Pada satu waktu seorang raja
berburu ke hutan. Dalam perburuannya itu ia tak kuat untuk menahan kencing,
hingga kencing pada batok kelapa. Dan pada lain waktu air pada batok itu
diminum seekor celeng betina yang bernama Wayungyang. Selang beberapa bulan
celeng itu perutnya buncit. dalam keadaan perut yang membuncit itu Wayungyang
meregang kesakitan karena anusnya membesar dan mengeluarkan seorang bayi
perempuan. Bayi itu kemudian diurusnya dan diberi nama Dayang Sumbi. Menjelang
dewasa Dayang Sumbi bertanya tentang siapa bapaknya. Kemudian Wayungyang
membawanya pada sebuah istana kerajaan dan menunjukkan bahwa yang menduduki
tahta raja itu adalah bapaknya.
Singkat kata, Raja menyambut dan mengakui
Dayang Sumbi sebagai anaknya yang kemudian dididik menjadi puteri yang
terampil. Namun lama kelamaan Dayang Sumbi rindu pada ibunya yang tinggal di
hutan. Akhirnya Dayang Sumbi pergi ke
hutan. Di tempat itu Dayang Sumbi tak menemukan ibunya, tapi karena beberapa
hal ia memilih hidup di hutan. Di hutan itu ia tinggal sendirian di saung
rangon. Aktivitas kesehariannya adalah menenun.
Suatu hari taropong yang
digunakan untuk menenun jatuh ke bawah saung rangon. Karena kondisi Dayang
Sumbi dalam keadaan lemas, maka ia enggan untuk mengambilnya. Lalu ia ber-nadar
bahwa jika ada makhluk yang rela mengambilkan taropong dan menyerahkan padanya,
bila jenis jelaminnya berbeda dengannya akan dijadikan suami, dan bila berjenis
sama dengannya akan dijadikan saudara. Tak sengaja bahwa di bawah itu ada
anjing jantan bernama Tumang yang mendengarkan nadarnya itu. Maka Tumang pun
segera naik ke atas dan menyerahkan taropong pada Dayang Sumbi. Karena Dayang
Sumbi telah berjanji maka Tumang pun menjadi suaminya hingga lahirlah seorang
bayi laki-laki yang bernama Sangkuriang.
Semakin lama Sangkuriang makin dewasa. Ia
tangkas dan pandai berburu. Entah kenapa pada suatu hari ibunya, Dayang Sumbi,
meminta hati menjangan pada anaknya. Sangkuriang pun pergi berburu ditemani si
Tumang ke tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka. Tetapi setelah
berkeliling ke sana ke mari ia tak menemukan menjangan seekor pun.
Dalam
keadaan bingung karena belum mendapatkan yang dipinta ibunya itu, Sangkuriang
melihat seekor celeng yang berlari dari arah timur. Sangkuriang menyuruh si
Tumang untuk mengejar celeng itu. Namun si Tumang hanya mengibas-ngibaskan
ekornya sebagai tanda tidak mau mengejar, dan marahlah Sangkuriang. Karena amarah itu kemudian Sangkuriang
menancapkan tombak runcing hingga matilah anjing itu. Tak ragu-ragu Sangkuriang
membelah dan mengambil hatinya untuk dipersembahkan pada ibunya. Sesampainya di
rumah, hati yang dibawa sangkuriang itu dimasak dan dimakan ibunya. Selesai
makan ibunya bertanya tentang si Tumang, dan Sangkuriang pun berkata jujur
bahwa hati yang dimakan ibunya itu bukan menjangan tapi anjing. Marahlah Dayang
Sumbi dan gayung air yang ada didekatnya dipukulkan pada kepala anaknya itu.
Karena tindakan itulah Sangkuriang pergi jauh meninggalkan ibunya.
Sejak kepergian anaknya itu Dayang Sumbi
menyesal dan memohon kepada Sang Hyang Widi agar memulangkan kembali ke rumahnya.
Singkat cerita, datanglah pada Dayang Sumbi
seorang laki-laki gagah dan tampan. Laki-laki itu kemudian jatuh cinta hingga
ingin meminangnya. Namun Dayang Sumbi melihat di kepala laki-laki itu ada cacat
bekas pukulan, dan kemudian Dayang Sumbi menjelaskan bahwa ia adalah anaknya.
Tapi Sangkuriang membantahnya sebagai siasat ketidakmauan atau tolakan Dayang
Sumbi atas pinangannya. Karena Sangkuriang terus memaksa Dayang Sumbi untuk
menjadi istrinya, maka Dayang Sumbi pun mengiyakannya tapi dengan syarat bahwa
Sangkuriang harus membendung sang hyang tikoro hingga menjadi danau dan membuat
perahu untuk lalayaran dalam rangka merayakan bulan-madu, tetapi harus selesai
dalam waktu semalam atau waktu fajar belum terbit.
Akhirnya dengan kekuatan
yang dimiliki Sangkuriang dan dibantu para jin dan siluman persyaratan itu
mendekati selesai. Karena tahu bahwa pekerjaan Sangkuriang akan selesai, maka
Dayang Sumbi menggagalkannya dengan menyuruh seluruh penduduk untuk menumbuk
padi dan mengibar-ngibarkan boeh rarang hingga berkokoklah ayam sebagai tanda
pagi. Saat itulah kemudian Dayang Sumbi datang kepada Sangkuriang dan
mengatakan bahwa ia telah gagal untuk menjadi suaminya. Karena kesal dan tahu
bahwa Dayang Sumbi telah menggagalkannya, maka perahu yang belum jadi itu
ditendangnya dan nangkub hingga kini dikenal gunung tangkuban parahu.
Tafsir Dongeng Sangkuriang
Menurut cerita yang beredar: dahulu kala memang ada danau yang disebut danau Bandung Purba. Danau ini luasnya kira kurang-lebih tiga wilayah DKI sekarang, yang batas utaranya dari gunung tangkuban parahu sampai ke selatannya adalah daerah Ciwidey; batas baratnya sekitar Padalarang-gunung masigit sampai ke timurnya adalah daerah Cicalengka; yang mungkin bentuknya mirip kuali atau wajan.
Bahkan dalam cerita dikatakan
bahwa sebelum danau ini surut ada sebuah gunung yang tinggi yang puncaknya
tertutup kabut putih. Kabut putih dalam bahasa Sanskerta disebut cuda. Kata
cuda ini oleh masyarakat dahulu sering
diucapkan secara cepat : "cuda-cuda-cuda" hingga terdengar menjadi
Sunda--ada kemungkinan istilah Sunda merujuk pada wilayah danau dan gunung
tersebut. Kemudian gunung tersebut meletus dan melahirkan tiga anak gunung
yaitu bukit tunggul, burangrang dan tangkuban parahu. Menurut saya kemungkinan
besar munculnya dongeng sangkuriang di atas berkaitan dengan cerita danau
bandung purba tersebut.
Dongeng sangkuriang di atas adalah salah
satu versi yang berkembang di Tatar Sunda. Memang banyak versi tentang dongeng
di atas. Namun versi di atas yang masih
melekat ketika orang tua mendongengkannya di waktu kecil. Karena inilah yang
kemudian menjadikan keyakinan pada diri saya, bahwa Tatar Sunda punya kekayaan
intelektual berupa karya sastra.
Karya sastra yang berbentuk dongeng ini memang
banyak yang menafsirkan. Misalnya bagi kalangan penganut mistik, Sangkuriang dianggap orang yang tidak berhasil mengendalikan nafsu amarah, yang
disimbolkan dengan tidak selesainya menutup sang hyang tikoro. Juga dianggap
orang yang telah "gelap" sehingga menginginkan ibunya dipersunting,
yang kemudian menemukan beurang (siang)
yang maknanya sebagai pencerahan atau hidayah atas "kegelepan"nya
karena telah bersekutu dengan dunia hitam yang disimbolkan dengan jin dan
siluman.
Ada juga yang memberi makna bahwa Sangkuriang
merupakan symbol "manusia luar biasa", atau istilah Nietzsche yaitu
Ubermensch. Yakni manusia yang tidak lagi menaruh kepercayaan pada setiap
bentuk nilai adi-kodrati dari orang lain karena ia menganggap dirinya sebagai
sumber nilai. Hal ini terlihat pada penolakan Sangkuriang atas kebenaran yang
disampaikan Dayang Sumbi. Karena bagi Sangkuriang, dirinyalah yang paling benar
sehingga ibunya sendiri harus "tunduk" dengan kebenaran yang ada pada
dirinya. Namun pada dongeng itu pula Dayang Sumbi berusaha meruntuhkan solipsisme
anaknya melalui strategi yang berbentuk persyaratan. Dengan persyaratan itulah kemudian Dayang
Sumbi melakukan siasat sekaligus resistensi yang menjungkirbalikan ego-kuasa
Sangkuriang melalui penggagalan yang dilakukan Dayang Sumbi. Dengan gagalnya
mengawini Dayang Sumbi-yang tiada lain ibunya-inilah yang dapat saya anggap
bahwa inces tidak diperkenankan hadir di Tatar Sunda.
Resistensi Budaya
Saya tidak tahu apakah ini bentuk resistensi budaya Timur terhadap budaya Barat yang saat itu mungkin sedang menjadi "kiblat" atau pusat kebudayaan dunia? Jika ini benar, maka mitos Oedipus Complex yang membunuh bapaknya dan kemudian berhasil mengawini ibunya (ibu dalam pandangan ini adalah symbol tanah air) adalah ciri budaya Barat yang mengeksploitasi kekayaan alam dengan anjuran mengolah dan menjadikannya sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan dalam rangka mengubah dunia.
Saya tidak tahu apakah ini bentuk resistensi budaya Timur terhadap budaya Barat yang saat itu mungkin sedang menjadi "kiblat" atau pusat kebudayaan dunia? Jika ini benar, maka mitos Oedipus Complex yang membunuh bapaknya dan kemudian berhasil mengawini ibunya (ibu dalam pandangan ini adalah symbol tanah air) adalah ciri budaya Barat yang mengeksploitasi kekayaan alam dengan anjuran mengolah dan menjadikannya sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan dalam rangka mengubah dunia.
Hal inilah yang membedakannya dengan budaya
Timur yang begitu menghargai alam
sebagai sumber hidup manusia dengan cara melaksanakan ritus seperti nadran laut
saat panen ikan, panen pare dengan cara menyimpan sebagian hasil panen dalam
tempat tertentu yang diperuntukkan sebagai ucapan terima kasih kepada Nyi
Pohaci (Dewi Sri), seren tahun (tahun baru), tujuh bulanan, nyawer, ruwatan
bumi yang dilakukan dengan ngarajah sebelum
melantunkan pantun-pantun dan do`a-do`a keselamatan.
Memang dalam hal ini karya sastra Sunda lama
sering berbentuk pantun. Pantun dalam tradisi masyarakat Sunda sering
di-dalingding-kan pada acara-acara sacral; yang memang di dalamnya terdapat
muatan-muatan moral sekaligus bermakna kekayaan batin orang Sunda. Pada dongeng
Sangkuriang misalnya terdapat pesan bahwa nadar (Arab=nadzar) yang diucapkan
Dayang Sumbi merupakan janji yang harus ditepati, yaitu kawin dengan dengan
anjing yang telah menyerahkan taropong. Dan bila ditelusuri dari sejarah yang
konon bahwa Sunda terpengaruhi agama Hindu, maka dari itu saya menafsirkan
bahwa celeng Wayungyang adalah symbol "kembang desa" yang derajatnya
rendah (sudra) dan hidup di kampung yang dekat dengan hutan.
Ada pun raja yang
berburu dan kencing pada batok kelapa itu merupakan simbol pejabat atau
ksatriya yang memanfaatkan status sosialnya untuk memetik dan menikmati
harumnya "kembang desa"-yang dalam bahasa populer disebut gundik atau
istri simpanan. Sedangkan anjing yang bernama Tumang adalah simbol orang yang
paling rendah derajatnya yaitu paria.
Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa pada
masa itu yang dianggap "manusia" hanyalah kaum brahmana, ksatriya dan
waisya. Sedangkan kaum sudra dan
paria adalah symbol manusia yang tidak
berharga dan dinilai sama dengan binatang, sehingga Sangkuriang yang mewakili
kaum ksatriya melakukan tindakan yang dehumanis. Inilah bentuk
kesewenang-wenangan manusia (dengan status sosialnya) yang masih sering terjadi
di masayarakat. Seperti tindakan anarkis yang dilakukan penganut agama tertentu
yang mengklaim bahwa pemboman, penghancuran dan pembunuhan-terhadap orang yang
dianggapnya kafir, murtad, zionis, zindik dll-adalah bukti dari
"jihad" yang dipersembahkan bagi Tuhan-nya. Bukankah Sangkuriang
dengan membunuh si Tumang adalah bukti inginnya mepersembahkan hati yang diminta ibunya?
Itulah apresiasi dari dongeng Sangkuriang
Kabeurangan. Siapakah yang menciptakan? Anonim. Benar, karena masyarakat Sunda
lama berlandaskan pada budaya lisan (oral tradition) dan bahasa cenderung
dianggap alat untuk mengekspresikan kesadaran (batin) masyarakat. Itulah sebabnya dongeng-dongeng yang berbentuk
pantun tidak mengenal pengarang individual, karena ia adalah milik masyarakat
luas. Bahkan pada dongeng di atas memang nampak bahwa alam pikiran masyarakat
dahulu memang seperti mengada-ada, irasional dan lain sebagainya. Tapi di balik
kemengada-adannya dan keirasionalannya itu kalau kita bisa menafsirkannya akan
tampak bahwa para karuhun Sunda begitu cerdas dan terampilnya mengekspresikan
pelbagai getar batin dan keresahan yang ada di zamannya.
Saya bangga pada proses yang
mereka lakukan, yang berhasil tampil dalam panggung kebudayaan dan dikenang dalam memori sejarah. Tidakkah
kita berpikir hari ini untuk berkarya lebih dari mereka? Dengan memikirkannya, berarti ada rasa pengakuan tentang adanya alam, gunung, tetumbuhan, manusia,
sejarah, dan mungkin tentang Sang Maha Pencipta. *** (Ahmad Sahidin, alumni UIN Bandung)