Suatu
hari guru saya bercerita tentang seorang intelektual Muslim yang belajar di
Amerika. Sebut saja namanya Fulan bin Fulan. Di Indonesia memiliki usaha
penerbitan yang layak disebut sukses. Fulan suatu hari dapat beasiswa. Di salah
satu universitas yang khusus mengkaji Islam, Fulan belajar.
Di
kelas, Fulan terkenal vokal dan mampu menyampaikan kritik setiap kali gurunya
menyampaikan pembahasan. Kecerdasan Fulan membuat guru pembimbing akademisnya
terkagum-kagum. Sampai suatu hari sang guru meminta Fulan untuk datang ke
rumahnya. Sangat jarang seorang dosen mengundang mahasiswa ke rumah.
Fulan
bin Fulan pun memenuhinya. Tibalah pada hari yang ditentukan. Ketika sampai di
rumah, sang guru yang professor bilang bahwa ia sudah menyiapkan jamuan makan. Tamunya itu segera diajak ke ruang makan. Di meja sudah disiapkan makanan berupa daging.
Professor itu menyampaikan bahwa daging yang dimasak merupakan daging sapi.
Sengaja dibeli karena tahu bahwa mahasiswa yang diundangnya itu seorang Muslim.
Ketika
dipersilakan makan, Fulan terdiam. Dalam batinnya bergejolak: Haruskah
dimakan? Saya tidak tahu daging sapi itu disembelih dengan asma Allah atau tidak?
Dalam fikih, yang tidak jelas seharusnya dihindari. Kalau
tidak dimakan, saya tidak enak dengan professor yang sudah menyiapkannya. Kalau
saya jelaskan pasti akan kurang dipahami dan pasti kecewa. Kalau demikian pasti
akan berbekas dalam batinnya dan itu termasuk yang tidak boleh dilakukan
seorang Muslim.
Sambil
bergejolak batin, Fulan akhirnya mengambil daging dan memakannya. Selesai
makan keduanya berbincang tentang materi-materi kuliah. Kemudian Fulan pulang.
Sekira malam sebelum tidur, professor yang non-muslim itu menelepon. Professor
itu menyampaikan bahwa ia senang sekali dengan kehadiran Fulan dan mengucapkan
terima kasih.
Menurut
guru saya: yang dilakukan Fulan bin Fulan itu termasuk mendahulukan akhlak di
atas fiqih. Fulan memilih untuk mengenyampingkan urusan fiqih daripada membuat
orang lain terluka akibat perilaku fiqih. Kesan yang baik dan upaya
penghormatan—sebagai akhlak—yang didahulukan Fulan bin Fulan di atas fiqih yang
dapat membuat kecewa orang lain. Bukankah Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa aalihi wa salam sering menerima jamuan makan dari orang
no-muslim? Bahkan, jamuan daging kambing panggang (yang kemudian berujung
sakit) berasal dari seorang wanita Yahudi.
Cerita
guru saya itu mengingatkan kepada nasihat Al-Ustadz Jalaluddin Rakhmat dalam
buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqih: “Tinggalkan fiqih, jika fiqih itu
bertentangan dengan akhlak” (Bandung: Mizan, 2007; halaman 67).
Nah,
telaah kembali hidup dan interaksi kita dengan orang lain: apakah sudah
menunjukkan akhlak? Bukankah Rasulullah saw turun ke muka bumi untuk
menyempurnakan akhlak? Rasulullah saw dikenal satu-satunya manusia yang paling
mulia dalam akhlak. Orang-orang yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw
tertarik dengan Islam karena akhlak dan ajaran yang dibawanya sangat
menganjurkan akhlak.
Ustadz
Jalal, dalam buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih, mencoba mengingatkan umat Islam di Indonesia agar kembali pada misi dakwah Rasulullah SAW yang paling awal adalah menyempurnakan akhlak.
Untuk menyempurnakannya tentu harus ada upaya untuk memprioritaskannya.
Jika
urusan fiqih dan pemahaman akidah didahulukan maka akan terjadi saling serang
dan menyesatkan. Sebetulnya, yang demikian bisa beres dalam tataran individu:
diyakini dan tinggal diamalkan dengan tidak memcoba menyalahkan orang lain yang
berbeda pemahaman akidah dan fikih dengan kita.
Harus diakui pada masyarakat awam pasti akan terjadi bentrok di antara
individu-individu satu sama lain. Kalau itu menyangkut fikih dan pemahaman
akidah yang berbeda satu sama lain. Lantas, apa solusinya?
Ketahuilah fikih dan akidah dengan aneka mazhab itu merupakan pemahaman ulama atas ajaran agama Islam. Yang kemudian diikuti oleh pengikutnya. Menariknya para ulama dalam pemahaman ajaran agama Islam itu tidak sama, tetapi berbeda. Namun pada bidang akhlak tampaknya sepakat, bahwa
akhlak merupakan hal yang baik dan utama dalam agama Islam serta diajarkan Rasulullah
saw. Karena itu, berlomba-lomba dalam kebaikan dan mengedepankan akhlak dalam
kehidupan masyarakat. *** (ahmad sahidin)