Jumat, 03 Juni 2022

Menanggapi Komentar Resensi buku Aliran-aliran Dalam Islam

“Mengetahui sesat atau tidaknya suatu ajaran hanya Allah swt. sendiri yang mengetahui, demikian juga dengan calon penghuni surga-neraka atau dengan nama apapun juga, selain Allah swt. tidak ada seorangpun dimuka bumi ini yang mengetahui, bahkan Muhammad saw. sendiri juga tidak mengerti beliau masuk surga atau neraka, kalau mengerti atau mengetahui maka beliau tidak mungkin minta didoakan agar diampuni segala dosa-dosanya,” tanya Bagus Cahyo dalam mengomentari informasi buku Aliran-aliran Dalam Islam (yang diterbitkan Penerbit Salamadani, 2009) yang dimuat dalam blog http://public.kompasiana.com/2009/07/08/khazanah-teologi-islam/#more-29187.

Dalam ruang komentar tersebut muncul Prabu yang mencoba memberi penjelasan dengan sudut pandang lain. Muncul pula Boni dan Abu Muhammad yang coba menjawab pertanyaan Bagus Cahyo dengan rentetan dalil aqliyah dan naqliyah. 

Betapa luar biasa argumen mereka. Saya merasa takjub karena jujur saja belum mampu berkomentar seperti itu, sampai harus menyematkan label “kafir” atau “sesat” pada kaum Muslim yang memiliki pandangan teologi yang berbeda dengan yang dominan (mayoritas).

Seorang kawan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung meminta saya untuk mengomentarinya, terutama tentang masalah sesat.  Tadinya enggan karena saudara Prabu dan Abu Muhammad sudah cukup gamlang dan solutif dalam menjelaskan perihal sesat dan tidaknya sebuah ajaran atau pemahaman agama. Setelah dipikir sejenak, saya mau sekadar komentar saja. 

SESAT

Jika merujukpada Kamus Bahasa Indonesia, kata “sesat” diartikan tidak melalui jalan yang benar; salah jalan; berbuat yang tidak senonoh; menyimpang dari kebenaran. Dari kamus sudah jelas yang disebut sesat itu yang keluar dari pemahaman yang sedang diakui sebagai paham dominan. 

Kalau Anda melihat isi buku  Aliran-aliran Dalam Islam akan jelas mana yang sesat dan mana keluar dari jalur agama (Islam). Dalam pemahaman agama Islam banyak aliran teologi, mazhab fiqih, tarekat sufi, firqah politik, dan  lainnya, yang di antara mereka saling klaim yang paling benar. Sedangkan mereka yang tidak sama dengan yang sedang menjadi mazhab resmi, misalnya Islam versi Sunni di Indonesia dan Mesir, akan dikatakan “sesat” jika bertentangan dengan paham tersebut. Ini standar kesesatan versi mazhab, harakah, firqah, atau konteks sosial, politik dan historis. Adakah standar versi teologi: sangat sulit untuk menjawab ini karena pasti di dalamnya ada kaitan dengan aspek politik, sosial, dan pemahaman?

Sejauh ini, persoalan kebenaran dan kesesatan belum pernah final karena masing-masing aliran dan mazhab meng-klaim paling benar yang disertai dengan rujukan dalil yang membenarkan klaimnya itu. Ini untuk yang masih dalam kategori Islam, sedangkan yang di luar Islam—maksud saya yang tidak mengakui Tauhid, Nubuwwah, dan Hari Akhir. Silakan Anda baca buku Aliran-aliran Dalam Islam. 

Selanjutnya, untuk menguji bahwa ajaran atau pemahaman agama tersebut benar dan sesat, bisa dilihat kontribusinya di masyarakat. Apabila ajaran atau mazhab tersebut bertenntangan dengan prinsip utama Islam dan juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta tidak mendorong perdamaian, mungkin bisa dikatakan telah keluar dari jalur yang benar. Mengapa? Karena misi utama dari Islam adalah rahmatan lill `alamin dan manusia yang paling taqwa yang saya kira tidak disebut sesat.  Apa itu taqwa? Hampir semua mufasir memiliki penafsiran masing-masing, bahkan para teolog, filsuf, dan sufi pun berbeda.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, kebenaran sebuah ajaran biasa ditentukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa ormas. Bisa juga karena kesepakatan ulama tingkat daerah. Namun, apa yang ditentukan mereka tidak menjadi jaminan benar menurut Allah. Bahkan, tidak jarang ditolak pula oleh masyarakat daerah tersebut. Kenapa demikian? Semua orang, baik itu ulama maupun Muslim awam, pada dasarnya sekadar mengira-ngira bahwa penafsiran atas nash agama (yang dilakukannya) benar.

Sebagai penjalasan akhir, saya ingin mengambil penjelasan dari Abdul Karim Soroush. Menurut Soroush, agar kaum Muslim tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru harus berupaya memahami makna kebenaran agama itu sendiri. Nilai kebenaran sebuah agama dapat dilihat dari kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran teologis yang mengetahui hanya pencipta agama itu sendiri, yaitu Tuhan.

Karena itu, tak ada satu pihak pun yang berhak merasa (mengaku) paling tahu tentang kebenaran agama. Sementara untuk melacak kebenaran historis sebuah agama dapat dilihat dari sejauhmana agama tersebut bermanfaat dan dapat membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu kejahatan maupun masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.

Soroush menuturkan, “Saya percaya bahwa kebenaran di mana pun sama. Tidak mungkin kebenaran berselisih dengan kebenaran. Semua kebenaran adalah pemukim ditempat yang sama dan bintang-bintang dari yang rasi sama. Satu kebenaran yang berada disudut dunia pasti bersesuaian dengan semua kebenaran ditempat lain. Jika tidak,  itu bukan kebenaran. Oleh karena itu, saya tidak pernah lelah mencari kebenaran di arena intelek dan opini yang beragam. Kebenaran sungguh suatu rahmat, sebab kebenaran mendorong pencarian secara terus-menerus dan melahirkan pluralisme yang sehat.”  

Demikian komentarnya, mudah-mudahan tidak puas dan selalu mencari jawabannya dari orang-orang yang tercerahkan. Bukan dari saya yang sangat jahil dalam urusan agama, apalagi khazanah keilmuan Islam yang sangat luas. Jika sudi dan berkenan, kirannya kawan/saudara dapat membaca buku Aliran-aliran Dalam Islam. Selanjutnya kita bahas bersama dalam forum milis atau yang lainnya. Selamat membaca dan mengharap pencerahan yang turunnnya dari Yang Maha Benar. Al-Haqqu min rabbik. *** (ahmadsahidin)