SUATU hari Anaximenes (560-520 SM) terlihat
sedang berjongkok di tepi pantai yang menghadap laut. Pada pepasir tangannya menggoreskan
sesuatu. Entah apa yang sedang digoreskannya. Namun dari tempat jauh terlihat
beberapa pengawal kerajaan yang berjalan menghampirinya. Setelah dekat, salah
seorang pengawal mendekat dan melihat-lihat yang sedang dikerjakan Anaximenes.
Tak lama kemudian pengawal itu bertanya,
"Anaximenes, apa yang kau lakukan?" Anaximenes tak menjawab. Pengawal
itu kembali bertanya. Namun kembali tak dijawabnya. Baru pada pertanyaan yang
ketiga Anaximenes menjawab, "Jangan ganggu aku!"
"Hei filsuf, aku hanya ingin tahu,"
tanya pengawal itu setengah membentak. Yang ditanya malah diam dan terus asyik
menggoreskan jarinya. Karena tak dihiraukan, pengawal itu langsung mencabut
pedangnya dan kemudian mengacak-acak goresan yang dibuat Anaximenes. Melihat
hal itu, Anaximenes spontan merebut pedangnya dan langsung dihujamkan tepat
diperutnya.
"Tadi sudah kubilang, jangan ganggu
aku!" kata sang filsuf sambil berjongkok dan kembali melanjutkan
aktivitasnya.
Fenomena
Begitulah fenomena yang kerapkali terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Yakni
sebuah realitas yang mengandung dua sisi yang berbeda. Pertama adalah
sisi manusia serius dengan aktivitasnya sehingga orang yang ada di sekitarnya
diacuhkan. Kedua adalah manusia yang "terlalu peduli" sehingga ingin
tahu urusan orang lain. Dua sisi itu berakhir dengan "kebinasaan" dan
"peniadaan" salah satu pihak karena tidak adanya kesaling-mengertian
dan kesaling-pemahaman tentang (karakter) yang lain. Dari yang kecil berubah
menjadi yang besar.
Di negeri kita tampak bahwa perbuatan-perbuatan
itu masih ada. Bukankah kita menemukan pada diri kita sendiri yang merasa tidak
senang dengan mereka yang berbeda? Bukankah kita sering menganggap sesat kepada
mereka yang berbeda paham dengan kita? Padahal Rasulullah saw mengecam kita lewat
sabdanya, “Mencaci orang Muslim itu fasiq, sedangkan membunuhnya juga kafir.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi, mengapa perbuatan tersebut masih
saja dilakukan umat Islam? Persoalannya karena sistem pengetahuan dan
konstruksi budaya yang melekat pada seorang Muslim belum benar-benar berada
dalam garis yang benar. Yakni cara
pandang dan paradigma yang kita miliki perlu ditinjau ulang. Jika perlu
didekonstruksi sekaligus direkonstruksi menuju kepada konsep rahmat tadi.
Karena itu, kita wajib bersikap bijak terhadap berbagai perbedaan di antara
kita. Sebab dengan ini akan melahirkan masyarakat yang penuh rahmat—kasih
sayang dan penuh kedamaian. Allah Ta`ala berfirman, “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba
kamu manusia yang berkembang biak. Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS Ar-Rum: 20-22); atau
pada ayat lain, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat :
13)
Namun dalam kehidupan ini kita menemukan bahwa
kearifan yang berdasarkan nilai ilahiyah dan insaniyah merupakan
"kata-kata" yang lebih mudah dibicarakan dan sulit dijalankan. Sebab,
ia adalah yang berdasar pada sikap bijak untuk menyikapi yang berbeda secara
pemahaman maupun sikap dan cara pandang yang biasa kita anut. Berbeda karena
dalam masyarakat, individu satu dengan yang lainnya punya karakter, watak,
sifat dan bentuk-bentuk budaya tertentu.
Masyarakat yang menyadari adanya perbedaan dan
keragaman di antara mereka merupakan masyarakat ideal. Yakni masyarakat yang
tidak memiliki dinding-dinding yang membatasi sekaligus berani membuka diri
dengan perbedaan yang ada di masyarakatnya. Pada masyarakat ini, keterbukaan
dan sikap kasih sayang antar sesama serta bijak dalam memahami orang lain
merupakan kunci utamanya. Sebab mereka berada dalam landasan kesepakatan sosial
yang mengacu pada nilai-nilai insaniyah dan norma kedamaian dan kesejahteraan
bersama. Inilah yang pada masa Rasulullah saw disebut ummah dan bentuknya
masyarakat Madinah. Pada masa itu, munculnya Nabi Muhammad saw menjadi figur
yang menyatukan berbagai perbedaan yang ada di masyarakat Arab. Saat itu
Rasulullah lewat Piagam-Madinah yang disepakati oleh berbagai suku dan agama
berhasil mewujudkan masyarakat yang betul-betul ideal di dunia ini.
Kita tahu di dalamnya ada larangan dan aturan
tertentu sehingga hal-hal yang bersifat kesejahteraan dan kemanusiaan dalam
masyarakat diutamakan. Di sinilah sikap keragaman atau perbedaan yang
didasarkan ukhuwah insaniyah wa basyariyah menjadi penting untuk diwujudkan
dalam kehidupan kita. Apalagi masyarakat Indonesia yang multi-budaya, etnis dan
agama, tentu harus direalisasikan. Karena dengan ini, kita sebagai manusia
tidak akan lagi tersekat garis pemisah antara kita sebagai manusia dan yang-lain (the others) sebagai bukan manusia.
Ini yang harus kita sadari bahwa sesungguhnya manusia itu adalah beranekaragam.
[ahmad sahidin]