Minggu, 05 Juni 2022

Dari Isra Mikraj hingga Mundinglaya

DALAM Ensiklopedi Islam, entri Isra Mikraj dikatakan bahwa pada suatu malam Nabi Muhammad bersama malaikat Jibril berangkat ke Baitul Makdis (Aqsa). Lalu Nabi dan malaikat Jibril naik ke langit demi langit secara bertahap melewati tujuh tahap. Pada langit pertama ia bertemu dengan Nabi Adam yang di sebelah kanannya terlihat makhluk-makhluk yang tersenyum (berseri-seri) dan sebelah kirinya ada makhluk-makhluk yang meringis kesakitan; di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya; di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf; di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris; di langit kelima bertemu dengan Nabi Harun; di langit keenam bertemu dengan Nabi Musa; di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim yang bersandar ke baitul makmur. 

Dari langit ketujuh itu Nabi Muhammad naik ke sidratul muntaha (yaitu suatu pohon besar yang rindang dan dari pokoknya mengalir empat sungai, dua di surga dan dua di luarnya) dan di tempat itu pula Nabi Muhammad melihat wujud asli malaikat Jibril. Di tempat ini Nabi Muhammad meninggalkan Jibril dan naik ke mustawa atau kursi (hadirat) Allah. Di sini Nabi Muhammad menerima shalat lima waktu—itu pun setelah bolak-balik mengkonsultasikannya kepada para Nabi di langit sebelumnya—dan turun kembali ke bumi Arab.1) 

Saya menemukan cerita yang hampir sama pada dongeng yang berkembang di Tatar Sunda. Ceritanya bermula dari keinginan Mundinglaya di Kusumah untuk memberikan pengabdian pada ibunya, Padmawati, yang sekaligus memberikan pencerahan pada masyarakat yang mengalami dis-loyalitas pada kerajaan. Karena itulah Mundinglaya melakukan tapa hingga sampai pada titik wujud sejati, yaitu Sang Hyang Tunggal. Memang sebelum sampai  padanya ia harus melewati, berdialog, berkelahi dan bahkan mengalahkan para penjaga tiap-tiap mandala hingga sampai ke mandala agung. Adapun mandala yang dilewatinya yaitu: mandala awak  (alam dunia); mandala kasungka (alam tempat menimbang amal baik dan jahat); mandala karma (alam tempat tinggalnya orang-orang jahat); mandala rasa (alam tempat tinggalnya orang–orang baik); mandala seba (alam tempat tinggalnya orang-orang suci); mandala suda (tempat berdiamnya jiwa-jiwa yang patuh); mandala jati (tempat tinggalnya jiwa-jiwa yang penuh kasih-sayang/kedamaian); mandala samar (tempat bernaungnya segala keabadian); dan yang terakhir mandala agung, yaitu tempat segala petunjuk  dan asal-muasal dari semua ciptaan di alam semesta dan tempat bernaungnya Sang Hyang Tunggal. Di mandala inilah Mundinglaya mendapat lalayang sasaka domas, atau semacam piagam yang dibawanya kembali turun ke mandala awak (dunia).2) 

Itulah dua cerita yang saya anggap teks-budaya. Teks-budaya merupakan kreativitas psike manusia, yang apabila manusia itu dalam ketaatan pada hukum-hukum tertentu, maka psike selalu dikonstruksi oleh struktur sadar dan struktur tidak sadar dalam keberadaannya itu. Dalam cultural studies dibedakan antara unsur-unsur elementer dalam setiap "teks" budaya yang disebutnya dengan mitem. Dalam setiap mitos (baca: teks-budaya) mempunyai mitem tertentu yang keberadaannya berkaitan dengan relasi-relasi, oposisi-oposisi dan unsur-unsur elementer lainnya. 

Dari kedua teks-budaya yang sama namun berbeda secara lokalitas itu tampak bahwa kehadiran Mundinglaya dengan legitimasi mistis telah menunjukkan mimikri sekaligus counter culture atas hadirnya budaya baru yang mendominasi pada saat itu. 

Di sini ada kaitannya dengan proses ekspansi Kerajaan Islam Mataram Jawa (abad 17 masehi) dan Kerajaan Islam Banten yang giat memperluas daerah kekuasaannya dengan melenyapkan Kerajaan Sunda Pajajaran, dan menyebut orang-orang Sunda yang tidak mau masuk Islam dengan sebutan baduy (badawi) karena lari ke hutan dan kini menyebut dirinya Urang Kanekes. Konon orang Kanekes ini adalah yang paling kuat memegang ikrar yang berbunyi: turunan pajajaran anu mikukuhkeun agama sunda wiwitan, ngajauhkeun eslam.3) 

Saya pernah cerita mendengar kalahnya Kean Santang (simbol jago Sunda) ketika berhadapan dengan Sayyidina Ali (simbol jago Islam) kemudian Kean Santang tunduk, berguru dan masuk agama Islam. Sejak itulah kemudian Kean Santang menjadi "misionaris" yang mengejar-ngejar Prabu Siliwangi (ayahnya) agar masuk agamanya. Hadirnya Kean Santang dengan agama barunya itu menjadi bukti tunduknya budaya lama oleh budaya baru, sehingga keyakinan dan kepercayaan lama yang mengakar digantikan dengan yang baru.

Menurut Prof. Dr. Edi Ekadjati, dalam Majalah (Basa Sunda) Mangle, No.1928 (28 Agustus - 03 September 2003) dan No. 1929 (04-10 September 2003) bahwa agama Budha dan Hindu telah masuk ke Sunda sejak Kerajaan Tarumanegara (sekitar abad empat masehi) buktinya terdapat pada Candi Cangkuang (Garut), Candi Batujaya (Karawang), Patung Budha di Talaga (Majalengka), Arca Syiwa di Kendan (Bandung). Namun pengaruhnya kecil dan hanya terlihat pada tempat-tempat ritus seperti patilasan, punden berundak, kabuyutan, arcatipe polinesia, dan  naskah sanghyang siksa kandang karesian. 

Menurutnya bahwa sebagian masyarakat Sunda, terutama masyarakat Galuh (Ciamis) menganut agama Jati-Sunda (yaitu agama hasil sinkretisme antara Arwah-Leluhur, agama Hindu dan Budha) yang berpijak pada tiga hal : teologis, eskatologis dan moral-humanis. Agama Jati-Sunda inilah yang saya maksud sebagai keyakinan dan kepercayaan (atau identitas agama) masyarakat Sunda lama, yang kemudian dialihkan pada agama Islam. Bukankah penguasa di masa lalu adalah penentu identitas (agama) masyarakatnya?  Jika ini benar-benar telah terjadi maka kehadiran mitos Mundinglaya adalah resistensi yang ingin mengembalikan loyalitas dan kekuatan identitas Sunda yang telah dipinggirkan. 

Dalam konteks ini mimikri adalah menjadi strategi jitu untuk mempertahankan identitas, dan merontokkan konstruksi luar (yang menindih). Inilah proses yang bukan hanya gugatan atas pretensi ideologis tentang kepastian jati-diri. Tapi juga kreasi yang diolah dalam rangka mencari posisi di tengah budaya yang mendominasi, sekaligus merengkuh kuasa dan otoritas luar yang dipakai untuk memperkukuh otoritas dan kemampuan subjektivitas lokalnya sendiri. 

Saya yakin bahwa dengan hadirnya teks-budaya tersebut telah menjadi tanda (sign) penegas tentang keberadaannya sebagai kreasi dari masyarakat Sunda (tertentu) yang merasa tertekan atas realitas yang tak diinginkannya. Jadi teks-budaya di atas adalah realitas yang disampaikan dengan "bahasa" dan mitem-Mundinglaya-nya adalah simpul hubungan mitis-teologisnya. Inilah yang dikatakan bahwa teks-budaya adalah ujaran dan bahasa yang pemaknaannya diambil dari relasi-relasi sistem yang ada dibaliknya. Sehingga wajar bila kehadirannya sering dianggap mengacu pada teks-budaya yang lain hingga terbukalah sistem bahasa yang berada dibelakangnya. 

Dalam hal ini teks-budaya dapat dikatakan cerminan dari zaman yang di dalamnya berisi tentang budaya, agama dan juga totalitas pikiran dan perasaan yang tertuang dalam bentuk simbol (kata, idiom, bunyi, huruf) dan bahkan mengandung unsur-unsur politik identitas dan kekuasaan. Di sini kiranya patut ditanyakan: adakah sebuah penggiringan "sejarah/budaya" untuk kepentingan tertentu? 

Pertanyaan inilah yang mendorong untuk mempertanyakan sekaligus melakukan pengkajian ulang terhadap semua idiom, istilah, huruf, kata dan lainnya. Kenapa? Bukankah politik sering diartikan sebagai hubungan yang  menang dan yang kalah? Atau sebuah interaksi antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Maka dibalik bahasa apapun politik senantiasa menyertai di dalamnya sehingga seseorang akan digiring pada "sesuatu" yang dipengaruhinya dan tidak aneh bila sekarang ada yang mengusung dan mengibar-ngibarkan "bendera-bendera" lokal agar dapat tampil di atas panggung sejarah; sebagai bentuk perwujudan dari "kesadaran identitas" yang telah hilang karena politik bahasa dan bahasa politik. 

Dari kenyataan itulah kita mengetahui kenapa budaya politik itu mempunyai komponen-komponen seperti orientasi yang berdasarkan pada ideologi, nilai-nilai fundamental, fokus identitas, dan harapan-harapan politik yang ada di dalamnya. 

Itulah sebabnya Ira M Lapidus 4) berkesimpulan bahwa Islam—sebagai identitas agama Arab—telah berhasil memerankan sebuah peran yang membentuk "institusi" di wilayah pesisir Nusantara yang diperankan oleh kaum pedagang. Dari institusi itu pula yang menjadi landasan ideologi sekaligus menjadikan keeratan antar pedagang yang berasal dari Timur Tengah, India dan Persia. Maka tidak dapat kita sangkal dalam keberadaannya jika terdapat "idiom atau istilah" yang dibawa (yang menyertai) dari tempat asalnya untuk menunjukkan identitas diri pada kawasan yang ditempatinya. Dalam hal ini kita dapat melihat bukti adanya pengaruh bahasa dari luar seperti  adil, aman, sultan, musyawarah, malik, syah, umat, daulat, siyasat, majelis, hukum, tahta, diwan (dewan) dll; yang telah merasuk pada bahasa kita. 

Sejarawan Azyumardi Azra menyampaikan bahwa bahasa politik adalah keinginan dari adanya pengakuan dan ingin dianggap sebagai bagian integral dari "sang kuasa" yang menjadi adi kuasa di dunia.5) Azra mencontohkan pada abad lima belas sampai enam belas masehi, Kesultanan Aceh secara resmi menyatakan diri kepada penguasa Turki Utsmani (Ottoman) sebagai wilayah dari kekuasaan kesultanan Ustmani. Hal itu bukan hanya untuk mendapatkan perlindungan politik, juga menjadi penegas atau mengukuhkan adanya pengesahan untuk dikuasai sesuai dengan kehendak yang dijadikan pelindungnya itu. Inilah kesepakatan antara penguasa dan yang dikuasai, sehingga ada yang dimunculkan dan ada pula yang dihilang-lenyap-kan atas nama pengakuan politik. Maka tak heran kalau budaya-budaya di daerah yang terkena "arus luar" sangat dipengaruhi bahasa, doktrin-doktrin agama dan konsep-konsepnya yang segera menemukan sekaligus menyatu pada "wadah-wadah" seperti tradisi, seni, adat, budaya dan bahasa politik yang berkembang di masyarakat kita. Itulah sebabnya agama, adat, kepercayaan dan lainnya yang tadinya merupakan hasil pilihan masyarakat diubah menjadi yang harus disepakati atas nama kuasa. Yang pada gilirannya segala sesuatu akan bermkana asing karena diasingkan dengan konstruksi ketidaksadaran. Inilah yang disebut identitas sebagai sebuah "kata" yang diperebutkan antar subjek-subjek yang saling mengisi dan membaur satu sama lain; serta wajar bila tak seorang pun yang tahu bahwa teks-budaya adalah karya besar yang saling berkomunikasi melalui bahasa yang dipakai manusia, sehingga bahasa adalah sekadar alat untuk munculnya teks-budaya maupun mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. *** (AHMAD SAHIDIN, Alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung) 

Catatan Akhir

1) Peristiwa ini menurut Jabir dan Ibnu Abbas terjadi pada hari Senin 12 Rabiul Awal  3 tahun sebelum hijrah; yang berkaitan dengan hari Senin 6 November 618 M. Sedangkan keberangkatan Nabi Muhammad dari Makkah pada 2 Rabiul Awal dan tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awal tahun 13 Bi`tsah (13 tahun setelah pengangkatan jadi rasul), atau tahun 0 (nol) Hijriyah yang bertepatan pada 5 Oktober 621 M. Lihat tulisan  Dr. T. Djamaluddin, "Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah", dalam HU Pikiran Rakyat, Bandung.

2) Lihat Jakob Sumardjo, "Perjalanan  Mundinglaya " dalam HU Pikiran Rakyat, Bandung, 13 Januari 2001. Cerita tentang Mundinglaya yang naik ke langit ini jika dikaji dalam sejarah, mungkin bisa dikatakan metafora untuk perjanjian yang dilakukan antara Kerajaan Sunda Pajajaran yang diwakili para mantri  raja Guru Gantangan (Surawisesa) dengan pihak Portugis ketika berada di Malaka yang saat itu gubernurnya bernama Jenderal  Alfonso yang diwakilkan oleh Hendrick de Lamo bertemu di Sunda Kelapa. Mereka membuat perjanjian persahabatan pada tanggal  21 Agustus 1522, yang ditulis rangkap dan dipegang masing-masing. Dalam perjanjiannya itu berisi : kedua belah pihak akan sama-sama menghadang kekuatan Islam (Pasai, Demak, Mataram) yang waktu itu sedang gencar  melakukan ekspansi; Pajajaran  memperbolehkan Portugis mendirikan benteng di Sunda Kelapa; setiap tahun Pajajaran akan menyerahkan rempah-rempah yang diperlukan yang ditukarkan dengan senjata dan barang-barang yang dibutuhkan dari Portugis. Surat perjanjian inilah yang disebut Lalayang Sasaka Domas. Sumber mengenai hal ini dari Acara "Renda Budaya (Sajarah) Sunda" Radio AM Sonata, Pemerintrah Bandung, dan juga dari Prof Soekanto, dalam buku Djakarta 420 Tahun, dan Dr. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia bagian 3 (Jogyakarta : Kanisius, cetakan 2003) hal. 54.

3) Lihat Majalah Desantara, Edisi 02/ Tahun 01/ 2001,  hal. 41

4) Jelasnya baca bagian sejarah Asia Tenggara dalam  Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (buku bagian ketiga), Jakarta : Raja Grafindo Persada,1999

5) Lihat pengaruh bahasa Timur Tengah dalam Nusantara, Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1999).