AYATULLAH Mazhahiri, ulama dari Iran,
bercerita bahwa pada masa Rasulullah saw terdapat seorang istri salehah yang
memiliki anak kecil yang sedang sakit.
Ketika suaminya bekerja di tempat jauh,
anaknya itu wafat. Istri itu duduk dan menangisi kepergian anaknya itu.
Tiba-tiba ia berhenti menangis dan sadar bahwa sebentar lagi suaminya pulang ke
rumah. Ia bergumam, jika saya menangis terus di samping jenazah anakku ini,
kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan akan melukai perasaan suamiku.
Padahal ia pulang dalam keadaan lelah. Ia cepat-cepat meletakkan anaknya yang
wafat itu pada suatu tempat.
Datanglah suaminya itu dari tempat kerjanya.
Sang istri pun menyambutnya dengan senyum dan penuh kasih sayang. Ia sediakan
makanan kesukaannya dan membasuh kaki suaminya itu.
”Mana anak kita yang sakit?” tanya suami. Istrinya menjawab, “Alhamdulillah ia sudah
lebih baik.” Sang istri mengajak suaminya untuk tidur hingga terbangun
menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi, dan shalat sunah. Saat suami
akan berangkat ke mesjid untuk shalat shubuh berjamaah, istrinya berkata dengan
tenang, “Suamiku aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.”
“Silahkan, sebutkan,” kata suaminya. Sang
istri pun berkata, “Jika ada yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada
saatnya diambil dari kita, bagaimana pendapatmu jika amanat itu kita tahan dan
kita tidak mau memberikan kepadanya?”
“Itu perbuatan paling akhlak yang buruk dan
bisa disebut khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat
tercela. Kita wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya bila dminta,”
jawab suaminya.
“Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat
kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari
kita. Anak kita sekarang wafat. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah
engkau dan lakukanlah shalat,” timpah istrinya.
Suami itu melihat anaknya dan kemudian pergi
ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Seusai suami itu mengkabarkan
kematian anaknya. Nabi Muhammad saw langsung mendekatinya seraya berkata,
“Diberkatilah malam kamu yang tadi itu. Malam ketika suami istri bersabar dalam
menghadapi musibah.”
Begitulah seharusnya menyikapi ujian. Yakni
dengan bersabar dan tawakal kepada Allah. Namun tidak semua orang bisa memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi seperti pasangan tersebut. Pantas bila sufi
ternama Dzun-nun Al-Mishri mengartikan sabar sebagai upaya menajuhi
perselisihan, bersikap tenang dalam menghadapi cobaan yang menyesakkan hati,
dan menampakkan rasa kecukupan ketika ditimpa kesusahan dalam kehidupan.
Sedikit berbeda dengan Ar-Raghib Al-Ashfihani, yang mengatakan bahwa
sabar memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteks kejadiannya. Menahan
diri saat ditimpa musibah dinamakan shabr (sabar), sedangkan lawan katanya
jaza’ (gelisah, cemas, risau), menahan diri dalam peperangan dinamakan syaja’ah
(keberanian) dan lawan katanya jubn (pengecut, lari dari peperangan), menahan
diri dari kata-kata kasar disebut kitman (diam) dan lawan katanya ihdzar/hadzar
(mengecam, marah). Namun secara umum, semua yang berkaitan dengan menahan
biasanya dikategorikan sabar.
Mengenai sabar, Allah berfirman, “wahai
sekalian orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah
kesabaranmu itu dan tetaplah bersiapsiaga” (QS. Ali Imran: 200). Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam
menjalani ketaatan ketika mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan
jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk
berjihad di jalan Allah. Tentang ayat ini, Sahl bin Sa’ad meriwayatkan sebuah
hadis dari Rasulullah saw bahwa, “Satu hari berjihad di jalan Allah itu lebih
baik ketimbang dunia dengan segala isinya” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).
Dalam Al-Quran Allah juga berfirman,
“Sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepada kamu sekalian dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar
gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS Al-Baqarah: 155).
Pada ayat ini Allah menegaskan, seorang hamba
Allah akan diuji dengan rasa takut, kelaparan, kemiskinan dan sebagainya.
Dengan ujian ini akan tampak mana yang taat dan mana yang kufur. Tentu yang
teguh dalam ketaatan kepada-Nya yang mendapat kabar gembira. Allah berfirman,
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahalanya
tanpa batas” (Q.S. Az-Zumar).
Tentang ayat ini, Ali Ibn Abu Thalib
menerangkan, setiap orang yang mencapai derajat muthi’ (orang yang taat), kelak
akan ditimbang amalnya dengan timbangan atau takaran. Berbeda dengan orang yang
berderajat shabir (orang yang sabar), mereka ini mengeruk pahala laksana
mengeruk debu yang tidak terhitung jumlahnya.
Sungguh luar biasa derajat orang sabar. Selain
mendapatkan pahala yang besar, juga dikatakan sebagai bagian dari iman.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Ad-Dailami dari Anas bin Malik bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Kesabaran adalah setengah dari iman.”
Begitulah keutamaan dan pentingnya bersabar,
termasuk dalam menjalankannya. Insya Allah, setiap kali kita bersabar atas
sesuatu yang tidak kita kehendaki dan bersabar atas apa yang belum kita
kehendaki, pasti berbuah pahala dan hikmah yang tak ternilai. [ahmad sahidin]