Abu Raihan al-Biruni adalah saintis Muslim. Ia
mempunyai seorang tetangga ahli fiqih yang mengunjunginya saat Al-Biruni sakit
berat. Orang itu melihat Al-Biruni terbujur
di atas tempat tidur sambil menghadap kiblat. Tampaknya Al-Biruni sudah
mendekati ajal. Namun, dalam keadaan seperti itu Al-Biruni masih sempat
bertanya tentang masalah fiqih kepada tetangganya itu.
Orang itu mengatakan bahwa ia seharusnya
mempersiapkan diri untuk kematiannya. Al-Biruni menjawab, “Aku tahu saat ini
aku diambang kematian, tetapi aku tetap akan bertanya kepada Anda tentang
manakah yang lebih baik, apakah aku mati dengan mengetahui jawaban atas
pertanyaanku tadi ataukah aku mati tanpa mengetahui jawabannya?” Kemudian,
orang itu menjawab, “Tentu saja lebih baik jika engkau mati dengan mengetahui
jawabannya.”
“Kalau
begitu, jawablah pertanyaanku,” kata Al-Biruni. Sang faqih pun menjawab
pertanyaan-pertanyaan Al-Biruni. Setelah ahli fiqih itu pulang, terdengarlah
isak tangis di rumah Al-Biruni.
Fitrah
Demikian cerita yang saya dapatkan dalam buku Fitrah karya Murtadha Muthahhari. Di
dalam buku itu, Muthahhari menegaskan bahwa keinginan untuk mengetahui segala sesuatu adalah fitrah atas adanya
kesadaran yang tersembunyi dari diri manusia. Karena itu, dorongan manusia yang
terus menerus melakukan penelitian untuk menemukan hakikat (kebenaran)
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adanya. Itu sebabnya, manusia
senantiasa dikatakan tidak pernah berhenti atau puas dengan hal-hal yang telah
dicapainya dan manusia selalu berusaha untuk mencapai kesempurnaannya. Bukankah
hidup dan kehidupan tidak hanya seperti apa adanya, tetapi harus senantiasa
dicari dengan keberadan tersebut?
Sesuatu yang dicari adalah sesuatu yang
dipertanyakan atau yang diragukan pada awalnya. Seperti Ali Syari'ati, ilmuwan
sosial Iran, yang pernah akan melakukan bunuh diri ketika menemukan kebuntuan
dalam berpikir (tentang hidup); karena menurut Syari`ati, hidup ini adalah
sumber masalah dan dari setiap pemecahan yang dilakukan senantiasa memunculkan
permasalahan baru. Bahkan, tidak jarang dilingkupi berbagai hal yang
membingungkan sehingga jalan yang terbaik agar terhindar dari semua itu adalah
kematian. Namun, kita tak perlu berbuat demikian karena keraguan adalah sesuatu
yang menakjubkan sekaligus tempat tinggal yang buruk. Yang jika diusut keraguan
tersebut berawal dari pelbagai hal yang tidak dimengerti dan tidak dipahami
seperti kenapa manusia ada, berada dan mengada, atau untuk apa hidup? Mengapa
ada alam? Benarkah Tuhan itu ada, atau kenapa Tuhan tidak dapat diketahui
wujudnya? Pertanyaan–pertanyaan inilah yang senantiasa dicari jawabannya; atau
yang terus menerus dipertanyakan dan dicari jawabannya.
Proses pencarian kebenaran inilah yang
dicontohkan Goenawan Mohamad dalam sebuah cerita. Syahdan, dua Rabbi sedang
berdebat tentang karya Musa bin Maimun. Yang diperdebatkan adalah mengenai
ketidakcocokan antara naskah A dan naskah B (yang sama). Kedua Rabbi itu
berdiskusi dengan saling mengajukan argumentasi-argumentasi yang cemerlang,
saling bantah-membantah di antara keduanya. Mereka saling mengajukan tesis dan
antitesis, tidak henti-hentinya berdiskusi, hari berganti hari, bulan berganti
bulan, tahun berganti tahun, tetapi perdebatan di antara keduanya tidak selesai
sampai kedua Rabbi itu dijemput kematian.
Selesaikah? Ternyata tidak. Di akhirat pun
kedua Rabbi itu kembali berdiskusi, saling
membantah dan mengajukan argumentasi. Semakin hebat yang diajukan Rabbi
yang satu, semakin cemerlang pula Rabbi yang kedua memberikan anti-tesisnya.
Sampai-sampai Tuhan dan para malaikat pun mengikuti diskusi tersebut. Akhirnya,
karena tidak selesai, Tuhan memanggil Musa bin Maimun untuk memastikan
ketidakcocokan naskah A dan B. Musa bin Maimun mendekat, melihat, dan seraya
tertawa berkata, “Oo, ada kesalahan cetak pada naskah B.”
Selesaikah perdebatan tersebut? Ternyata
tidak. Jawabaan yang diberikan sang pengarang tidak memuaskan kedua Rabbi.
Kemudian kedua Rabbi itu pun kembali berdiskusi dan perdebatan pun terjadi
sehingga tesis dan anti-tesis terus berlangsung di antara keduanya.
Kenapa tidak selesai-selesai? Kira-kira
jawabannya adalah karena segala sesuatu yang sudah berbentuk karya, atau
dimediakan adalah menjadi otonom. Artinya, sudah tidak ada lagi hubungannya
dengan pembuat teks tersebut dan wewenang pengarang sudah tidak ada lagi
terhadap yang ditulisnya. Dengan konsep
“otonom” itu teks bisa disentuh oleh mereka yang hendak dan ingin memahami atau
memaknainya secara bebas sesuai pendekatan yang diarahkan pada teks (objek)
tersebut. Semakin cerdas seseorang menghadapi sesuatu teks, semakin cemerlang
pula teks itu menjawabnya.
Andaikata konsep “otonom” ini dipahami oleh
seorang Muslim bahwa pengarang itu Allah yang menciptakan al-Quran sebagai
karya Ilahi, pasti mereka yang berpendapat tentang “otonom” atau berdiri
sendirinya sebuah karya dikatakan zindiq, bahkan murtad. Mengapa? Karena dengan
konsep “otonom” berarti telah meniadakan wewenang dan otoritas Allah sebagai
pemilik nyata kebenaran alias yang mengetahui esensi al-Quran yang
sebenarnya.
Harus disadari manusia beserta
pemikiran-pemikirannya adalah sesuatu yang bersifat relatif dan tidak sakral.
Karena itu, pemikiran dan tafsiran apa pun yang dihasilkan manusia, walaupun
merujuk pada teks suci, adalah relatif dan subjektif.
Dengan demikian, setiap manusia yang mampu
memberikan penafsiran adalah sah adanya dan jika berbeda tafsiran dengan kita,
ya biarkan saja. Ia punya hak untuk memahami atau mamaknai teks tersebut
sepanjang tidak memaksakan tafsirnya kepada orang yang sudah memiliki tafsir.
Dengan melakukan interpretasi baru terhadap
teks (suci) adalah menjadi bentuk pengkayaan terhadap tafsir yang telah ada
sehingga setiap orang dipersilahkan untuk memilih mana yang lebih baik dan
cocok dengannya. Adapun mereka yang ingin menyingkirkan tafsir lama, itu adalah
hak mereka. Namun tidak boleh memaksa
yang lain untuk mengikutinya atau dipersoalkan sebagai ambruk atau hilangnya
warisan intelektual. Namun, harus dipahami sebagai proses perubahan dari
kreativitas intelektual yang terus bergerak secara dinamis.
Dalam penafsiran kontemporer yang memakai
pendekatan hermeneutika pun terbagi pada dua kutub. Kutub pertama adalah yang
menganggap hasil penafsiran yang dilakukan seseorang (termasuk kelompoknya)
merupakan kebenaran yang abash; karena teks yang telah terlepas dari
pengarangnya adalah berdiri-sendiri (otonom) dan tidak ada sangkut-pautnya lagi
dengan pengarang (dead author). Karena iu, interpretasi apa pun (yang
dihasilkan pembaca-penafsir) adalah sah (apalagi bermakna dan bermanfaat untuk
kehidupannya). Model penafsiran ini mulanya lahir dari para filsuf Perancis,
seperti Rolland Barthes, Jacues Derrida, Paul Ricouer, dan lainnya. Pemikiran mereka
berpengaruh kepada Muhammad Abed al-Jabiri, Mohammad Arkoun, Nashr Hamid Abu
Zayd, dan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia.
Sementara kutub kedua adalah yang beranggapan
bahwa penafsiran adalah tindakan subjektif yang berdasarkan pada pra-anggapan
dan pra-asumsi sebelumnya (atau sesuatu yang melekat di benaknya). Karena itu,
penafsiran yang dihasilkannya adalah hanya berusaha mendekati atau menggapai
kebenaran yang ada pada pengarangnya. Penafsiran model ini dicetuskan para
filsuf Jerman, seperti Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Schleiemacher, dan
lainnya. Pemikiran mereka berpengaruh kepada Asghar Ali Engineer, Farid Esack,
Hasan Hanafi, dan lainnya. Pada model penafsiran ini muncul pendapat bahwa
tafsir tentang ayat-ayat suci al-Quran tidak akan pernah berakhir karena yang
paling mengerti akan arti sebuah teks tersebut adalah pembuatnya, Allah.
Bahkan, para mufasir pun pada dasarnya
hanya berusaha memahami apa yang dimaksudkan-Nya sehingga terjadi
keanekaragaman tafsir. Namun, keadaan ini akan menimbulkan masalah karena
setiap diri akan merasa dan menilai bahwa dirinya yang paling paham akan arti
sebuah teks tersebut.
Tidak hanya seorang yang punya klaim itu,
tetapi lebih dari satu, beragam dan tak terbatas. Lawannya adalah sesuatu yang
menghendaki persatuan dan kesatuan (yang kuat) di bawah satu identitas dan satu
tafsir sehingga perbedaan harus dilarutkan dan dipaksakan menjadi satu.
Dalilnya bisa bermacam-macam. Baik itu agama
maupun stabilitas politik. Bukan hanya Islam yang setiap masa terjadi konflik
akibat tafsir, tetapi dalam agama lain pun terjadi. Kenapa? Karena keyakinan
dalam beragama harus lurus dan yang dituju harus jelas. Inilah masalahnya
ketika beragama diartikan harus lurus dan jelas. Bukankah kita perlu
mengingatkan kembali bahwa tidak selamanya “jalan” yang dianggap lurus dan
jelas itu dapat mencapai apa yang dituju. Kadang dengan berkelok dan bengkok
dapat mencapai apa yang disebut “keselamatan dan kebahagian”.
Di sini memang ada ruang untuk pengecualian
bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau, tidak terbatas dan tidak terhingga
atau semacam kehendak Ilahi, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Mahamengetahui lagi
Mahamengenal.” (QS al-Hujurat [49]: 13)
Ada pun persoalan paling takwa dan yang paling
benar, yang menilai bukan manusia tapi Dia Yang Mahamengetahui makna yang
sebenarnya. Karena itu, persoalan kebenaran dan tafsir (agama) tidak pernah
seragam. Ia senantiasa berbeda dan berlainan satu sama lain. Tidak tunggal.
Bahkan, dari tafsir itu sendiri melahirkan penafsiran yang beraneka ragam.
Abu Ja`far, ayah Ja`far Ash-Shadiq, mengatakan
bahwa dalam satu ayat al-Quran memiliki tujuh tafsir dan dalam setiap tafsirnya
mengandung beberapa penafsiran lagi. Pernyataan itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, ‘Ina
lil qur-aani dhohron wa bathnan wa libathnihi bathnan ilaa sab’ati abtunin
(sesungguhnya Al-Quran itu ada lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada
batinnya lagi, sampai tujuh batin).
Karena itu, persoalan tafsir memang tidak akan
pernah selesai sampai muncul Hari Akhir kehidupan dunia. Selama manusia
membaca, menelaah, dan memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
persoalan agama (Islam) akan banyak melahirkan berbagai macam tafsir atau
pemahaman agama. Lalu, dari perbedaan itu melahirkan kelompok atau mazhab; dan
dari mazhab itu akan muncul pecahannya dalam bentuk sekte kecil yang terpisah
karena berbeda dengan induknya.
Persoalan kebenaran memang penting, tetapi
yang lebih penting adalah seberapa besar kontribusi (manfaat) yang diberikan
seseorang atau dari suatu kelompok (penafsir) terhadap bangsa dan kemanusiaan. ***
[Ahmad Sahidin, alumni UIN Bandung]