SETIAP Muslim yang hidup di dunia tak lepas
dari ujian dan tantangan. Sebab sudah menjadi sunnatullah, mereka yang mengaku
Muslim pasti mengalami ujian untuk meningkatkan derajat. Setiap pelajar, dalam
sekolahnya pasti akan menghadapi ujian. Dari ujian itu ia akan mengetahui
kualitas ilmu, pemahaman dan kecerdasannya. Mereka yang berhasil menyelesaikan
ujian dengan hasil yang memuaskan, dipastikan naik kelas. Sebaliknya, mereka
yang tak berhasil, dipastikan tidak naik kelas. Begitu pun dalam hidup ini,
Allah senantiasa memberikan ujian dan tantangan kepada umat Islam untuk melihat
atau menyeleksi siapa saja yang termasuk hamba Allah. Yang dikmaksud sebagai
hamba Allah, tentu mereka yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya.
Apa itu taqwa? Taqwa merupakan bentuk invinitive
yang berarti “wiqayyah”. Dalam pengertian bahasa adalah menjaga sesuatu dari
yang menyakiti dan yang bisa membahayakannya. Bisa juga diartikan sebagai upaya
untuk menjadikan diri seseorang dalam keadaan selalu terpelihara dari sesuatu
yang menakutkan.
Seorang sahabat Nabi yang bernama Ali bin Abu Thalib ra menjelaskan bahwa orang yang bertaqwa itu ibarat orang yang berjalan di jalan
yang ada durinya. Ia akan berhati-hati ketika melangkah di jalan tersebut.
Begitulah seorang Muslim yang bertaqwa. Ia senantiasa akan berhati-hati dalam
hidupnya, apakah langkah hidupnya itu menuju pada Allah atau berada dalam jalur
setan.
Taqwa dalam al-Quran
Dalam Al-Quran, Allah menegaskan, taqwa
merupakan tanda kemuliaan manusia. ”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang
paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (Q.S.Al-Hujurat
[49]:13). Ketaqwaan juga menjadi syarat mendapatkan rahmat Allah. Sebagaimana
disebutkan dalam Surat Al-Hujurat ayat 10, terdapat kalimat, ”... dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
Selain melindungi diri, taqwa pun menjadi
bekal bagi orang-orang beriman. Allah berfirman, “Berbekallah, sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepadaKu hai orang-orang yang
beriman” (Q.S.Al-Baqarah [2] :197).
Dari ayat-ayat tersebut, jelas bahwa taqwa
merupakan hal yang utama untuk dijadikan bagian hidup dan keseharian kita.
Sebab dengan taqwa, diri kita terbingkai dan menjadi perisai untuk menghindar
dari berbagai godaan setan dan perbuatan yang menjerumuskan kita dalam dosa.
Dalam Al-Qur`an terdapat ayat yang menjelaskan
ciri-ciri orang yang bertaqwa (muttaqin). Dalam surat Al-Baqarah ayat 3 dan 4,
seorang muttaqin dicirikan sebagai orang yang menjadikan kitab Allah sebagai
petunjuk hidup, beriman kepada yang ghaib, menyadari tujuan akhir hidupnya, dan
senantiasa menjalankan nilai dan aturan yang datang dari Allah.
Ciri lainnya, ia selalu berlaku ihsan dan
berpandangan jauh ke masa depan. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Hasyr (59)
ayat 18, “…bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
Seorang yang beriman harus memahami bahwa
taqwa merupakan buah ibadah kepada Allah. Karena bila dikaji secara mendalam,
pada dasarnya seluruh dimensi ibadah yang diperintahkan Allah merupakan tangga
menuju ketaqwaan. Contohnya, shaum Ramadhan diperintahkan bagi kaum beriman
agar menjadi manusia yang bertaqwa. Karena itu, agar menjadi manusia yang
bertaqwa, ibadahnya harus dilandasi dengan penuh ketauhidan kepada Allah
sebagai Al-Khaliq yang kekal, pencipta alam semesta beserta aturan dan
permainannya.
Allah mengingatkan kepada kita agar wafat pun
harus berada dalam keadaan taqwa. “Bertaqwalah kamu sekalian dengan
sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam
keadaan Muslim” (Q.S.Ali-Imran [3]102).
Rasulullah saw bersabda, “Bertaqwalah kamu
kepada Allah, dimanapun kamu berada, dan ikutilah keburukan itu dengan
kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan itu. Dan bergaullah dengan
manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Darimi).
Memang harus diakui menjadi muttaqin itu
membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Namun semakin taqwa seseorang, dan
jika masyarakatnya bertaqwa akan lahir ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian
dalam hidupnya. [ahmad sahidin]