Senin, 02 Mei 2022

Fikih dan Otoritas Fatwa kaum Muslim Syiah Imamiyah

Dalam urusan fikih, kaum Muslim Syiah Imamiyah (Duabelas Imam) merujuk kepada Imam Jafar Shadiq yang merupakan guru dari para imam mazhab fikih Ahlussunah yang empat: Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Hanbali, dan Imam Syafii. 

Dari Imam Jafar Shadiq ini lahir mazhab fikih Jafari, yang juga dipelajari di Universitas Al-Azhar, Mesir dan di kampus UIN Bandung pun dalam mata kuliah fikih dan ushul fikih dikenalkan kepada mahasiswa.

Saya juga belajar sedikit Fikih Jafari dari kuliah fikih dan ushul fikih. Perbedaannya dengan fikih lainnya tidak terlalu besar. Yang ingin mengetahui sebaiknya membaca buku Fikih Lima Mazhab dan Fiqih Imam Jafar Shadiq yang ditulis oleh Muhammad Jawad Mughniyyah.


Imam Jafar Ash-Shadiq

Imam Jafar Ash-Shadiq adalah keturunan Rasulullah saw dari Imam Husein putra Sayidah Fahtimah putri Rasulullah saw. Imam Jafar ini diyakini sebagai Imam Syiah keenam dari yang dua belas orang yang disebut Syiah Itsna Asyariah atau Imamiyah. Syiah inilah yang disebut mazhab Ahlulbait karena merujuk kepada para Imam dari Ahlulbait Rasulullah saw. 

Ajaran dan fatwa keagamaan dari Imam Jafar secara riwayat berasal dari Imam Muhammad Al-Baqir dari Imam Ali Zainal Abidin (As-Sajjad) dari Imam Husein dan Imam Hasan kemudian Ali bin Abi Thalib ra yang sumbernya adalah Rasulullah saw dan Al-Quran. 

Dahulu umat Islam di Makkah dan Madinah selalu bertanya kalau ada masalah dan dijawab langsung oleh Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi wafat maka yang dijadikan tempat bertanya adalah sahabat dan Ahlulbait. Ali bin Abi Thalib ra yang disebut pintu ilmu oleh Rasulullah saw dijadikan rujukan utama setelah Rasulullah saw oleh kaum Muslim Syiah. Setelah Ali wafat, orang-orang Islam mengambil pelajaran agama Islam dari Imam Hasan bin Ali kemudian kepada Imam Husein bin Ali, Keduanya cucu Rasulullah saw. Selanjutnya setelah wafat Imam Husein, umat Islam merujuk kepada Ali Zainal Abidin kemudian kepada putranya: Imam Muhammad Al-Baqir. Setelah wafat maka kemudian kepada Imam Jafar Shadiq, putra Imam Muhammad Baqir. 

Imam Jafar pada masa itu menjadi tempat bertanya dalam ilmu agama Islam. Ketika ada masalah berkaitan dengan ibadah dan amaliah maka umat Islam meminta pendapat Imam Jafar; yang sebetulnya bersumberkan dari Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan dari leluhurnya yang sampai kepada Rasulullah saw.

Dari Imam Jafar Shadiq ini diwariskan ilmu-ilmu Islam berupa fikih dan hadis dalam bentuk riwayat yang bersambung kepada putranya: Imam Musa Kazim kemudian kepada Imam Ali Ridha kepada Imam Muhammad Jawad kepada Imam Ali Al-Hadi kemudian kepada Imam Hasan Askari dan Imam Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazhar. Tahun 875 M./230 H. ketika usia 5 tahun, Al-Mahdi selaku Imam yang keduabelas ini menghilang (ghaib) yang kelak sebelum Kiamat akan muncul untuk membimbing umat manusia.

Ketika ghaib Al-Mahdi ini, hanya empat orang wakilnya yang dirujuk dan diminta pendapat berkaitan dengan ajaran Rasulullah saw dan risalah Islam. Empat wakil ini yang direkomendasikan oleh Imam Hasan Askari dan Imam Al-Mahdi yang dirujuk.

Para Imam Ahlulbait yang berjumlah dua belas ini diyakini oleh Muslim Syiah sebagai otoritas dalam agama Islam setelah Allah dan Rasulullah saw.  Pada masa ghaib Al-Mahdi yang menjadi otoritas sementara yang dirujuk oleh umat Islam Syiah adalah empat wakilnya: Abu Umar Utsman, Abu Jafar Muhammad, Abu Al-Qasim Al-Husain, dan Abu Hasan Ali.

Setelah empat wakil Imam Mahdi ini wafat maka tidak ada lagi orang yang dijadikan sandaran dalam urusan agama Islam. Inilah periode ghaib besar dan otoritas dalam agama Islam yang didasarkan atas nash (dalil) berhenti pada mereka. Setelah mereka tidak ada lagi yang dirujuk kecuali merujuk pada hadis dan riwayat dari para Imam.

Kemudian berdasarkan riwayat dari Imam Hasan Askari, Imam yang kesebelas, bahwa umat Islam (pengikut Syiah) agar merujuk kepada orang yang berilmu (ulama) yang mendalam dalam urusan ilmu agama dan mengetahui masalah yang berkaitan dengan zamannya. Karena itu, kaum Muslim Syiah dalam masalah agama dan tata cara ibadah mengikuti fatwa ulama yang dikenal sebagai mujtahid atau marja' taqlid. 

Marja Taqlid dalam Syiah Imamiyah

Sedikit berbagi tentang ulama dan posisinya dalam mazhab Syiah Imamiyah. Dalam pendidikan agama di mazhab Syiah, tidak sembarang orang disebut ulama. Mereka yang disebut ulama ini harus menempuh jenjang pendidikan yang cukup lama.

Sejarah mengisahkan pascarezim Pahlevi di Iran bahwa institusi keulamaan berupa hawzah terbentuk dan diminati pelajar Muslim Syiah, termasuk dari luar Iran. Sebelumnya, pascawafat naibul Imam yang keempat pada abad 10 Masehi yang sekaligus masa ghaib kubra Imam Mahdi, orang-orang Islam pengikut Syiah Imamiyah dalam agama dan ibadah merujuk pada ulama-ulama. Mereka yang dirujuk ini tidak dilabeli dengan istilah marja taqlid. Baru pascarezim Pahlevi kemudian terbentuk institusi marja taqlid dan jenjang pendidikan keulamaan dalam sebuah lembaga bernama hawzah.

Di negeri Irak dan Suriah pun terdapat hawzah untuk orang-orang Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu Islam hingga menjadi seorang ulama. Biasanya diminati kalangan pengikut Syiah. Juga terdapat orang Sunni yang belajar dan ingin mengenal khazanah Syiah.

Marja Taqlid

Ulama yang mendalam atau yang ahli dalam ilmu-ilmu Islam yang terkait dengan ibadah dan fikih (dalam mazhab Syiah Imamiyah) disebut marja’ taqlid. Tidak semua ulama bisa menduduki posisi ini. Hanya ulama yang termasuk mujtahid yang keilmuannya telah teruji dan diakui para ulama mazhab Ahlulbait. Mereka inilah yang boleh dirujuk, diminta pendapat, dan dijadikan pembimbing dalam urusan agama Islam. 

Karena itu, seorang Muslim atau Muslimah yang mengikuti Islam mazhab Syiah (Ahlulbait) dalam menjalankan praktek beragama dan amal ibadah harus merujuk kepada marja’ taqlid. Namun ini hanya menyangkut amal ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan fikih.

Di luar fikih, seperti sosial, budaya, politik, atau kemasyarakatan yang menentukan adalah Muslim dan Muslimah itu sendiri. Bahkan dalam memahami ajaran agama Islam yang berkaitan dengan akidah (ushuluddin) harus dipahami secara mandiri yang merujuk pada sumber utama: Kitabullah wa Itrah Ahlulbait.

Fatwa Marja

Kembali tentang marja’ taqlid. Seorang marja’ tentunya tidak sembarang memutuskan dalam memecahkan masalah-masalah atau mengeluarkan fatwa. Ia harus menggali dari Al-Quran, khazanah hadits Rasulullah saw, dan riwayat dari para Imam Ahlulbait.

Selain dari ulama marja’ taqlid, fatwa yang menyangkut fikih atau ibadah biasanya tidak bisa diterima oleh kaum Muslim Syiah yang taat. Hanya dari ulama muktabaroh dan seorang marja taqlid yang dirujuk oleh kaum Muslim syiah. Maka fatwa yang berkaitan dengan fikih maupun ibadah harus berasal dari marja’ yang dirujuknya. Sejak wafat wakil Al-Mahdi yang empat orang, banyak marja’ dan setiap kali seorang marja’ wafat maka ada pelanjutnya yang melanjutkan fatwa dan memberikan bimbingan dalam agama Islam.

Seperti Imam Khomeini di Iran yang wafat kemudian dilanjutkan Ali Khamenei dan orang-orang Islam Syiah merujuk kepada Imam Khomeni kemudian mengikuti pelanjutnya. Di Suriah dan Lebanon, ketika Ayatullah Udzma Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah wafat maka orang-orang Islam yang merujuknya mengikuti Sayid Jafar Fadhlullah yang dianggap sebagai pelanjut Sayyid Fadhlullah.

Memang tidak mudah untuk mengetahui atau menentukan seorang ulama itu seorang mujtahid yang menjadi marja’ atau belum? Mungkin karena sikap zuhud dan wara’ meski sudah memiliki ilmu Islam yang mendalam, ulama Syiah merasa enggan untuk mengaku sebagai marja’. Salah satu ciri dari marja’ (yang diakui secara umum di masyarakat Islam Syiah) adalah menulis kitab risalah amaliah (merupakan kumpulan fatwa-fatwa) dan mempunyai pengikut (muqalid) yang mengamalkan kitab risalah amaliah tersebut.

Mekanisme menentukan seseorang layak disebut marja’ taqlid ini sampai sekarang terus berkembang. Hauzah-hauzah di Iran menetapkan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat bagi seseorang dalam belajar Islam yang memasuki jenjang sebagai mujtahid. Kalau tidak salah bisa dicapai dalam waktu kurang lebih 20 tahun untuk selesai dari pendidikan ulama yang disebutmujtahid. Mungkin berbeda untuk pendidikan kader ulama Syiah di luar Iran, seperti Irak, Lebanon, dan Suriah.

Dalam pemahaman Fikih Jafari (juga disebut fikih Ahlulbait) terjadi perbedaan (ikhtilaf) di antara para marja’ dan di antara pengikutnya. Bahkan, ada yang sampai menyangkal keulaman seorang marja’ taqlid yang diikuti orang lain, yang tidak satu marja’. 

Namun yang perlu dipahami bahwa dalam mazhab Syiah Imamiyah bahwa yang boleh dirujuk (diambil fatwa dan pendapatnya dalam urusan ibadah) oleh kaum Muslim Syiah Imamiyah (Ahlulbait) adalah Marja’ Taqlid. Biasanya yang populer dan muktabaroh yang banyak dirujuk oleh Muslimin Syiah. Di antara para marja taqlid sendiri terdapat perbedaan penyimpulan atas nash/sumber Islam sehingga hasil fatwanya bisa berbeda. Itulah ikhtilaf yang wajar terjadi dalam khazanah intelektual Islam.

Tentu saja ikhtilaf antarulama atau di antara marja taqlid merupakan persoalan pelik. Saya kira terjadi pula di kalangan ulama Ahlussunnah atau ulama Wahabi. Tidak jarang ada seorang ulama yang diragukan oleh ulama lainnya. Meski sama-sama Ahlusunnah. Di Indonesia banyak terjadi yang demikian. Biarlah itu urusan internal di antara sesama mazhabnya. Bahkan ada ulama yang menyesuaikan penyimpulan atas nash agama dengan kondisi sekarang agar mampu menjawab permasalahan kontemporer.

Nah, itu yang bisa saya bagi dari hasil bacaan dari buku-buku yang terkait dengan khazanah Islam mazhab Syiah Imamiyah. Boleh jadi yang saya tulis tidak benar. Mangga nyanggakeun bilih bade ditambihan atanapi dikoreksi. *** (ahmad sahidin)