PADA suatu hari teman saya yang kuliah di
jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bercerita tentang pertemuannya dengan seorang
dosen dari Mekkah, Arab. Dosen yang sedang
berkunjung ke Bandung itu bilang sangat kagum dengan Bandung, karena banyak
professor.
Teman saya bilang, professor di Bandung
jumlahnya sedikit. Dia menyanggahnya, “Tidak. Saya lihat di masjid-masjid
tertera ustadz-ustadz yang mengisi khutbah Jumat dan ceramah mingguan. Luar
biasa, mungkin lebih dari seribu kalau dijumlahkan. Tapi aneh, kenapa masih ada
yang belum mengerti tentang Islam dan orang-orang yang di mobil dan motor tidak berhenti saat adzan berkumandang. Kenapa
ya?”
Istilah Ustadz
Mendengar
penjelasan itu, teman saya tersenyum. Teman saya lalu menjelaskan bahwa
istilah ustadz di negeri ini berbeda dengan ‘ustadz’ di negeri Arab. Di
Indonesia, ustadz dinisbatkan pada mereka yang sering menggunakan kopiah,
sarung, pakai baju koko, memiliki ilmu agama—meskipun hanya menyampaikan yang
dikatakan gurunya—dan dilekatkan pada mereka yang sering nongkrong di masjid.
Padahal, bisa jadi yang di masjid itu petugas kebersihan masjid atau yang
numpang tidur. Tapi, biasanya dipanggil ustadz. Jadi, bukan orang yang memiliki
ilmu agama (wawasan Islam) yang luas dan mendalam atau spesialisasi dalam dirasah
islamiyah. Gelar ustadz di Indonesia,
kata teman saya, tidak bernuansa sakral seperti di negeri Arab maupun Timur
Tengah; hanya istilah penghormatan saja. Setelah dijelaskan, barulah orang Arab
itu tersenyum dan manggut-manggut.
Mendengar cerita itu saya tertawa. Saya
tertawa karena istilah itu sempat dilekatkan pada saya. Begini ceritanya: suatu saat saya shalat
berjamaah di masjid dekat rumah. Orang yang shalat berdampingan dengan saya
gerakannya mendahului imam. Itu dilakukan hampir tiap shalat berjamaah.
Anehnya, bapak itu kalau berjamaah pasti
berdampingan dengan saya. Karena setiap shalat begitu, suatu saat setelah
shalat ashar saya tegur. Saya beri tahu kepada bapak itu bahwa seorang makmum
itu harus mengikuti imam; kalau mendahului batal shalatnya. Bapak itu
manggut-manggut sambil mengucapkan terima kasih: “Haturnuhun ustadz. Abdi
janten terang (Terima kasih ustadz, saya jadi tahu).”
Sejak itulah si Bapak itu tiap bertemu
memanggil saya dengan panggilan ustadz. Saya
jadi merenung: kenapa si bapak itu memanggil saya ustadz. Bukankah dia
sudah tahu nama saya? Lalu, suatu waktu saat menunggu adzan maghrib di masjid,
saya jelaskan bahwa gelar “ustadz” itu sangat berkaitan dengan sosok yang
memiliki ilmu agama, pemahaman agama yang mendalam, berwawasan luas, hafal
Al-Quran dan hadits, dan berperilaku
saleh. Sedangkan saya jauh dari itu.
“Ooo…
punten atuh cep ustadz,” kata bapak
itu. Euh…itu lagi muncul, gumam saya.
Meski sudah saya beri tahu, tetap saja tiap bertemu menyapanya begitu.
Mendengar sapaan itu saya agak kesal: kenapa sih bapak itu tidak mengerti juga.
Setelah saya pikir-pikir, itu mungkin sebuah canda plus doa biar saya ngaji dan
terus menggali ilmu agama. [ahmad sahidin]