menjadi pusat
sebuah kesultanan Islam. *** (ahmad sahidin)