Kamis, 16 Juni 2022

Dr Tauhid Nur Azhar, Co Creator dan Yahudi

ADA pernyataan menarik tentang Yahudi dari Dr Tauhid Nur Azhar, penulis buku Gelegar Otak yang diterbitkan Salamadani, dalam sebuah kajian di kantor tempat saya bekerja. 

Menurut Dr.Tauhid, Yahudi itu hakikatnya bukan bangsa tapi gen atau potensi (dasar) manusia yang sudah tertanam bersamaan dengan lahirnya manusia ke alam dunia. Tiap bayi yang lahir pasti memiliki gen (asli) yang, seiring dengan perkembangan tubuh dan otaknya, mengalami perubahan hingga mengerucut pada salah salah satu "gen" yang ada dalam diri manusia.

"Manusia memiliki gen yang bermacam-macam. Ada gen yang bisa berkembang menjadi orang baik dan juga terdapat potensi yang dapat menjadikan diri manusia itu zalim atau berakhlak buruk. Seperti Yahudi, hakikatnya bukan bangsa, tapi gen atau sifat dasar manusia terburuk yang ada pada manusia. Sehingga karakter culas, tidak menepati janji, anti kemanusiaan, licik, bisa pula melekat pada diri kita. Jika kita berperilaku itu, ya berarti bisa disebut Yahudi," katanya.

Bila diri kita tidak ingin seperti Yahudi, lanjutnya, maka energi negatif berupa sifat-sifat buruk dalam diri manusia itu harus dikendalikan dengan energi positif kita sehingga menghasilkan energi suportif. Misalnya tentang kemalasan, yang biasanya menjadi karakter yang sulit dilepaskan dari manusia, jika terus dipacu dengan motivasi yang baik bisa berubah menjadi rajin. Seperti tanaman yang kurang perhatian manusia atau hanya dipupuk saja, hasilnya beda dengan yang tanaman yang dipupuk dan diberi sentuhan kasih sayang dan perhatian manusia. Pasti lebih segar dan tumbuhnya bagus ketimbang yang tidak diperhatikan.

Karena itu, seorang manusia (Muslim) haruslah melakukan perubahan mendasar dalam hidupnya agar kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Yakni dengan mengenali hakikat diri dan hal-hal di luar diri, sehingga dalam proses berjalannya bisa lebih baik dan dapat terdeteksi ke arah mana langkahnya tertuju. Menuju ke arah yang membinasakan atau justru yang melejitkan diri menjadi manusia yang berprestasi. Untuk meraih itu, manusia tidak boleh tetap bersikukuh memegang pemahaman lama, tapi harus mencoba menghasilkan sesuatu yang baru dengan senantiasa pro-aktif.

Paradigma "jemput bola" atau pro-aktif ini oleh Dr.Tauhid disebut dengan istilah co-creator. Ia mendefinisikannya sebagai "metode" gabungan antara realitas (kondisi riil) dengan cita-cita (hasrat) dalam rangka menghasilkan kesimpulan atau keputusan sehingga dari sana bisa menghasilkan produk.

Memang, gagasan tentang co-creator yang dikemukakan Dr.Tauhid bukan hal yang baru dalam khazanah filsafat Islam. Sebut saja penyair dan filsuf Muslim modern Muhammad Iqbal. Dalam pemikiran filsafat manusia, Iqbal menjelaskan tentang co-creator. 

Menurut Iqbal, manusia dalam mengembangkan jati diri (insaniyah) yang berperan sebagai khalifatullah sebenarnya adalah co-creator yang memiliki potensi sama dengan yang dilakukan Tuhan. Namun bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan Tuhan. Tapi hanya berperan sebagai pengembang dari ciptaan Tuhan. Contohnya tentang kelahiran manusia baru. Kelahiran bayi (manusia baru) bisa terjadi bila ada hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Aktivitas seks yang hingga membuat hamil istri dan kemudian lahirlah manusia baru ke dunia ini—dalam konsep penciptaan—bisa disebut co-creator; yang maknanya bahwa manusia itu memiliki sifat Creator Tuhan dalam menghasilkan manusia baru.

Mengapa bisa terjadi? Bukankah banyak pasangan suami-istri yang bertahun-tahun menikah tapi belum dikaruniai anak? Jawabannya: belum ada kesatuan kehendak dengan Tuhan. Meskipun manusia bermohon-mohon, bila tidak ada kehendak dari Tuhan tidaklah terjadi. Jadi, konsep co-creator bisa terwujud bila ada kesatuan kehendak: antara keinginan manusia dan keridhaan Ilahi. Sehingga wajar bila umat Islam oleh Rasulullah saw diperintah untuk selalu mendekatkan diri dengan Allah; karena Dia merupakan sumber dari terjadinya alam semesta dan kehidupan manusia. Dia merupakan wujud asal dari semua wujud yang tanpak di alam semesta ini; Dia yang menjadikan segalanya tercipta dan terjadi hanya dengan kun faya kun.

Gagasan tentang co-creator ini dalam wacana filsafat kontempor mengalami perkembangan yang mulai mengerucut ke arah filsafat integralisme; yang mencoba menyatukan pengetahuan atau disiplin ilmu-ilmu (agama dan sekuler) dalam satu paradigma universal. 

Di negeri kita, gagasan integralisme ini telah diawali oleh Armahedi Mahzar, Husein Heriyanto, dan Mulyadhi Kartanegara. Dalam buku-buku yang ditulisnya tertuang landasan-landasan untuk menyatukan kembali khazanah ilmu-ilmu agama dan sekular (umum); dengan merujuk klasifikasi ilmu-ilmu dari para ilmuwan Muslim seperti Ibnu Khaldun, Mulla Shadra, dan lainnya. Dan kabarnya, wacana co-creator dan integralisme, kini menjadi salah satu disiplin (ilmu) yang diajarkan di pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. *** (Ahmad Sahidin)