PENTINGNYA lapang dada dalam menjalani kehidupan sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Tidak hanya dalam urusan menerima masukan dan kritik yang sampai pada kita, tapi terhadap takdir Allah yang tak diinginkan pun harus berlapang dada.
Bentuk lapang dada dalam menghadapi yang
kurang berkenan dari orang lain, juga pernah dialami Rasulullah saw. Suatu
ketika setelah pulang dari peperangan, Nabi Muhammad saw membagi-bagikan
ghanimah (harta rampasan—red) dengan adil. Namun, salah seorang di antara
tentara Nabi Muhammad saw berteriak, “Ya Muhammad, berbuat adillah!”
“Kalau aku tidak berbuat adil, maka siapa lagi
yang adil di dunia ini?,” jawab Rasulullah saw. Sebuah pernyataan yang kurang
etis, tapi Rasulullah saw sikapi dengan bijak dan tegas, tidak emosional. Ini
yang harus dicontoh. Cerita lainnya adalah Rasulullah saw berada di
tengah-tengah sahabatnya dalam satu majelis. Tiba-tiba datang seorang Yahudi
dan langsung berkata, “Hai Muhammad, bayar utangmu! Wahai putra Abdul Muthalib,
engkau sudah terkenal suka menunggak utang!”
Mendengar itu para sahabat marah. Salah
seorang berdiri di hadapan Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah, izinkan aku
memukulnya dengan pedang.”
“Tidak! Dia mengingatkan aku akan
kewajibanku,” jawab Rasulullah saw sembari cepat membayar dengan melebihkan.
Para sahabat heran, “Mengapa engkau lebihkan pem-bayarannya?” Nabi Muhammad saw
menjawab, “Karena dia telah mengingatkanku.”
Sebuah tindakan luar biasa. Meski ditagih di depan
umum, tapi tidak marah atau malu, malahan segera melunasinya. Bahkan saat Nabi
saw dilempari batu, dilempari kotoran binatang, dan bahkan dicaci-maki, tetap
saja beliau tegar dan terus berdakwah.
Jelas karena seorang pemimpin umat harus lapang dada dan Allah telah
melapangkannya. Allah berfirman, ”alam nasyrah laka shadrak—bukankah telah aku
lapangkan dadamu” (Q.S. Al-Insyirah:1).
Ayat ini berkenaan dengan dilegakannya hati dan ruh Nabi Muhammad saw
untuk menerima cahaya Ilahi dan untuk memperoleh kesabaran dalam menyampaikan
cahaya Ilahi secara istiqamah. Makna melapangkan dada di sini bisa diartikan
menambah kekuatan Nabi dalam memikul risalah dan menjalankannya secara
istiqamah dan dikuatkan ketika menghadapi musuh atau lawan Nabi (Islam).
Dalam Al-Quran, Allah berfirman kepada
Rasulullah saw, ”bersabarlah kamu memikul ketentuan Tuhanmu dan janganlah kamu
seperti Nabi Yunus...”(Q.S. Al-Qalam: 48). Kita tahu bahwa Nabi Yunus as
berdakwah yang dibalas kaumnya dengan makian dan cacian, hingga Nabi Yunus
marah. Ketidaksabarannya itu Allah jadikan pelajaran bagi Rasulullah saw.
Memang sebagai manusia, Nabi Muhammad saw
pernah dihinggapi rasa sempit dada akibat ulah musuh atau orang-orang yang tak
menyenangi keberadaannya. Hal ini tersirat dalam firman Allah, ”Dan sungguh,
Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan;
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang
bersujud; dan sembahlah Tuhanmulah sampai yakin (ajal) datang padamu” (Q.S. Al-Hijr:
97-99).
Meski pernah merasakan sempit dada, tapi
beliau tahu bahwa dari setiap kesulitan itu ada kemudahan; dan setiap
ketidakenakkan akan melahirkan kenikmatan dan sikap lapang dada. Sebagaimana
firman Allah, “fa inna ma’al ‘usri yusra, inna ma’al usri yusra—maka
sesungguhnya bersama kesempitan itu ada kemudahan; sesungguhnya bersama
kesempitan itu ada kemudahan” (Q.S.Al-Insyirah: 5-6). Bahkan, Nabi Musa a.s.
sebelum memulai dakwah memohon kepada Allah agar diberi kelapangan
dada.“Tuhanku, lapangkan dadaku, mudahkan urusanku, lepaskan ikatan dari
lidahku, sehingga mereka memahami pembicaraanku” (Q.S.Thaha 25-28).
Karena itu, berupayalah untuk lapang dada
seperti Muhammad saw sehingga jernih dan tak ada unsur dendam saat
menyelesaikan semua permasalahan yang menimpanya. [ahmad sahidin]