Rabu, 22 Februari 2017

Sikap Imam terhadap Penguasa Umayyah

Salah satu tradisi saat berkuasanya Daulah Umayyah adalah menyampaikan ceramah singkat atau kultum tiap menjelang shalat berjamaah di masjidSelain menyampaikan doktrin Islam, juga digunakan sebagai alat untuk mencaci-maki dan menghina atau menghujat lawan politiknya. Sudah bukan lagi rahasia jika keluarga Imam Ali bin Abu Thalib dan Syiah dianggap sebagai penentang.

Setelah wafat Imam Ali, masyarakat Islam meyakini Imam Hasan putra Imam Ali sebagai khalifah rasyidin yang keempat. Namun karena desakan situasi politik yang tidak memihak dan teror terus menimpa umat Islam dari penguasa Daulah Umayyah, khususnya Muawiyah bin Abu Sufyan maka Imam Hasan berdamai kemudian menyerahkan pemerintahannya kepada Muawiyah.

Selama memerintah, penguasa Daulah Umayyah tidak berhenti menyakiti keluarga Imam Ali beserta pengikutnya. Dapat dipahami tindakan tersebut untuk menghambat jalur-jalur pemberontakan terhadap Daulah Umayyah. Karena itu, setiap kali ada yang tidak sepakat atau dianggap berpotensi merongrong kekuasaan maka dengan segera diamankan sampai berakhir dengan kematian.

Selain dari itu, yang biasanya dilakukan adalah menyampaikan hal-hal yang kurang terhadap orang-orang yang dianggap dapat merongrong kekuasaan. Dalam ini termasuk kepada Imam Hasan putra Imam Ali dalam majelis di masjid-masjid. Meski dikecam, tetapi Imam Hasan tidak marah atau balik menghujat malah mendengarkan sambil menunggu waktu shalat berjamaah.

Setelah selesai kultum dan dikumandangkan iqamat; khalifah yang memberi kultum itu menjadi imam shalat. Makmumnya adalah para tentara dan masyarakat, termasuk Imam Hasan. Kultum dilakukan setiap hari dan Imam Hasan menyimaknya.

Suatu hari Imam Hasan terlambat datang. Sang penguasa yang memberi kultum clengak-clenguk ke barisan belakang jamaah shalat dzuhur. Kultum pun terus berlangsung. Durasinya menjadi lama. Muncullah cucu terkasih Rasulullah saw itu dari arah belakang. Saat terlihat datang, penguada yang kultum pun menyampaikan hujatannya. Setelah itu dikumandangkan iqamah dan melaksanakan shalat dzuhur berjamaah.

Riwayat tersebut saya dengar dalam sebuah pengajian. Narasumbernya seorang doktor dan ahli dalam kajian Islam. Menarik akhlak Imam Hasan ini meski dihujat tidak membalas. Sayangnya, kesabaran Imam Hasan tidak berbalas kebaikan atau menjadi sadar orang yang menghujat.

Sejarah mengisahkan bahwa penguasa Umayyah dalam menjalankan pemerintahan dengan tangan besi. Kaum Muslim Syiah dan orang yang dekat dengan Imam Hasan diancam, disiksa dan dipenjarakan. Banyak yang menjadi korban. Namun penguasa tampaknya tidak merasa cukup puas dengan tindakan keji dan zalim yang ditimpakan pada keturunan Rasulullah dan pengikutnya. Setelah dipisahkan dari umat dan dikecam, Imam Hasan pun dibunuh dengan cara diracun.

Sungguh mulia akhlak yang dimiliki Imam Hasan bin Ali ini. Meski dicaci dan dimaki dihadapan publik, tetap saja masih ikut serta dalam barisan shalat jamaah. Bahkan, saat dibunuh dengan racun pun tiada sepatah pun kata kecaman terlontar pada musuhnya. Sebuah pelajaran akhlak yang luhur yang tidak dimiliki oleh kaum Muslim setelahnya.

Sosok Imam Hasan bin Abu Thalib bisa dikatakan sebagai tokoh penganjur persatuan dan kesatuan umat Islam. Cacian dan makian, bagi seorang Muslim yang kaffah dan pecinta perdamaian, tidak membuatnya ikut-ikutan mencaci kembali atau membalasnya. Tapi justru dengan membiarkannya, telah menjadi bukti bahwa kita tak perlu mengikuti atau meniru perbuatan jelek itu.

Demi mempertahankan keberadaan Islam dan agar umat Islam tidak berpecah serta tidak ditindas, Imam Hasan merelakan dirinya untuk diperlakukan tidak horrmat dihadapan publik. Inilah sebuah nilai keislaman yang sangat langka dan perlu penafsiran yang mendalam. Sebab sikap dan tindakan cucu Rasulullah saw ini sudah masuk wilayah amalan batin: sabar.

Cacian dan makian bagi Imam Hasan bin Abu Thalib merupakan bagian dari riyadhah untuk meningkatkan kualitas iman sekaligus sebuah upaya tazkiyatun nafs. *** (ahmad sahidin)