ADA pernyataan menarik tentang Yahudi dari Dr Tauhid Nur
Azhar, penulis buku Gelegar Otak yang diterbitkan Salamadani, dalam
sebuah kajian di kantor tempat saya bekerja.
Menurut Dr.Tauhid, Yahudi itu
hakikatnya bukan bangsa tapi gen atau potensi (dasar) manusia yang sudah
tertanam bersamaan dengan lahirnya manusia ke alam dunia. Tiap bayi yang lahir
pasti memiliki gen (asli) yang, seiring dengan perkembangan tubuh dan otaknya,
mengalami perubahan hingga mengerucut pada salah salah satu "gen"
yang ada dalam diri manusia.
"Manusia memiliki gen yang bermacam-macam. Ada gen yang
bisa berkembang menjadi orang baik dan juga terdapat potensi yang dapat
menjadikan diri manusia itu zalim atau berakhlak buruk. Seperti Yahudi,
hakikatnya bukan bangsa, tapi gen atau sifat dasar manusia terburuk yang ada
pada manusia. Sehingga karakter culas, tidak menepati janji, anti kemanusiaan,
licik, bisa pula melekat pada diri kita. Jika kita berperilaku itu, ya berarti
bisa disebut Yahudi," katanya.
Bila diri kita tidak ingin seperti Yahudi, lanjutnya, maka
energi negatif berupa sifat-sifat buruk dalam diri manusia itu harus
dikendalikan dengan energi positif kita sehingga menghasilkan energi suportif.
Misalnya tentang kemalasan, yang biasanya menjadi karakter yang sulit
dilepaskan dari manusia, jika terus dipacu dengan motivasi yang baik bisa
berubah menjadi rajin. Seperti tanaman yang kurang perhatian manusia atau hanya
dipupuk saja, hasilnya beda dengan yang tanaman yang dipupuk dan diberi
sentuhan kasih sayang dan perhatian manusia. Pasti lebih segar dan tumbuhnya
bagus ketimbang yang tidak diperhatikan.
Karena itu, seorang manusia (Muslim) haruslah melakukan
perubahan mendasar dalam hidupnya agar kondisinya lebih baik dari sebelumnya.
Yakni dengan mengenali hakikat diri dan hal-hal di luar diri, sehingga dalam
proses berjalannya bisa lebih baik dan dapat terdeteksi ke arah mana langkahnya
tertuju. Menuju ke arah yang membinasakan atau justru yang melejitkan diri
menjadi manusia yang berprestasi. Untuk meraih itu, manusia tidak boleh tetap
bersikukuh memegang pemahaman lama, tapi harus mencoba menghasilkan sesuatu
yang baru dengan senantiasa pro-aktif.
Paradigma "jemput bola" atau pro-aktif ini oleh
Dr.Tauhid disebut dengan istilah co-creator. Ia mendefinisikannya sebagai
"metode" gabungan antara realitas (kondisi riil) dengan cita-cita
(hasrat) dalam rangka menghasilkan kesimpulan atau keputusan sehingga dari sana
bisa menghasilkan produk.
Memang, gagasan tentang co-creator yang dikemukakan
Dr.Tauhid bukan hal yang baru dalam khazanah filsafat Islam. Sebut saja
penyair dan filsuf Muslim modern Muhammad Iqbal. Dalam pemikiran filsafat
manusia, Iqbal menjelaskan tentang co-creator.
Menurut Iqbal, manusia dalam
mengembangkan jati diri (insaniyah) yang berperan sebagai khalifatullah
sebenarnya adalah co-creator yang memiliki potensi sama dengan yang dilakukan
Tuhan. Namun bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan Tuhan. Tapi hanya
berperan sebagai pengembang dari ciptaan Tuhan. Contohnya tentang kelahiran
manusia baru. Kelahiran bayi (manusia baru) bisa terjadi bila ada hubungan seks
antara laki-laki dan perempuan. Aktivitas seks yang hingga membuat hamil istri
dan kemudian lahirlah manusia baru ke dunia ini—dalam konsep penciptaan—bisa
disebut co-creator; yang maknanya bahwa manusia itu memiliki sifat Creator
Tuhan dalam menghasilkan manusia baru.
Mengapa bisa terjadi? Bukankah banyak pasangan suami-istri
yang bertahun-tahun menikah tapi belum dikaruniai anak? Jawabannya: belum ada
kesatuan kehendak dengan Tuhan. Meskipun manusia bermohon-mohon, bila tidak ada
kehendak dari Tuhan tidaklah terjadi. Jadi, konsep co-creator bisa terwujud
bila ada kesatuan kehendak: antara keinginan manusia dan keridhaan Ilahi.
Sehingga wajar bila umat Islam oleh Rasulullah saw diperintah untuk selalu
mendekatkan diri dengan Allah; karena Dia merupakan sumber dari terjadinya alam
semesta dan kehidupan manusia. Dia merupakan wujud asal dari semua wujud yang
tanpak di alam semesta ini; Dia yang menjadikan segalanya tercipta dan terjadi
hanya dengan kun faya kun.
Gagasan tentang co-creator ini dalam wacana filsafat
kontempor mengalami perkembangan yang mulai mengerucut ke arah filsafat
integralisme; yang mencoba menyatukan pengetahuan atau disiplin ilmu-ilmu
(agama dan sekuler) dalam satu paradigma universal.
Di negeri kita, gagasan
integralisme ini telah diawali oleh Armahedi Mahzar, Husein Heriyanto, dan Mulyadhi Kartanegara. Dalam buku-buku yang ditulisnya tertuang
landasan-landasan untuk menyatukan kembali khazanah ilmu-ilmu agama dan sekular
(umum); dengan merujuk klasifikasi ilmu-ilmu dari para ilmuwan Muslim seperti
Ibnu Khaldun, Mulla Shadra, dan lainnya. Dan kabarnya, wacana co-creator dan
integralisme, kini menjadi salah satu disiplin (ilmu) yang diajarkan di
pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. *** (Ahmad Sahidin)