Jumat, 17 Maret 2017

Laila Majun dan Tafsir

DIKISAHKAN Sultan Ghaznawi memerintahkan beberapa pesuruhnya untuk mendatangkan Laila, perempuan cantik yang amat termashur saat itu. Setelah dihadapkan, Sultan Ghaznawi bertanya,  “Wahai Laila, engkau adalah perempuan cantik. Dengan kecantikanmu itu para penyair senantiasa mendengung-dengungkan syair-syair tentang dirimu. Aku dengar bahwa engkau mempunyai seorang kekasih yang bernama Majnun. Tunjukkan di mana laki-laki yang beruntung itu, agar aku dapat mengetahui rupa lelaki yang kau cintai itu?”

Tiba-tiba saja Laila menangis. Sambil terisak-isak Laila menjawab, “Tuanku, kekasihku Majnun kini entah di mana? Aku tidak tahu keberadaannya. Tiap hari aku merindukan Majnun, tapi entah di mana ia sekarang berada. Aku tak bisa menemukan kekasihku?”

Mendengar pernyataan Laila, hati Sultan Ghaznawi terenyuh. Ia langsung memerintahkan para pengawalnya untuk mencari dan menghadapkan Majnun padanya. Para pengawal pun melakukan pencarian ke berbagai pelosok desa dan kota. Setelah berhari-hari mencari, tapi belum ditemukan juga. Terdengarlah suatu kabar bahwa di suatu padang pasir yang gersang, ada seorang pemuda sebatang kara. Mondar-mandir tak karuan. Namun bibirnya tak henti menzikirkan nama Laila: “Laila, oh Laila.”

Melihat tingkahnya itu segeralah pemuda itu dibawa kepada Sultan Ghaznawi. Setibanya di istana, Laila yang tadinya sedih saat melihat sosok yang dibawa pengawal merasa gembira. Wajahnya yang muram kembali ceria.

“Wahai Laila. Inikah kekasihmu yang kau cintai dengan sungguh-sungguh? Inikah kekasihmu yang buruk rupa, kurus, dan hitam legam? Inikah Majnun yang membuatmu resah dan gelisah itu? Seperti inikah kekasih seorang yang cantik?” tanya Sultan Ghaznawi penuh rasa heran.

“Tuan. Tuanku harus memandang Majnun dengan mataku. Bukan dengan mata Tuan,” jawab Laila sembari mendekat pada kekasihnya itu.

Saya potong ceritanya sampai di situ. Dalam dialog terakhir itu jelas bahwa kebenaran itu relatif dan subjektif. Tidak sama antara Laila dan Sultan Ghaznawi. Pandangan Laila adalah mata kejujuran (perempuan) yang melihat Majnun sebagai seorang yang istimewa di matanya. Pandangan Laila tertutup karena cinta, sehingga Majnun adalah sosok yang istimewa di hadapannya. Begitu juga dengan Sultan Ghaznawi adalah mata kejujuran (lelaki) yang memandang sosok Majnun. Pandangannya tak tertutup, malah terbuka pada realitas yang ada di hadapannya. Kenapa berbeda? Jelas karena keduanya berbeda: Sultan Ghaznawi adalah laki-laki, dan Laila adalah perempuan. Artinya, setiap orang tak akan sama dalam memandang sesuatu: akan selalu berbeda sesuai dengan sudut pandangnya. 

Perbedaan pandangan dalam cerita di atas merupakan fakta adanya “ragam-baca” dan fenomena tersebut akan selalu muncul. Dalam setiap agama terdapat perbedaan tafsir atau cara pandang.
Kitab Suci umat Islam sendiri yang kini sudah berusia limabelas abad banyak melahirkan perbedaan dalam tafsir. Jumlahnya mungkin sudah ribuan karya tafsir yang dihasilkan sejak Ibnu Abbas hingga Muhammad Quraish Shibab. Karya-karya tafsir yang lahir dari para ulama itu karena bahasanya “berat” tidak jarang ditafsirkan kembali (syarh) oleh para generasi setelahnya. Dari Kitab Suci dan tafsirnya itu lahir pemahaman-pemahaman teologi yang kini mewarnai perkembangan sejarah khazanah Islam. Tak jarang di antara pemahaman teologi yang berbeda-beda itu timbul kecaman dan gugatan, yang dalam sejarah saling menumpahkan darah. Bahkan, kita sempat melihat konflik “pemahaman Islam” muncul kembali di antara kalangan liberal dan fundamental.

Hampir semua negara, terutama yang terdapat kaum Muslim, selalu terjadi benturan pemikiran antara yang berpegang teguh pada pemahaman masa lalu (salafiyah) dengan yang terkini (tajdiyah).  Atau dalam istilah sekarang, antara yang liberal dengan yang fundamental.

Di antara pendapat yang dimunculkannya bukan murni ijtihad untuk kemaslahatan umat, kadang ada yang karena kepentingan politis dan finansial. Model pemikiran atau tafsir seperti ini saya kira perlu untuk tidak diambil karena dampaknya akan membawa ke-mudharat-an. Semoga saja mereka yang terlanjur “terjerat” segera menyadarinya. [ahmad sahidin]