Minggu, 05 Maret 2017

Mengapa Harus Lapang Dada?


PENTINGNYA lapang dada dalam menjalani kehidupan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Tidak hanya dalam urusan menerima masukan dan kritik yang sampai pada kita, tapi terhadap takdir Allah yang tak diinginkan pun harus berlapang dada.

Bentuk lapang dada dalam menghadapi yang kurang berkenan dari orang lain, juga pernah dialami Rasulullah saw. Suatu ketika setelah pulang dari peperangan, Nabi Muhammad saw membagi-bagikan ghanimah (harta rampasan—red) dengan adil. Namun, salah seorang di antara tentara Nabi Muhammad saw berteriak, “Ya Muhammad, berbuat adillah!”

“Kalau aku tidak berbuat adil, maka siapa lagi yang adil di dunia ini?,” jawab Rasulullah saw. Sebuah pernyataan yang kurang etis, tapi Rasulullah saw sikapi dengan bijak dan tegas, tidak emosional. Ini yang harus dicontoh. Cerita lainnya adalah Rasulullah saw berada di tengah-tengah sahabatnya dalam satu majelis. Tiba-tiba datang seorang Yahudi dan langsung berkata, “Hai Muhammad, bayar utangmu! Wahai putra Abdul Muthalib, engkau sudah terkenal suka menunggak utang!”


Mendengar itu para sahabat marah. Salah seorang berdiri di hadapan Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah, izinkan aku memukulnya dengan pedang.” 

“Tidak! Dia mengingatkan aku akan kewajibanku,” jawab Rasulullah saw sembari cepat membayar dengan melebihkan. Para sahabat heran, “Mengapa engkau lebihkan pem-bayarannya?” Nabi Muhammad saw menjawab, “Karena dia telah mengingatkanku.”

Sebuah tindakan luar biasa. Meski ditagih di depan umum, tapi tidak marah atau malu, malahan segera melunasinya. Bahkan saat Nabi saw dilempari batu, dilempari kotoran binatang, dan bahkan dicaci-maki, tetap saja beliau tegar dan terus berdakwah.  Jelas karena seorang pemimpin umat harus lapang dada dan Allah telah melapangkannya. Allah berfirman, ”alam nasyrah laka shadrak—bukankah telah aku lapangkan dadamu” (Q.S. Al-Insyirah:1).  Ayat ini berkenaan dengan dilegakannya hati dan ruh Nabi Muhammad saw untuk menerima cahaya Ilahi dan untuk memperoleh kesabaran dalam menyampaikan cahaya Ilahi secara istiqamah. Makna melapangkan dada di sini bisa diartikan menambah kekuatan Nabi dalam memikul risalah dan menjalankannya secara istiqamah dan dikuatkan ketika menghadapi musuh atau lawan Nabi (Islam).

Dalam Al-Quran, Allah berfirman kepada Rasulullah saw, ”bersabarlah kamu memikul ketentuan Tuhanmu dan janganlah kamu seperti Nabi Yunus...”(Q.S. Al-Qalam: 48). Kita tahu bahwa Nabi Yunus as berdakwah yang dibalas kaumnya dengan makian dan cacian, hingga Nabi Yunus marah. Ketidaksabarannya itu Allah jadikan pelajaran bagi Rasulullah saw.

Memang sebagai manusia, Nabi Muhammad saw pernah dihinggapi rasa sempit dada akibat ulah musuh atau orang-orang yang tak menyenangi keberadaannya. Hal ini tersirat dalam firman Allah, ”Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan; maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang bersujud; dan sembahlah Tuhanmulah sampai yakin (ajal) datang padamu” (Q.S. Al-Hijr: 97-99).

Meski pernah merasakan sempit dada, tapi beliau tahu bahwa dari setiap kesulitan itu ada kemudahan; dan setiap ketidakenakkan akan melahirkan kenikmatan dan sikap lapang dada. Sebagaimana firman Allah, “fa inna ma’al ‘usri yusra, inna ma’al usri yusra—maka sesungguhnya bersama kesempitan itu ada kemudahan; sesungguhnya bersama kesempitan itu ada kemudahan” (Q.S.Al-Insyirah: 5-6). Bahkan, Nabi Musa a.s. sebelum memulai dakwah memohon kepada Allah agar diberi kelapangan dada.“Tuhanku, lapangkan dadaku, mudahkan urusanku, lepaskan ikatan dari lidahku, sehingga mereka memahami pembicaraanku” (Q.S.Thaha 25-28).

Karena itu, berupayalah untuk lapang dada seperti Muhammad saw sehingga jernih dan tak ada unsur dendam saat menyelesaikan semua permasalahan yang menimpanya. [ahmad sahidin]