Senin, 06 Maret 2017

Memahami Esensi Taqwa



SETIAP Muslim yang hidup di dunia tak lepas dari ujian dan tantangan. Sebab sudah menjadi sunnatullah, mereka yang mengaku Muslim pasti mengalami ujian untuk meningkatkan derajat. Setiap pelajar, dalam sekolahnya pasti akan menghadapi ujian. Dari ujian itu ia akan mengetahui kualitas ilmu, pemahaman dan kecerdasannya. Mereka yang berhasil menyelesaikan ujian dengan hasil yang memuaskan, dipastikan naik kelas. Sebaliknya, mereka yang tak berhasil, dipastikan tidak naik kelas. Begitu pun dalam hidup ini, Allah senantiasa memberikan ujian dan tantangan kepada umat Islam untuk melihat atau menyeleksi siapa saja yang termasuk hamba Allah. Yang dikmaksud sebagai hamba Allah, tentu mereka yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya.

Apa itu taqwa? Taqwa merupakan bentuk invinitive yang berarti “wiqayyah”. Dalam pengertian bahasa adalah menjaga sesuatu dari yang menyakiti dan yang bisa membahayakannya. Bisa juga diartikan sebagai upaya untuk menjadikan diri seseorang dalam keadaan selalu terpelihara dari sesuatu yang menakutkan.

Seorang sahabat Nabi yang bernama Ali bin Abu Thalib ra menjelaskan bahwa orang yang bertaqwa itu ibarat orang yang berjalan di jalan yang ada durinya. Ia akan berhati-hati ketika melangkah di jalan tersebut. Begitulah seorang Muslim yang bertaqwa. Ia senantiasa akan berhati-hati dalam hidupnya, apakah langkah hidupnya itu menuju pada Allah atau berada dalam jalur setan.


Taqwa dalam al-Quran
Dalam Al-Quran, Allah menegaskan, taqwa merupakan tanda kemuliaan manusia. ”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (Q.S.Al-Hujurat [49]:13). Ketaqwaan juga menjadi syarat mendapatkan rahmat Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Hujurat ayat 10, terdapat kalimat, ”... dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.

Selain melindungi diri, taqwa pun menjadi bekal bagi orang-orang beriman. Allah berfirman, “Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepadaKu hai orang-orang yang beriman” (Q.S.Al-Baqarah [2] :197).

Dari ayat-ayat tersebut, jelas bahwa taqwa merupakan hal yang utama untuk dijadikan bagian hidup dan keseharian kita. Sebab dengan taqwa, diri kita terbingkai dan menjadi perisai untuk menghindar dari berbagai godaan setan dan perbuatan yang menjerumuskan kita dalam dosa.

Dalam Al-Qur`an terdapat ayat yang menjelaskan ciri-ciri orang yang bertaqwa (muttaqin). Dalam surat Al-Baqarah ayat 3 dan 4, seorang muttaqin dicirikan sebagai orang yang menjadikan kitab Allah sebagai petunjuk hidup, beriman kepada yang ghaib, menyadari tujuan akhir hidupnya, dan senantiasa menjalankan nilai dan aturan yang datang dari Allah.

Ciri lainnya, ia selalu berlaku ihsan dan berpandangan jauh ke masa depan. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Hasyr (59) ayat 18, “…bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”

Seorang yang beriman harus memahami bahwa taqwa merupakan buah ibadah kepada Allah. Karena bila dikaji secara mendalam, pada dasarnya seluruh dimensi ibadah yang diperintahkan Allah merupakan tangga menuju ketaqwaan. Contohnya, shaum Ramadhan diperintahkan bagi kaum beriman agar menjadi manusia yang bertaqwa. Karena itu, agar menjadi manusia yang bertaqwa, ibadahnya harus dilandasi dengan penuh ketauhidan kepada Allah sebagai Al-Khaliq yang kekal, pencipta alam semesta beserta aturan dan permainannya.

Allah mengingatkan kepada kita agar wafat pun harus berada dalam keadaan taqwa. “Bertaqwalah kamu sekalian dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam keadaan Muslim” (Q.S.Ali-Imran [3]102). 

Rasulullah saw bersabda, “Bertaqwalah kamu kepada Allah, dimanapun kamu berada, dan ikutilah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan itu. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Darimi).

Memang harus diakui menjadi muttaqin itu membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Namun semakin taqwa seseorang, dan jika masyarakatnya bertaqwa akan lahir ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian dalam hidupnya. [ahmad sahidin]