Sabtu, 18 Maret 2017

Anaximenes dan Menyikapi Perbedaan

SUATU hari Anaximenes (560-520 SM) terlihat sedang berjongkok di tepi pantai yang menghadap laut. Pada pepasir tangannya menggoreskan sesuatu. Entah apa yang sedang digoreskannya. Namun dari tempat jauh terlihat beberapa pengawal kerajaan yang berjalan menghampirinya. Setelah dekat, salah seorang pengawal mendekat dan melihat-lihat yang sedang dikerjakan Anaximenes. Tak lama kemudian pengawal itu  bertanya, "Anaximenes, apa yang kau lakukan?" Anaximenes tak menjawab. Pengawal itu kembali bertanya. Namun kembali tak dijawabnya. Baru pada pertanyaan yang ketiga Anaximenes menjawab, "Jangan ganggu aku!"

"Hei filsuf, aku hanya ingin tahu," tanya pengawal itu setengah membentak. Yang ditanya malah diam dan terus asyik menggoreskan jarinya. Karena tak dihiraukan, pengawal itu langsung mencabut pedangnya dan kemudian mengacak-acak goresan yang dibuat Anaximenes. Melihat hal itu, Anaximenes spontan merebut pedangnya dan langsung dihujamkan tepat diperutnya. 

"Tadi sudah kubilang, jangan ganggu aku!" kata sang filsuf sambil berjongkok dan kembali melanjutkan aktivitasnya.

Fenomena
Begitulah fenomena yang kerapkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yakni  sebuah realitas yang mengandung dua sisi yang berbeda. Pertama adalah sisi manusia serius dengan aktivitasnya sehingga orang yang ada di sekitarnya diacuhkan. Kedua adalah manusia yang "terlalu peduli" sehingga ingin tahu urusan orang lain. Dua sisi itu berakhir dengan "kebinasaan" dan "peniadaan" salah satu pihak karena tidak adanya kesaling-mengertian dan kesaling-pemahaman tentang (karakter) yang lain. Dari yang kecil berubah menjadi yang besar.

Di negeri kita tampak bahwa perbuatan-perbuatan itu masih ada. Bukankah kita menemukan pada diri kita sendiri yang merasa tidak senang dengan mereka yang berbeda? Bukankah kita sering menganggap sesat kepada mereka yang berbeda paham dengan kita? Padahal Rasulullah saw mengecam kita lewat sabdanya, “Mencaci orang Muslim itu fasiq, sedangkan membunuhnya juga kafir.” (HR Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, mengapa perbuatan tersebut masih saja dilakukan umat Islam? Persoalannya karena sistem pengetahuan dan konstruksi budaya yang melekat pada seorang Muslim belum benar-benar berada dalam garis yang benar.  Yakni cara pandang dan paradigma yang kita miliki perlu ditinjau ulang. Jika perlu didekonstruksi sekaligus direkonstruksi menuju kepada konsep rahmat tadi. Karena itu, kita wajib bersikap bijak terhadap berbagai perbedaan di antara kita. Sebab dengan ini akan melahirkan masyarakat yang penuh rahmat—kasih sayang dan penuh kedamaian. Allah Ta`ala berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu  manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu  isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa  tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS Ar-Rum: 20-22); atau pada ayat lain, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat : 13)

Namun dalam kehidupan ini kita menemukan bahwa kearifan yang berdasarkan nilai ilahiyah dan insaniyah merupakan "kata-kata" yang lebih mudah dibicarakan dan sulit dijalankan. Sebab, ia adalah yang berdasar pada sikap bijak untuk menyikapi yang berbeda secara pemahaman maupun sikap dan cara pandang yang biasa kita anut. Berbeda karena dalam masyarakat, individu satu dengan yang lainnya punya karakter, watak, sifat dan bentuk-bentuk budaya tertentu.

Masyarakat yang menyadari adanya perbedaan dan keragaman di antara mereka merupakan masyarakat ideal. Yakni masyarakat yang tidak memiliki dinding-dinding yang membatasi sekaligus berani membuka diri dengan perbedaan yang ada di masyarakatnya. Pada masyarakat ini, keterbukaan dan sikap kasih sayang antar sesama serta bijak dalam memahami orang lain merupakan kunci utamanya. Sebab mereka berada dalam landasan kesepakatan sosial yang mengacu pada nilai-nilai insaniyah dan norma kedamaian dan kesejahteraan bersama. Inilah yang pada masa Rasulullah saw disebut ummah dan bentuknya masyarakat Madinah. Pada masa itu, munculnya Nabi Muhammad saw menjadi figur yang menyatukan berbagai perbedaan yang ada di masyarakat Arab. Saat itu Rasulullah lewat Piagam-Madinah yang disepakati oleh berbagai suku dan agama berhasil mewujudkan masyarakat yang betul-betul ideal di dunia ini.


Kita tahu di dalamnya ada larangan dan aturan tertentu sehingga hal-hal yang bersifat kesejahteraan dan kemanusiaan dalam masyarakat diutamakan. Di sinilah sikap keragaman atau perbedaan yang didasarkan ukhuwah insaniyah wa basyariyah menjadi penting untuk diwujudkan dalam kehidupan kita. Apalagi masyarakat Indonesia yang multi-budaya, etnis dan agama, tentu harus direalisasikan. Karena dengan ini, kita sebagai manusia tidak akan lagi tersekat garis pemisah antara kita sebagai manusia dan  yang-lain (the others) sebagai bukan manusia. Ini yang harus kita sadari bahwa sesungguhnya manusia itu adalah beranekaragam. [ahmad sahidin]