DIKISAHKAN Sultan Ghaznawi memerintahkan beberapa
pesuruhnya untuk mendatangkan Laila, perempuan cantik yang amat termashur saat
itu. Setelah dihadapkan, Sultan Ghaznawi bertanya, “Wahai Laila, engkau adalah perempuan cantik.
Dengan kecantikanmu itu para penyair senantiasa mendengung-dengungkan syair-syair
tentang dirimu. Aku dengar bahwa engkau mempunyai seorang kekasih yang bernama
Majnun. Tunjukkan di mana laki-laki yang beruntung itu, agar aku dapat
mengetahui rupa lelaki yang kau cintai itu?”
Tiba-tiba saja Laila menangis. Sambil
terisak-isak Laila menjawab, “Tuanku, kekasihku Majnun kini entah di mana? Aku
tidak tahu keberadaannya. Tiap hari aku merindukan Majnun, tapi entah di mana
ia sekarang berada. Aku tak bisa menemukan kekasihku?”
Mendengar pernyataan Laila, hati Sultan
Ghaznawi terenyuh. Ia langsung memerintahkan para pengawalnya untuk mencari dan
menghadapkan Majnun padanya. Para pengawal pun melakukan pencarian ke berbagai
pelosok desa dan kota. Setelah berhari-hari mencari, tapi belum ditemukan juga.
Terdengarlah suatu kabar bahwa di suatu padang pasir yang gersang, ada seorang
pemuda sebatang kara. Mondar-mandir tak karuan. Namun bibirnya tak henti
menzikirkan nama Laila: “Laila, oh Laila.”
Melihat tingkahnya itu segeralah pemuda itu
dibawa kepada Sultan Ghaznawi. Setibanya di istana, Laila yang tadinya sedih
saat melihat sosok yang dibawa pengawal merasa gembira. Wajahnya yang muram
kembali ceria.
“Wahai Laila. Inikah kekasihmu yang kau cintai
dengan sungguh-sungguh? Inikah kekasihmu yang buruk rupa, kurus, dan hitam
legam? Inikah Majnun yang membuatmu resah dan gelisah itu? Seperti inikah
kekasih seorang yang cantik?” tanya Sultan Ghaznawi penuh rasa heran.
“Tuan. Tuanku harus memandang Majnun dengan
mataku. Bukan dengan mata Tuan,” jawab Laila sembari mendekat pada kekasihnya
itu.
Saya potong ceritanya sampai di situ. Dalam
dialog terakhir itu jelas bahwa kebenaran itu relatif dan subjektif. Tidak sama
antara Laila dan Sultan Ghaznawi. Pandangan Laila adalah mata kejujuran
(perempuan) yang melihat Majnun sebagai seorang yang istimewa di matanya.
Pandangan Laila tertutup karena cinta, sehingga Majnun adalah sosok yang
istimewa di hadapannya. Begitu juga dengan Sultan Ghaznawi adalah mata
kejujuran (lelaki) yang memandang sosok Majnun. Pandangannya tak tertutup,
malah terbuka pada realitas yang ada di hadapannya. Kenapa berbeda? Jelas
karena keduanya berbeda: Sultan Ghaznawi adalah laki-laki, dan Laila adalah
perempuan. Artinya, setiap orang tak akan sama dalam memandang sesuatu: akan
selalu berbeda sesuai dengan sudut pandangnya.
Perbedaan pandangan dalam cerita di atas
merupakan fakta adanya “ragam-baca” dan fenomena tersebut akan selalu muncul.
Dalam setiap agama terdapat perbedaan tafsir atau cara pandang.
Kitab Suci umat Islam sendiri yang kini sudah
berusia limabelas abad banyak melahirkan perbedaan dalam tafsir. Jumlahnya
mungkin sudah ribuan karya tafsir yang dihasilkan sejak Ibnu Abbas hingga
Muhammad Quraish Shibab. Karya-karya tafsir yang lahir dari para ulama itu
karena bahasanya “berat” tidak jarang ditafsirkan kembali (syarh) oleh para
generasi setelahnya. Dari Kitab Suci dan tafsirnya itu lahir
pemahaman-pemahaman teologi yang kini mewarnai perkembangan sejarah khazanah
Islam. Tak jarang di antara pemahaman teologi yang berbeda-beda itu timbul
kecaman dan gugatan, yang dalam sejarah saling menumpahkan darah. Bahkan, kita
sempat melihat konflik “pemahaman Islam” muncul kembali di antara kalangan
liberal dan fundamental.
Hampir semua negara, terutama yang terdapat
kaum Muslim, selalu terjadi benturan pemikiran antara yang berpegang teguh pada
pemahaman masa lalu (salafiyah) dengan yang terkini (tajdiyah). Atau dalam istilah sekarang, antara yang
liberal dengan yang fundamental.
Di antara pendapat yang dimunculkannya bukan
murni ijtihad untuk kemaslahatan umat, kadang ada yang karena kepentingan
politis dan finansial. Model pemikiran atau tafsir seperti ini saya kira perlu
untuk tidak diambil karena dampaknya akan membawa ke-mudharat-an. Semoga saja
mereka yang terlanjur “terjerat” segera menyadarinya. [ahmad sahidin]