Dalam urusan fikih, kaum Muslim Syiah Imamiyah (Duabelas Imam) merujuk kepada Imam Jafar Shadiq yang merupakan guru dari para imam mazhab fikih Ahlussunah yang empat: Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Hanbali, dan Imam Syafii.
Dari Imam
Jafar Shadiq ini lahir mazhab fikih Jafari, yang juga dipelajari di Universitas
Al-Azhar, Mesir dan di kampus UIN Bandung pun dalam mata kuliah fikih dan ushul
fikih dikenalkan kepada mahasiswa.
Saya juga belajar sedikit Fikih Jafari dari kuliah fikih dan ushul fikih. Perbedaannya dengan fikih lainnya tidak terlalu besar. Yang ingin mengetahui sebaiknya membaca buku Fikih Lima Mazhab dan Fiqih Imam Jafar Shadiq yang ditulis oleh Muhammad Jawad Mughniyyah.
Imam Jafar Ash-Shadiq
Imam
Jafar Ash-Shadiq adalah keturunan Rasulullah saw dari Imam Husein putra Sayidah
Fahtimah putri Rasulullah saw. Imam Jafar ini diyakini sebagai Imam Syiah
keenam dari yang dua belas orang yang disebut Syiah Itsna Asyariah atau
Imamiyah. Syiah inilah yang disebut mazhab Ahlulbait karena merujuk kepada para
Imam dari Ahlulbait Rasulullah saw.
Ajaran dan fatwa keagamaan dari Imam Jafar secara riwayat berasal dari Imam
Muhammad Al-Baqir dari Imam Ali Zainal Abidin (As-Sajjad) dari Imam Husein dan
Imam Hasan kemudian Ali bin Abi Thalib ra yang sumbernya adalah Rasulullah saw
dan Al-Quran.
Dahulu umat Islam di Makkah dan Madinah selalu bertanya kalau ada masalah dan
dijawab langsung oleh Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi wafat maka yang dijadikan
tempat bertanya adalah sahabat dan Ahlulbait. Ali bin Abi Thalib ra yang
disebut pintu ilmu oleh Rasulullah saw dijadikan rujukan utama setelah
Rasulullah saw oleh kaum Muslim Syiah. Setelah Ali wafat, orang-orang Islam
mengambil pelajaran agama Islam dari Imam Hasan bin Ali kemudian kepada Imam
Husein bin Ali, Keduanya cucu Rasulullah saw. Selanjutnya setelah wafat Imam
Husein, umat Islam merujuk kepada Ali Zainal Abidin kemudian kepada putranya:
Imam Muhammad Al-Baqir. Setelah wafat maka kemudian kepada Imam Jafar Shadiq,
putra Imam Muhammad Baqir.
Imam Jafar pada masa itu menjadi tempat bertanya dalam ilmu agama Islam. Ketika
ada masalah berkaitan dengan ibadah dan amaliah maka umat Islam meminta
pendapat Imam Jafar; yang sebetulnya bersumberkan dari Al-Quran dan hadis-hadis
Rasulullah saw yang diriwayatkan dari leluhurnya yang sampai kepada Rasulullah
saw.
Dari Imam
Jafar Shadiq ini diwariskan ilmu-ilmu Islam berupa fikih dan hadis dalam bentuk
riwayat yang bersambung kepada putranya: Imam Musa Kazim kemudian kepada Imam
Ali Ridha kepada Imam Muhammad Jawad kepada Imam Ali Al-Hadi kemudian kepada
Imam Hasan Askari dan Imam Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazhar. Tahun 875 M./230 H.
ketika usia 5 tahun, Al-Mahdi selaku Imam yang keduabelas ini menghilang
(ghaib) yang kelak sebelum Kiamat akan muncul untuk membimbing umat manusia.
Ketika
ghaib Al-Mahdi ini, hanya empat orang wakilnya yang dirujuk dan diminta
pendapat berkaitan dengan ajaran Rasulullah saw dan risalah Islam. Empat wakil
ini yang direkomendasikan oleh Imam Hasan Askari dan Imam Al-Mahdi yang
dirujuk.
Para Imam
Ahlulbait yang berjumlah dua belas ini diyakini oleh Muslim Syiah sebagai
otoritas dalam agama Islam setelah Allah dan Rasulullah saw. Pada masa
ghaib Al-Mahdi yang menjadi otoritas sementara yang dirujuk oleh umat Islam
Syiah adalah empat wakilnya: Abu Umar Utsman, Abu Jafar Muhammad, Abu Al-Qasim
Al-Husain, dan Abu Hasan Ali.
Setelah
empat wakil Imam Mahdi ini wafat maka tidak ada lagi orang yang dijadikan
sandaran dalam urusan agama Islam. Inilah periode ghaib besar dan otoritas
dalam agama Islam yang didasarkan atas nash (dalil) berhenti pada mereka.
Setelah mereka tidak ada lagi yang dirujuk kecuali merujuk pada hadis dan
riwayat dari para Imam.
Kemudian berdasarkan riwayat dari Imam Hasan Askari, Imam yang kesebelas, bahwa umat Islam (pengikut Syiah) agar merujuk kepada orang yang berilmu (ulama) yang mendalam dalam urusan ilmu agama dan mengetahui masalah yang berkaitan dengan zamannya. Karena itu, kaum Muslim Syiah dalam masalah agama dan tata cara ibadah mengikuti fatwa ulama yang dikenal sebagai mujtahid atau marja' taqlid.
Marja Taqlid dalam Syiah Imamiyah
Sedikit berbagi tentang ulama dan posisinya dalam mazhab Syiah Imamiyah. Dalam pendidikan agama di mazhab Syiah, tidak sembarang orang disebut ulama. Mereka yang disebut ulama ini harus menempuh jenjang pendidikan yang cukup lama.
Sejarah
mengisahkan pascarezim Pahlevi di Iran bahwa institusi keulamaan berupa hawzah
terbentuk dan diminati pelajar Muslim Syiah, termasuk dari luar Iran.
Sebelumnya, pascawafat naibul Imam yang keempat pada abad 10 Masehi yang
sekaligus masa ghaib kubra Imam Mahdi, orang-orang Islam pengikut Syiah
Imamiyah dalam agama dan ibadah merujuk pada ulama-ulama. Mereka yang dirujuk
ini tidak dilabeli dengan istilah marja taqlid. Baru pascarezim Pahlevi
kemudian terbentuk institusi marja taqlid dan jenjang pendidikan keulamaan
dalam sebuah lembaga bernama hawzah.
Di negeri
Irak dan Suriah pun terdapat hawzah untuk orang-orang Islam yang ingin
mendalami ilmu-ilmu Islam hingga menjadi seorang ulama. Biasanya diminati
kalangan pengikut Syiah. Juga terdapat orang Sunni yang belajar dan ingin
mengenal khazanah Syiah.
Marja Taqlid
Ulama yang mendalam atau yang ahli dalam ilmu-ilmu Islam yang terkait dengan ibadah dan fikih (dalam mazhab Syiah Imamiyah) disebut marja’ taqlid. Tidak semua ulama bisa menduduki posisi ini. Hanya ulama yang termasuk mujtahid yang keilmuannya telah teruji dan diakui para ulama mazhab Ahlulbait. Mereka inilah yang boleh dirujuk, diminta pendapat, dan dijadikan pembimbing dalam urusan agama Islam.
Karena
itu, seorang Muslim atau Muslimah yang mengikuti Islam mazhab Syiah (Ahlulbait)
dalam menjalankan praktek beragama dan amal ibadah harus merujuk kepada marja’
taqlid. Namun ini hanya menyangkut amal ibadah dan hal-hal yang berkaitan
dengan fikih.
Di luar
fikih, seperti sosial, budaya, politik, atau kemasyarakatan yang menentukan
adalah Muslim dan Muslimah itu sendiri. Bahkan dalam memahami ajaran agama
Islam yang berkaitan dengan akidah (ushuluddin) harus dipahami secara mandiri
yang merujuk pada sumber utama: Kitabullah wa Itrah Ahlulbait.
Fatwa Marja
Kembali
tentang marja’ taqlid. Seorang marja’ tentunya tidak sembarang memutuskan dalam
memecahkan masalah-masalah atau mengeluarkan fatwa. Ia harus menggali dari
Al-Quran, khazanah hadits Rasulullah saw, dan riwayat dari para Imam Ahlulbait.
Selain
dari ulama marja’ taqlid, fatwa yang menyangkut fikih atau ibadah biasanya
tidak bisa diterima oleh kaum Muslim Syiah yang taat. Hanya dari ulama
muktabaroh dan seorang marja taqlid yang dirujuk oleh kaum Muslim syiah. Maka
fatwa yang berkaitan dengan fikih maupun ibadah harus berasal dari marja’ yang
dirujuknya. Sejak wafat wakil Al-Mahdi yang empat orang, banyak marja’ dan
setiap kali seorang marja’ wafat maka ada pelanjutnya yang melanjutkan fatwa
dan memberikan bimbingan dalam agama Islam.
Seperti
Imam Khomeini di Iran yang wafat kemudian dilanjutkan Ali Khamenei dan
orang-orang Islam Syiah merujuk kepada Imam Khomeni kemudian mengikuti
pelanjutnya. Di Suriah dan Lebanon, ketika Ayatullah Udzma Sayyid Muhammad
Husein Fadhlullah wafat maka orang-orang Islam yang merujuknya mengikuti Sayid
Jafar Fadhlullah yang dianggap sebagai pelanjut Sayyid Fadhlullah.
Memang
tidak mudah untuk mengetahui atau menentukan seorang ulama itu seorang mujtahid
yang menjadi marja’ atau belum? Mungkin karena sikap zuhud dan wara’ meski
sudah memiliki ilmu Islam yang mendalam, ulama Syiah merasa enggan untuk
mengaku sebagai marja’. Salah satu ciri dari marja’ (yang diakui secara umum di
masyarakat Islam Syiah) adalah menulis kitab risalah amaliah (merupakan
kumpulan fatwa-fatwa) dan mempunyai pengikut (muqalid) yang mengamalkan kitab
risalah amaliah tersebut.
Mekanisme
menentukan seseorang layak disebut marja’ taqlid ini sampai sekarang terus
berkembang. Hauzah-hauzah di Iran menetapkan jenjang pendidikan yang
bertingkat-tingkat bagi seseorang dalam belajar Islam yang memasuki jenjang
sebagai mujtahid. Kalau tidak salah bisa dicapai dalam waktu kurang lebih 20
tahun untuk selesai dari pendidikan ulama yang disebutmujtahid. Mungkin berbeda
untuk pendidikan kader ulama Syiah di luar Iran, seperti Irak, Lebanon, dan
Suriah.
Dalam
pemahaman Fikih Jafari (juga disebut fikih Ahlulbait) terjadi perbedaan
(ikhtilaf) di antara para marja’ dan di antara pengikutnya. Bahkan, ada yang
sampai menyangkal keulaman seorang marja’ taqlid yang diikuti orang lain, yang
tidak satu marja’.
Namun
yang perlu dipahami bahwa dalam mazhab Syiah Imamiyah bahwa yang boleh dirujuk
(diambil fatwa dan pendapatnya dalam urusan ibadah) oleh kaum Muslim Syiah
Imamiyah (Ahlulbait) adalah Marja’ Taqlid. Biasanya yang populer dan muktabaroh
yang banyak dirujuk oleh Muslimin Syiah. Di antara para marja taqlid sendiri
terdapat perbedaan penyimpulan atas nash/sumber Islam sehingga hasil fatwanya
bisa berbeda. Itulah ikhtilaf yang wajar terjadi dalam khazanah intelektual
Islam.
Tentu
saja ikhtilaf antarulama atau di antara marja taqlid merupakan persoalan pelik.
Saya kira terjadi pula di kalangan ulama Ahlussunnah atau ulama Wahabi. Tidak
jarang ada seorang ulama yang diragukan oleh ulama lainnya. Meski sama-sama
Ahlusunnah. Di Indonesia banyak terjadi yang demikian. Biarlah itu urusan
internal di antara sesama mazhabnya. Bahkan ada ulama yang menyesuaikan
penyimpulan atas nash agama dengan kondisi sekarang agar mampu menjawab
permasalahan kontemporer.
Nah, itu
yang bisa saya bagi dari hasil bacaan dari buku-buku yang terkait dengan
khazanah Islam mazhab Syiah Imamiyah. Boleh jadi yang saya tulis tidak benar.
Mangga nyanggakeun bilih bade ditambihan atanapi dikoreksi. *** (ahmad sahidin)