Sabtu, 11 Maret 2017

Al-Biruni dan Kebenaran

Abu Raihan al-Biruni adalah saintis Muslim. Ia mempunyai seorang tetangga ahli fiqih yang mengunjunginya saat Al-Biruni sakit berat. Orang itu melihat Al-Biruni terbujur  di atas tempat tidur sambil menghadap kiblat. Tampaknya Al-Biruni sudah mendekati ajal. Namun, dalam keadaan seperti itu Al-Biruni masih sempat bertanya tentang masalah fiqih kepada tetangganya itu.

Orang itu mengatakan bahwa ia seharusnya mempersiapkan diri untuk kematiannya. Al-Biruni menjawab, “Aku tahu saat ini aku diambang kematian, tetapi aku tetap akan bertanya kepada Anda tentang manakah yang lebih baik, apakah aku mati dengan mengetahui jawaban atas pertanyaanku tadi ataukah aku mati tanpa mengetahui jawabannya?” Kemudian, orang itu menjawab, “Tentu saja lebih baik jika engkau mati dengan mengetahui jawabannya.” 

“Kalau  begitu, jawablah pertanyaanku,” kata Al-Biruni. Sang faqih pun menjawab pertanyaan-pertanyaan Al-Biruni. Setelah ahli fiqih itu pulang, terdengarlah isak tangis di rumah Al-Biruni.

Fitrah
Demikian cerita yang saya dapatkan dalam buku Fitrah karya Murtadha Muthahhari. Di dalam buku itu, Muthahhari menegaskan bahwa keinginan untuk mengetahui segala sesuatu adalah fitrah atas adanya kesadaran yang tersembunyi dari diri manusia. Karena itu, dorongan manusia yang terus menerus melakukan penelitian untuk menemukan hakikat (kebenaran) merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adanya. Itu sebabnya, manusia senantiasa dikatakan tidak pernah berhenti atau puas dengan hal-hal yang telah dicapainya dan manusia selalu berusaha untuk mencapai kesempurnaannya. Bukankah hidup dan kehidupan tidak hanya seperti apa adanya, tetapi harus senantiasa dicari dengan keberadan tersebut?

Sesuatu yang dicari adalah sesuatu yang dipertanyakan atau yang diragukan pada awalnya. Seperti Ali Syari'ati, ilmuwan sosial Iran, yang pernah akan melakukan bunuh diri ketika menemukan kebuntuan dalam berpikir (tentang hidup); karena menurut Syari`ati, hidup ini adalah sumber masalah dan dari setiap pemecahan yang dilakukan senantiasa memunculkan permasalahan baru. Bahkan, tidak jarang dilingkupi berbagai hal yang membingungkan sehingga jalan yang terbaik agar terhindar dari semua itu adalah kematian. Namun, kita tak perlu berbuat demikian karena keraguan adalah sesuatu yang menakjubkan sekaligus tempat tinggal yang buruk. Yang jika diusut keraguan tersebut berawal dari pelbagai hal yang tidak dimengerti dan tidak dipahami seperti kenapa manusia ada, berada dan mengada, atau untuk apa hidup? Mengapa ada alam? Benarkah Tuhan itu ada, atau kenapa Tuhan tidak dapat diketahui wujudnya? Pertanyaan–pertanyaan inilah yang senantiasa dicari jawabannya; atau yang terus menerus dipertanyakan dan dicari jawabannya.

Proses pencarian kebenaran inilah yang dicontohkan Goenawan Mohamad dalam sebuah cerita. Syahdan, dua Rabbi sedang berdebat tentang karya Musa bin Maimun. Yang diperdebatkan adalah mengenai ketidakcocokan antara naskah A dan naskah B (yang sama). Kedua Rabbi itu berdiskusi dengan saling mengajukan argumentasi-argumentasi yang cemerlang, saling bantah-membantah di antara keduanya. Mereka saling mengajukan tesis dan antitesis, tidak henti-hentinya berdiskusi, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tetapi perdebatan di antara keduanya tidak selesai sampai kedua Rabbi itu dijemput kematian.

Selesaikah? Ternyata tidak. Di akhirat pun kedua Rabbi itu kembali berdiskusi, saling  membantah dan mengajukan argumentasi. Semakin hebat yang diajukan Rabbi yang satu, semakin cemerlang pula Rabbi yang kedua memberikan anti-tesisnya. Sampai-sampai Tuhan dan para malaikat pun mengikuti diskusi tersebut. Akhirnya, karena tidak selesai, Tuhan memanggil Musa bin Maimun untuk memastikan ketidakcocokan naskah A dan B. Musa bin Maimun mendekat, melihat, dan seraya tertawa berkata, “Oo, ada kesalahan cetak pada naskah B.”

Selesaikah perdebatan tersebut? Ternyata tidak. Jawabaan yang diberikan sang pengarang tidak memuaskan kedua Rabbi. Kemudian kedua Rabbi itu pun kembali berdiskusi dan perdebatan pun terjadi sehingga tesis dan anti-tesis terus berlangsung di antara keduanya.

Kenapa tidak selesai-selesai? Kira-kira jawabannya adalah karena segala sesuatu yang sudah berbentuk karya, atau dimediakan adalah menjadi otonom. Artinya, sudah tidak ada lagi hubungannya dengan pembuat teks tersebut dan wewenang pengarang sudah tidak ada lagi terhadap yang ditulisnya.  Dengan konsep “otonom” itu teks bisa disentuh oleh mereka yang hendak dan ingin memahami atau memaknainya secara bebas sesuai pendekatan yang diarahkan pada teks (objek) tersebut. Semakin cerdas seseorang menghadapi sesuatu teks, semakin cemerlang pula teks itu menjawabnya.

Andaikata konsep “otonom” ini dipahami oleh seorang Muslim bahwa pengarang itu Allah yang menciptakan al-Quran sebagai karya Ilahi, pasti mereka yang berpendapat tentang “otonom” atau berdiri sendirinya sebuah karya dikatakan zindiq, bahkan murtad. Mengapa? Karena dengan konsep “otonom” berarti telah meniadakan wewenang dan otoritas Allah sebagai pemilik nyata kebenaran alias yang mengetahui esensi al-Quran yang sebenarnya.   

Harus disadari manusia beserta pemikiran-pemikirannya adalah sesuatu yang bersifat relatif dan tidak sakral. Karena itu, pemikiran dan tafsiran apa pun yang dihasilkan manusia, walaupun merujuk pada teks suci, adalah relatif dan subjektif.

Dengan demikian, setiap manusia yang mampu memberikan penafsiran adalah sah adanya dan jika berbeda tafsiran dengan kita, ya biarkan saja. Ia punya hak untuk memahami atau mamaknai teks tersebut sepanjang tidak memaksakan tafsirnya kepada orang yang sudah memiliki tafsir.

Dengan melakukan interpretasi baru terhadap teks (suci) adalah menjadi bentuk pengkayaan terhadap tafsir yang telah ada sehingga setiap orang dipersilahkan untuk memilih mana yang lebih baik dan cocok dengannya. Adapun mereka yang ingin menyingkirkan tafsir lama, itu adalah hak mereka. Namun  tidak boleh memaksa yang lain untuk mengikutinya atau dipersoalkan sebagai ambruk atau hilangnya warisan intelektual. Namun, harus dipahami sebagai proses perubahan dari kreativitas intelektual yang terus bergerak secara dinamis.

Dalam penafsiran kontemporer yang memakai pendekatan hermeneutika pun terbagi pada dua kutub. Kutub pertama adalah yang menganggap hasil penafsiran yang dilakukan seseorang (termasuk kelompoknya) merupakan kebenaran yang abash; karena teks yang telah terlepas dari pengarangnya adalah berdiri-sendiri (otonom) dan tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan pengarang (dead author). Karena iu, interpretasi apa pun (yang dihasilkan pembaca-penafsir) adalah sah (apalagi bermakna dan bermanfaat untuk kehidupannya). Model penafsiran ini mulanya lahir dari para filsuf Perancis, seperti Rolland Barthes, Jacues Derrida, Paul Ricouer, dan lainnya. Pemikiran mereka berpengaruh kepada Muhammad Abed al-Jabiri, Mohammad Arkoun, Nashr Hamid Abu Zayd, dan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia. 

Sementara kutub kedua adalah yang beranggapan bahwa penafsiran adalah tindakan subjektif yang berdasarkan pada pra-anggapan dan pra-asumsi sebelumnya (atau sesuatu yang melekat di benaknya). Karena itu, penafsiran yang dihasilkannya adalah hanya berusaha mendekati atau menggapai kebenaran yang ada pada pengarangnya. Penafsiran model ini dicetuskan para filsuf Jerman, seperti Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Schleiemacher, dan lainnya. Pemikiran mereka berpengaruh kepada Asghar Ali Engineer, Farid Esack, Hasan Hanafi, dan lainnya. Pada model penafsiran ini muncul pendapat bahwa tafsir tentang ayat-ayat suci al-Quran tidak akan pernah berakhir karena yang paling mengerti akan arti sebuah teks tersebut adalah pembuatnya, Allah. Bahkan,  para mufasir pun pada dasarnya hanya berusaha memahami apa yang dimaksudkan-Nya sehingga terjadi keanekaragaman tafsir. Namun, keadaan ini akan menimbulkan masalah karena setiap diri akan merasa dan menilai bahwa dirinya yang paling paham akan arti sebuah teks tersebut.

Tidak hanya seorang yang punya klaim itu, tetapi lebih dari satu, beragam dan tak terbatas. Lawannya adalah sesuatu yang menghendaki persatuan dan kesatuan (yang kuat) di bawah satu identitas dan satu tafsir sehingga perbedaan harus dilarutkan dan dipaksakan menjadi satu.

Dalilnya bisa bermacam-macam. Baik itu agama maupun stabilitas politik. Bukan hanya Islam yang setiap masa terjadi konflik akibat tafsir, tetapi dalam agama lain pun terjadi. Kenapa? Karena keyakinan dalam beragama harus lurus dan yang dituju harus jelas. Inilah masalahnya ketika beragama diartikan harus lurus dan jelas. Bukankah kita perlu mengingatkan kembali bahwa tidak selamanya “jalan” yang dianggap lurus dan jelas itu dapat mencapai apa yang dituju. Kadang dengan berkelok dan bengkok dapat mencapai apa yang disebut “keselamatan dan kebahagian”. 

Di sini memang ada ruang untuk pengecualian bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau, tidak terbatas dan tidak terhingga atau semacam kehendak Ilahi, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)

Ada pun persoalan paling takwa dan yang paling benar, yang menilai bukan manusia tapi Dia Yang Mahamengetahui makna yang sebenarnya. Karena itu, persoalan kebenaran dan tafsir (agama) tidak pernah seragam. Ia senantiasa berbeda dan berlainan satu sama lain. Tidak tunggal. Bahkan, dari tafsir itu sendiri melahirkan penafsiran yang beraneka ragam.

Abu Ja`far, ayah Ja`far Ash-Shadiq, mengatakan bahwa dalam satu ayat al-Quran memiliki tujuh tafsir dan dalam setiap tafsirnya mengandung beberapa penafsiran lagi. Pernyataan itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, ‘Ina lil qur-aani dhohron wa bathnan wa libathnihi bathnan ilaa sab’ati abtunin (sesungguhnya Al-Quran itu ada lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya lagi, sampai tujuh batin). 

Karena itu, persoalan tafsir memang tidak akan pernah selesai sampai muncul Hari Akhir kehidupan dunia. Selama manusia membaca, menelaah, dan memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan agama (Islam) akan banyak melahirkan berbagai macam tafsir atau pemahaman agama. Lalu, dari perbedaan itu melahirkan kelompok atau mazhab; dan dari mazhab itu akan muncul pecahannya dalam bentuk sekte kecil yang terpisah karena berbeda dengan induknya.

Persoalan kebenaran memang penting, tetapi yang lebih penting adalah seberapa besar kontribusi (manfaat) yang diberikan seseorang atau dari suatu kelompok (penafsir) terhadap bangsa dan kemanusiaan. ***

[Ahmad Sahidin, alumni UIN Bandung]