Rabu, 01 Juni 2022

Membaca Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

SAYA termasuk orang yang tidak tertarik membaca buku yang berkaitan dengan ekonomi. Selian tidak menarik, juga terlalu berat untuk memahami istilahnya yang membuat saya sulit mengingat. Maklum bidang ini tidak pernah saya kaji. Saya lebih tertarik pada kajian sejarah, khususnya sirah nabawiyah. 

Alhamdulillah, ketika saya menjadi editor di sebuah penerbit di Bandung, saya diberi amanah untuk menyunting buku tentang pemikiran ekonomi Islam yang ditulis oleh Dr.Deliarnov Anwar, diberi judul Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Era Klasik hingga Modern dan Perbandingannya dengan Ekonomi Konvensional. Penulisnya, Deliarnov, adalah dosen program studi Ekonomi Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, yang menempuh pendidikan doktor ekonomi di Amerika Serikat. 

Karya Delianov tersebut ternyata tidak jadi terbit sehingga tidak sentuh kembali. Padahal, sudah berbentuk dummy. Pasar memang kadang menjadi penentu terbit tidaknya buku sehingga buku tebal berisi pemikiran ekonomi Islam tersebut ditangguhkan untuk terbit. Dengan hati yang berat kemudian dikabarkan kepada penulisnya. Penulis pun menerimanya. Setahun kemudian kawan saya yang menerima naskah tersebut dari penulisnya mengabarkan bahwa keluarga Deliarnov dari Pekanbaru mengabarkan bahwa Deliarnov meninggal dunia. Mendengar kabar duka itu saya langsung teringat pada naskahnya yang tidak jadi terbit. Kawan-kawan saya yang dipenerbitan pun dikabarinya. Karena saya sudah tidak bekerja lagi di penerbitan, saya tanyakan kepada kawan dan ternyata tidak diterbitkan pula. Ya bagaimana lagi karena memang pasar yang menentukan sehingga naskah referensi pun tidak bisa hadir ke hadapan pembaca. 

Nah, saya ingin sedikit berbagi tentang isi naskah yang ditulis almarhum Dr Deliarnov tersebut. Saya masih ingat, buku Deliarnov berisi tentang pemikiran ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Juga membahas tentang aturan-aturan pokok ekonomi yang berdasarkan pada sumber Islam (Al-Quran dan hadits) dan memberikan gambaran tentang karakteristik ekonomi Islam yang membedakannya dengan ekonomi konvensional. 

Selain itu, diulas juga hukum dan prinsip ekonomi Islam menurut para ulama (Klasik dan Modern) seperti Imam Ja´far Ash-Shadiq, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi´i, Ahmad bin Hanbal Abu Yusuf, Asy-Syaibani, Abu Ubayd, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Zaid bin Zainal Abidin, Yahya bin Umar, Ibnu Miskawaih, Ibnu Hazm, Al-Juwaini, As-Sarakhsi, Dimashqi, Fakhruddin Ar-Razi, Ibnu Qudamah, Najmuddin Ar-Razi, Nasiruddin Ath-Thusi, Shah Waliullah Dihlawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Ziaul Haque, Sayyid Abul A´la Mawdudi, Sayyid Qutb, Muhammad Baqir Ash-Shadr, Fazlur Rahman, Ismail Razi Al-Faruqi, Khursid Ahmad, Muhammad Anas Zarqa, Nejatullah Siddiqi, Yusuf Qaradhawi, dan Umer Chapra.   

ALMARHUM Deliarnov Anwar membagi sejarah pemikiran ekonomi Islam pada empat fase. Fase pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi.

Pada tahap ini pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada umumnya bukanlah dibahas oleh para ahli ekonomi, melainkan dirintis  fuqaha, sufi, teolog, dan filsuf Muslim. Pemikiran ekonomi Islam pada tahap ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama). Dari turats itulah para intelektual Muslim maupun non-Muslim melakukan kajian, penelitian, analisis, dan kodifikasi pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang pernah ada atau dikaji pada masa itu. 

Pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdapat dalam kitab tafsir, fiqih, tasawuf dan lainnya, adalah produk ijtihad sekaligus interpretasi mereka terhadap sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa itu. 

“Karena sifatnya penafsiran, sangat lumrah jika terdapat variasi dan perbedaan antara ulama yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan bisa saja terjadi karena berbedanya lokasi, lingkungan dan waktu. Perbedaan penafsiran mungkin pula terjadi karena perbedaan latar belakang dan kapasitas pengetahuan ulama yang menafsirkan itu sendiri. Tidak hanya tentang riba, zakat, harta, warisan, uang, fungsi uang, mahar, transaksi, perjanjian, dan denda, tetapi juga tentang permintaan, penawaran, peran pasar, fungsi pemerintah, kebijakan publik, perpajakan, dan sebagainya,” tulis Deliarnov. 

Menurut Deliarnov, para ulama fiqih (fuqaha) tidak hanya mendiskusikan, menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena ekonomi sesuai dengan Al-Quran dan tradisi kenabian, tetapi juga mengeksplorasi konsep-konsep mashlahah dan mafsadat, manfaat dan mudharat (utility and disutility) yang terkait dengan berbagai aktivitas ekonomi. Meskipun dalam menguraikannya cenderung bersifat normatif, tetapi ada ketegasan sikap dalam membahas dan menjelaskan tentang perilaku yang adil atau kebijakan yang harus diambil penguasa. 

Sementara para sufi lebih menitikberatkan pada etika agar para pelaku ekonomi tidak rakus atau memikirkan diri sendiri, dan cinta dunia. Menurut kaum sufi, tujuan akhir dari setiap aktivitas ekonomi bukanlah kebahagiaan dunia, melainkan kebahagiaan yang abadi di akhirat. Lain halnya dengan para filsuf, yang dalam pembahasannya fokus ke masalah sa’adah (kebahagiaan) dengan metodologi dan analisa ekonomi yang bersifat makro. 

Fase kedua adalah “cemerlang”, berlangsung dari abad 11- 15. Pada masa ini para fuqaha, sufi, filsuf, dan teolog, mulai menyusun bagaimana seharusnya umat Islam melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi. Tidak  hanya merujuk pada Al-Quran dan tradisi kenabian, tapi juga mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri. 

Fase ketiga adalah stagnasi, ditandai dengan kemunduran Dunia Islam dalam khazanah intelektual, sejak 1446  hingga munculnya pemikir Muhammad Iqbal pada 1932. Pada masa ini para fuqaha hanya mencatat atau mengulang para pendahulunya dan mengikuti fatwa sesuai dengan mazhabnya. Stagnasi yang dialami pemikir-pemikir Muslim ini terjadi akibat ditutupnya pintu ijtihad, sehingga tidak ada yang mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mandiri. 

Pemahaman agama atau tafsir yang berasal dari mazhab dan firqah yang diadopsi pemerintah yang berkuasa yang memegang peranan. Apabila muncul yang berbeda tafsir atau pemahaman, penjara dan cambuk adalah hadiah yang didapatnya, bahkan sampai dibunuh jika tidak mengikuti atau mematuhi yang sudah ditetapkan. Itulah sebabnya sebagian ulama dan cendekiawan Muslim yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan “mainstream” selalu menyepi alias tidak menampakkan kecemerlangan dalam pengetahuan maupun pemahaman agama yang mencerahkan. 

Fase keempat adalah modern, ditandai dengan kebangkitan Dunia Islam dari stagnasi pemikiran  selama lima abad sejak pertenghaan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20.  Pada masa modern ini muncul pakar-pakar ekonomi Islam profesional. Jika pembahasan ekonomi sebelumnya dilakukan para fuqaha, teolog, filsuf, dan sufi, maka pada masa modern ini dikembangkan kalangan sarjana ekonomi atau cendekiawan Muslim, yang tidak sedikit mendapat pendidikan Barat. 

“Mereka belajar tentang ekonomi mikro, ekonomi makro, ekonomi pembangunan, ekonomi moneter, dan lainnya. Dengan latar pendidikan mereka yang pada umumnya para ekonom, mereka tidak hanya menyajikan pemikiran-pemikiran ekonomi dari segi konsep dan teori, tetapi banyak pula yang mengimplementasikan ilmu-ilmu ekonomi yang mereka kembangkan dalam kehidupan nyata. Mereka mengimplementasikan ekonomi Islam secara sistematis dan modern, baik di tingkat mikro maupun makro. Atas kontribusi mereka ekonomi Islam diterima sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri, dan begitu juga dalam tiga dekade terakhir kita saksikan banyak bank-bank Islam yang dilandaskan pada syari’ah bermunculan,” tulis Deliarnov. 

Begitulah jejak perjalanan pemikiran ekonomi Islam dalam sejarah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang pantas kita banggakan dan hadirkan dengan kontekstualisasi dan pengembangan nalar sehingga relevan dengan zaman sekarang. 

HARUS diakui bahwa pasca-tumbangnya Komunisme, Sosialisme, Liberalisme dan sistem ekonomi Kapitalisme yang menjadikan krisis global di negara-negara Barat dan yang berada di bawah naungannya, termasuk Indonesia, para ekonom Barat mencari “formula” yang kemampuan, kekuatan, dan kehebatannya melampaui sistem dan pemikiran yang sebelumnya. Mereka melihat pada Islam, khususnya pada khazanah pemikiran ekonomi yang dikemukakan para ulama dan cendekiawan Muslim. 

Tidak sedikit karya khazanah ekonomi Islam itu diadaptasi dan dikembangkan di negara-negara Barat sekarang ini. Bedanya dengan di negeri-negeri Islam adalah, ekonom Barat mengambil sistem dan konsepnya tanpa mengambil sisi spiritualitasnya. Mungkin, bisa diibaratkan bentuk tanpa isi. Namun, meski begitu geliatnya dalam mewujudkan sistem yang berdasarkan syari`ah sangat tampak dari beberapa perusahaan yang ada di Eropa, khususnya di Inggris sudah muncul perguruan tinggi yang mengajarkan Islamic finance dan di Jepang untuk kawasan Asia. Mengapa mesti ekonomi Islam yang menjadi solusi dalam membangun sistem perekonomian yang utuh dan paripurna? 

MENURUT Deliarnov, ekonomi Islam memiliki ciri-ciri atau karakteristik khusus, yang sangat berbeda dengan sistem dan konsep perekonomian lainnya. Ciri pertama adalah ekonomi Islam berlandaskan pada tauhid (Ilahiyah). Umat manusia harus mengakui bahwa yang mengatur segala sesuatunya, termasuk aktivitas ekonomi, adalah Allah. Sedangkan manusia hanya sebagai pelaksana yang kemampuannya terbatas. 

Ciri kedua adalah mengutamakan keadilan. Penerapan keadilan adalah tujuan utama dari risalah para Rasul-Nya dan dasar dari upaya mensejahterakan umat manusia.   

”Keadilan dalam kegiatan ekonomi ditetapkan dalam kaidah fiqih, bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Prinsip keadilan Islam sangat kentara dalam praktik mudharabah (berbagi keuntungan dan kerugian), di mana pemilik modal dan pengguna modal (pekerja) ditempatkan pada posisi yang sejajar. Prinsip adil dalam Islam adalah tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Implikasinya dalam aktivitas ekonomi ialah bahwa pelaku ekonomi tidak dibenarkan mengejar keuntungan pribadi, seandainya hal tersebut merusak atau merugikan pihak lain. Pendeknya, tidak boleh ada eksploitasi oleh suatu kelompok terhadap yang lain, seperti tuan terhadap hamba; majikan terhadap buruh; tuan tanah terhadap petani; toke terhadap anak buah kapal; negara-negara maju terhadap negara-negara sedang berkembang dan terbelakang. Karena keadilan adalah sarana terdekat menuju takwa yang merupakan cerminan dari ketinggian akhlak seseorang (QS al-Maidah [5]: 8). Jika keadilan ditegakkan, insya Allah masyarakat yang baldatun thayyibun wa rabbun ghafur akan tercipta. Tanpa keadilan akan timbul kesenjangan, kepincangan, dan ketidaksetaraan,” Deliarnov. 

Ciri ketiga adalah kemanusiaan, terutama dalam berbagi kepada yang kurang mampu secara finansial dan belum berdaya. Hal ini tampak dari perintah zakat dan sedekah. Dengan merealisasikannya berarti turut pula dalam upaya mensejahterakan dan memakmurkan umat manusia. Sisi kepedulian dan tanggung jawab sosial yang ditekankan dalam aspek kemanusiaan (ekonomi Islam).   

Ciri keempat adalah menjunjung kebebasan, melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya. Karena Islam menjunjung kebebasan, berarti kreasi, inovasi dan improvisasi untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat adalah keharusan. 

Ciri kelima adalah akhlak. Islam menghubungkan masalah  mu`amalah dengan etika, seperti kejujuran, amanah, adil, ihsan, kebajikan, silaturrahim, dan kasih sayang. Semua itu harus tercermin dalam semua kegiatan ekonomi, mulai dari produksi, sirkulasi dan perdagangan hingga konsumsi.

Bagi saya, naskah Deliarnov merupakan sebuah bentuk terobosan (untuk tidak mengatakan latah) dan upaya memosisikan diri di atas pentas dunia. Harus diakui bahwa peradaban dunia sekarang, khazanah dan wacananya masih dikuasai Barat. 

Lagi-lagi yang tidak saya temukan, termasuk dalam istilah disiplin yang menggunakan label Islam dibelakangnya adalah esensi, paling hanya ganti istilah dengan bahasa berbau Arab. Seperti persoalan riba, ternyata dilarang juga dalam Agama Yahudi. Hanya mereka, dalam interaksi dengan pihak luar agama dan kaumnya, sangat membolehkannya karena Yahudi memang licik, termasuk dalam urusan politik. 

Saya juga melihat ada kecenderungan pada para pemikir Islam sekarang, termasuk yang disebutkan di atas, bahwa sekarang ini eranya mencibir dan menuding bahwa ekonom Barat (baik itu aliran Klasik, Neo-Klasik, Kapitalisme, Fisikratisme, atau Neo-Liberalisme yang kini sedang sekarat): konsep dan teorinya adalah hasil "curian" dari khazanah Islam. 

Mungkin kita ingat bagaimana masa Perang Salib, atau masa kekuasaan Islam di Andalusia dan negeri Barat lainnya, banyak khazanah Islam yang diterjemahkan dan diklaim sebagai original "pemikiran" Barat hingga kini. Tampaknya sebuah dendam sejarah sedang bergulir dalam peradaban manusia. Semoga saja tidak terjadi. *** (AHMAD SAHIDIN)