Delapan
hari setelah wafat Khalifah Usman bin Affan, pemerintahan Islam kosong dari jabatan
khalifah. Kaum Muslim saat itu menyadari akan timbulnya situasi gawat akibat
tidak adanya pemimpin yang memegang kendali pemerintahan pusat. Kaum Muslim Madinah sepakat untuk memilih Ali
bin Abi Thalib ra dan melakukan pembaiatannya di Masjid Nabawi (Madinah
Al-Munawwarah). Sahabat Nabi yang membaiat di antaranya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, kaum Muhajirin, dan
kaum Anshar. Sedangkan mereka yang menolak baiat adalah Muhammad
bin Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah
bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik.
Pembaiatan
ini merupakan momentum yang ditunggu-tunggu oleh pengikut Ahlulbait yang sejak
wafat Rasulullah saw tidak memiliki kekuatan. Selama Abu Bakar, Umar, dan
Utsman memerintah, pesan Ghadir Khum yang dinyatakan Rasulullah bahwa Ali bin
Abi Thalib sebagai washi dan maula umat Islam seakan-akan menghilang.
Tidak ada orang Islam yang berani menggugat khalifah-khalifah sebelum Khalifah
Ali bin Abi Thalib dan pihak Ahlulbait pun seakan-akan merelakannya. Alasan
perdamaian dan persaudaraan di antara umat Islam tampaknya yang diambil oleh
Ali bin Abi Thalib sehingga tidak melakukan tindakan-tindakan dalam upaya
mengambil jabatan khalifah yang seharusnya jatuh kepada Ahlulbait. Para
pengikut Ahlulbait meyakini bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah Islam sudah ditetapkan di Ghadir Khum, pada 18 Zulhijjah 11 Hijriah,
oleh Rasulullah saw.
Awal
memerintah, Khalifah Ali bin Abi Thalib membagikan harta ghanimah dari baitul
mal secara adil kepada haknya dengan tidak membedakan antara budak dan
sahabat dalam membagikannya. Kebiasaan khalifah sebelumnya yang memberikan
harta lebih besar kepada sahabat Nabi saw, keluarga, dan pegawai pemerintah
diubahnya. Semuanya sama mendapatkan tiga dinar. Khalifah Ali bin Abi Thalib
juga menyusun sistem yang Islami dengan membentuk gerakan spiritual dan
menertibkan aparatur pemerintahan (Munawir Sjadzali, 1993: 21-36;
dan Ira M.Lapidus, 2000: 81-87).
Penguasa-penguasa
daerah yang selama enam tahun terakhir masa pemerintahan Utsman terbukti
menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser
seorang demi seorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Marwan bin
Al-Hakam dan Abdullah bin Abi Sarah dipecat dari kedudukkannya dan Muawiyah
dipecat dari jabatan Gubernur Syiria. Tindakan ini membuat mereka marah dan berujung
terjadinya Perang Jamal, Perang Shiffin, dan Nahrawan.
Menurut
H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, perang antara umat Islam ini dipicu oleh Muawiyah bin
Abu Sufyan yang menyatakan
Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan tokoh dibalik kematian Utsman bin Affan. Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair bin Al-'Awwam menolak undangan Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk
membahas gerakan makar yang dilakukan Muawiyah. Keduanya malah pergi ke Makkah
dan bergabung dengan Aisyah. Keduanya menceritakan tentang kematian Utsman dan
mengingatkan peristiwa yang membuat Aisyah marah kepada Khalifah Ali bin Abi
Thalib.
Peristiwa yang membuat marah Aisyah binti Abu Bakar
ini bermula saat ia ketinggalan rombongan karena mencari barang perhiasannya
yang hilang di perjalanan setelah pulang. melancarkan ekspedisi terhadap kaum
kafir dari Banu Musthaliq. Untunglah ketika itu dijumpai oleh Shafwan bin
Mu'atthal yang pulang belakangan. Shafwan terkejut melihat Aisyah seorang diri
di tengah padang pasir. Istri Rasulullah saw itu dipersilakan naik ke atas unta
dan Shafwan berjalan kaki sambil menuntun. Siang hari mereka berdua baru
memasuki kota Madinah. Semuanya heran mengapa istri Rasulullah saw pulang
bersama seorang pemuda tampan. Rasulullah saw pada mulanya tidak pernah
berpikir lebih jauh. Akan tetapi, secara diam-diam peristiwa itu menjadi
pembicaraan orang ramai dan menjadi buah bibir. Berita itu menggelisahkan hati
Rasulullah saw dan meminta pendapat Ali bin Abi Thalib. Ali berkomentar, “Ya
Rasulullah, masih banyak wanita lain!” Ucapan tersebut oleh Aisyah binti Abu
Bakar dirasakan menusuk hati.
Setelah
mendengarkan penjelasan mereka, Aisyah menyatakan kecewa dengan diangkatnya Ali
bin Abi Thalib sebagai Khalifah Islam. Aisyah berkata, “Utsman mati terbunuh
secara teraniaya. Oleh karena itu, adalah kewajiban kaum Muslim untuk menuntut
balas atas kematiannya. Khalifah pengganti Utsman harus dilakukan pembaiatannya
dalam suasana tertib dan damai.”
Thalhah
dan Zubair mengajak Aisyah untuk menjatuhkan Ali bin Abi Thalib. Aisyah
menghimpun orang-orang Makkah dan mencari dukungan ke Bashrah. Kemudian
tersusunlah kekuatan penentang Khalifah Ali bin Abi Thalib dan hendak
memaksanya melepaskan jabatannya. Dengan bantuan bekas-bekas pejabat yang dipecat,
dukungan orang-orang Quraisy yang masih menyimpan rasa sakit hati, dan
diperkuat dengan kehadiran Aisyah, terhimpunlah pasukan bersenjata berkekuatan
3.000 orang.
H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini dalam buku Sejarah
Hidup Imam Ali bin Abi Thalib ra, Bab X (Benih-benih Peperangan Saudara,
subbab persiapan Thalhah dan Zubair) menjelaskan bahwa sikap Zubair menentang Ali bin
Abi Thalib ini karena Muawiyah bin Abu Sufyan menyampaikan surat pembaiatan
penduduk Syam (Syiria) terhadapnya.
Dalam
surat itu, Muawiyah bin Abu Sufyan menulis:
“Bismillaahir
Rahmanir Rahim. Kepada hamba Allah Zubair Amirul Mukminin, dari Muawiyah bin
Abi Sufyan. Salamun' alaika, ammaa ba' du: penduduk Syam telah kuajak
bersama-sama membait'at anda. Mereka menyambut baik dan semuanya taat. Begitu
taatnya seperti ternak. Sekarang hanya tinggal Kufah dan Bashrah saja yang
belum anda dapatkan. Hendaknya anda jangan sampai kedahuluan Ali bin Abi
Thalib. Sesudah kedua kota itu berada di tangan anda, Ali tidak akan mempunyai
apa-apa lagi. Aku juga sudah membai'at Thalhah bin Ubaidillah sebagai pengganti
Anda di kemudian hari. Oleh karena itu hendaknya kalian supaya terang-terangan
menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, dan kerahkanlah semua orang ke
arah itu. Kalian supaya sungguh-sungguh giat dan cepat bergerak. Allah akan
memenangkan kalian dan tidak akan membantu musuh kalian.”
Aisyah
binti Abu Bakar, Thalhah, Zubair, dan pasukannya kemudian bergerak untuk
memerangi pasukan Islam. Di tengah jalan, di daerah Haw’ab, Aisyah mendengar
lolongan anjing-anjing. Mendengar itu, Aisyah teringat sabda Nabi Muhammad saw
yang berpesan agar istri-istrinya terhindar dari lolongan anjing di Haw’ab.
Aisyah pun berniat pulang, tetapi Abdullah bin Zubair beserta rombongan
meyakinkan Aisyah bahwa daerah itu bukan yang disebutkan oleh Nabi Muhammad saw
(Rasul Ja`farian, 2006: 314-316).
Bertemulah
dua pasukan di Bashrah pada Jumadits Tsani 36 H. Sebelum perang berkecamuk, Khalifah
Ali bin Abi Thalib mengirim Ibnu Abbas kepada pasukan Aisyah untuk menawarkan
perdamaian. Kepada Ibnu Abbas, Aisyah berkata: “Pulanglah dan sampaikan kepada
pemimpinmu (Ali) bahwa antara kita ini pedanglah hukumnya.”
Khalifah
Ali bin Abi Thalib menyuruh Ibnu Abbas untuk mengingatkan Aisyah. Ibnu Abbas
berkata: “Allah telah memerintahkan Anda untuk tetap tinggal dirumah untuk
takwa kepada Allah dan pulang.” Nasihat tersebut tidak dihiraukan oleh Aisyah
malah terus mengobarkan api peperangan dan terjadilah Perang Jamal.
Dalam
peperangan, Thalhah berhadapan dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Thalhah
berkata: “Berhentilah jadi khalifah maka akan kami serahkan posisi khalifah
kepada dewan. Dua orang yang tidak menginginkan Anda kini sudah tiada. Kami
juga bertiga tidak menginginkan Anda.”
Khalifah
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Semestinya itu Anda katakan sebelum berbaiat.
Namun kini Anda telah bersumpah akan setia” (Rasul Ja`farian, 2006:
157).
Dalam
pertempuran itu pasukan Aisyah terdesak dan mengalami kekalahan sehingga tanpa
sadar tali kekang unta Aisyah telah dipegang pasukan Islam.
Dari
dalam tandu, Aisyah bertanya melalui lubang kecil: “Apakah Ali ada di antara
kalian?” “Ada,” jawab pemegang tali kekang. Aisyah berkata lagi: “Sungguh sama
dia dengan saudaranya!”
Khalifah
Ali bin Abi Thalib meminta Aisyah binti Abu Bakar agar berkenan untuk pulang
bersama rombongannya yang masih tersisa. Aisyah dengan sisa pasukannya kemudian
kembali ke Makkah.
Sejarahwan
Rasul Ja`farian dalam Sejarah Islam: Sejak wafat Nabi saw hingga
Runtuhnya Daulah Bani Umayyah menyebutkan bahwa Perang Jamal telah
menewaskan sekitar dua puluh ribu orang (2006: 327).
Setelah
Perang Jamal, Amr bin Ash bertemu dengan Aisyah kemudian berkata, “Saya kecewa karena Anda
tidak terbunuh dalam pertempuran itu.”
Aisyah
bertanya, “Bukankah kita berada dalam satu barisan saat itu?”
Amr
bin Ash menjawab, “Sebenarnya, kami (Bani Umayyah) telah merancang
pemberontakan ini dan memancing Anda terlibat di dalamnya agar Anda terbunuh
sebagai pahlawan. Dengan demikian, nama Ali akan lenyap sepanjang sejarah
karena dicap sebagai pembunuh istri Nabi. Apabila Anda terbunuh, tidak perlu
usaha keras dan biaya besar untuk menyingkirkan Ali dari pentas kepemimpinan.
Ternyata Ali terlalu pandai untuk dipancing. Ia malah memulangkan Anda sebagai
wanita terhormat.”
Setelah
Perang Jamal, Khalifah Ali bin Abi Thalib memindahkan Ibu Kota Islam dari
Madinah ke Kufah dan menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai Gubernur Bashrah.
Meski
sudah memindahkan pusat pemerintahannya, tetapi rongrongan terhadap
pemerintahan Islam muncul dari Muawiyah bin Abu Sufyan dengan alasan menuntut
pembunuh Utsman bin Affan.
Tuntutan
mereka tidak ditanggapi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dampaknya muncul berbagai
teror dan tindakan anarkis dari kelompok Muawiyah. Khalifah Ali bin Abi Thalib menulis
surat kepada Muawiyah agar menghentikan berbagai tindakan teror terhadap kaum
Muslim.
Dalam
surat itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib menulis:
“Sesungguhnya,
baiat masyarakat Madinah kepadaku telah mewajibkan Anda di Damaskus untuk juga
berbaiat kepadaku. Masyarakat ini juga yang dulu berbaiat kepada Abu Bakar,
Umar, dan Utsman, kini telah berbaiat kepadaku. Karena itu, siapa saja yang di
sini tidak punya pilihan lain selain harus memutuskan untuk berbaiat. Sementara
siapa saja yang hadir maka tidak punya pilihan selain harus meninggalkan
sikapnya. Syura atau dewan adalah sesuatu yang menjadi keinginan, prinsip, dan
harapan kaum Muhajirin dan Anshar. Ketika dewan terbentuk dan para anggota
dewan menyepakati kepemimpinan sesseorang yang disebut imam. Inilah bentuk
keridhaan Allah.
Jika
Anda bersikap keras kepala, aku akan memerangi Anda dengan memohon pertolongan
Allah. Anda telah banyak biacara tentang pembunuh Utsman. Ikutilah jejak kaum
Muslim dan datanglah kepadaku bersama mereka untuk beraudisi dan mendapatkan
proses atau penilaian hukum formal. Aku akan mewajibkan Anda dan mereka untuk
mengikuti Kitab Allah dan ketahuilah bahwa pembebasan Anda adalah pembebasan
bersyarat; sedangkan tahanan yang memperoleh pembebasan tidak memenuhi syarat
untuk menduduki kursi kekhalifahan dan juga tidak layak untuk menjadi anggota
dewan” (Rasul Ja`farian, 2006: 339-340).
Muawiyah
kemudian menyuruh Jabir bin Abdullah yang mengrim surat balasan yang di
dalamnya meminta Khalifah Ali bin Abi Thalib menetapkan bahwa Damaskus dan
Mesir di bawah kekuasaannya yang terpisah dari pemerintahan Islam.
Kemudian
Khalifah Ali bin Abi Thalib menjawab, “Mughirah di Madinah pernah mengusulkan
ini kepadaku, tetapi aku tolak. Aku tidak mungkin berbuat seperti itu karena
Allah tidak pernah melihatku dalam posisi memanfaatkan kaum penyimpang untuk
mendukungku” (Rasul Ja`farian, 2006: 341).
Ajakan
damai yang tidak disambut itu membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib mengambil
tindakan yang berujung terjadinya perang di daerah Shiffin, Irak, pada 37 H.
Menurut Al-Hamid Al-Husaini, Perang Shiffin dimulai
dengan pemberontakan Muawiyah, Gubernur Syria, yang menginginkan jabatan
Khalifah Islam setelah Utsman. Sudah
sejak dahulu tokoh-tokoh Bani Umayyah memandang Ali dengan perasaan benci dan
murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban dari keluarga mereka
yang mati di ujung pedang Ali saat pertempuran-pertempuran pada masa lalu
antara kaum musyrikin Makkah dan kaum Muslim di bawah pimpinan Rasulullah saw.
Mereka tahu bahwa Ali bin Abi Thalib selalu mengingatkan Utsman tentang bahaya
yang timbul akibat permainan para pembantunya dari orang-orang Bani Umayyah.
Karena itu, Bani Umayyah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai penghambat dalam
usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materi (1981: Bab IX).
Ketika
dua pasukan berhadapan, sebagaimana kebiasaan bangsa Arab, Khalifah Ali bin Abi
Thalib mengajak duel kepada Muawiyah. Namun, Muawiyah tidak melayaninya malah
mengirimkan Amr bin Ash dan terjadilah duel. Dalam duel itu Amr dijatuhkan
kemudian kabur dalam pertarungan dengan terlebih dahulu membuka auratnya
sehingga Khalifah Ali bin Abi Thalib memalingkan wajah dan tidak
membunuhnya.
Setelah
itu, berlangsunglah peperangan antara pasukan Islam di bawah pimpinan Khalifah
Ali bin Abi Thalib melawan pasukan pemberontak di bawah komando Muawiyah bin
Abu Sufyan. Dalam peperangan yang hampir dimenangkan pasukan Islam itu, musuh
mengajukan perundingan damai (tahkim) dengan terlebih dahulu
mengacungkan mushaf al-Quran di atas tombak sebagai tanda perdamaian dengan
merujuk pada al-Quran sebagai hakimnya. Atas desakan sebagian pasukan, Khalifah
Ali bin Abi Thalib memerintahkan Malik Asytar untuk menghentikan serangan
terhadap musuh.
Kedua
belah pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilannya dalam menyelesaikan
peperangan. Awalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib memilih Malik Asytar, tetapi
sebagian orang yang berasal dari Arab badawi menolaknya. Mereka memutuskan Abu
Musa Al-Asyari mewakili pihak Islam dan Amr bin Ash mewakili pihak Muawiyah.
Keduanya
melakukan perundingan di Daumah Al-Jandal, Azruh, dengan waktu sekitar enam
bulan (Shafar-Ramadhan 37 H.). Dua juru runding sepakat untuk menurunkan
jabatan kedua pemimpin tersebut kemudian memilih khalifah baru melalui
musyawarah dengan melibatkan umat Islam. Abu Musa menjadi orang pertama yang
naik ke mimbar dan menurunkan Ali dari tampuk khalifah Islam. Kemudian Amr bin
Ash dengan tanpa diduga langsung mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah tanpa
menurunkannya terlebih dahulu.
Peristiwa
licik itu membuat kecewa pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka meminta
Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk membatalkannya. Namun, saran tersebut ditolak
Khalifah Ali bin Abi Thalib karena peristiwanya sudah terjadi. Akibat tidak
ditanggapi, mereka memisahkan diri dan membentuk kelompoknya sendiri yang
disebut Khawarij.
Keputusan
licik pascaperang Shiffin itu dinilai kaum Khawarij sebagai bentuk pengingkaran
terhadap hukum Allah. Karena itu, mereka menyebut Amr, Muawiyah, Musa, dan Khalifah
Ali bin Abi Thalib termasuk orang murtad dan harus bertobat. Namun ajakan tobat
mereka tidak digubris, malah dibantah oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib,
“Bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim. Merekalah yang
harus bertobat karena tidak patuh dan membantah perintahku dalam melanjutkan
perang yang akan meraih kemenangan.”
Akibat
tidak ditanggapi maka kaum Khawarij diam-diam melancarkan gerakan rahasia untuk
membunuh mereka dengan alasan tidak mengikuti hukum Allah. Menurut Khawarij, mereka yang menyetujui tahkim
telah keluar dari Islam karena tidak mengikuti perintah Allah yang tercantum
dalam surah al-Maidah [5] ayat 45, “...Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.”
Pada
Syawal 31 H. kaum Khawarij memilih Abdillah bin Wahab Rasibi menjadi pemimpin
Khawarij sekaligus merencanakan pergerakannya. Awalnya mereka bergerak ke
Madain kemudian mengajak kaum Muslim Bashrah untuk bergabung dengan Khawarij.
Selanjutnya mereka berpindah tempat ke Nahrawan.
Selama
masa-masa penghimpunan pasukan, kaum Khawarij melakukan tindakan terror dan
membunuh orang-orang yang memuji Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tindakan kejam itu
membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib tergerak untuk mengajak kembali mereka
dalam pasukannya. Khalifah Ali bin Abi Thalib menyurati mereka untuk
bersama-sama memerangi musuh kaum Muslim, khususnya Muawiyah beserta
pasukannya. Dalam surat balasan itu, Khawarij menyatakan bahwa mereka tidak
mengakui kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib sehingga tidak berkewajiban
untuk membantu dalam memerangi musuh Islam. Bahkan, diberbagai tempat banyak
kaum Muslim yang menjadi korban keganasan kaum Khawarij.
Alasan-alasan
itulah yang menguatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib memerangi kaum Khawarij. Khalifah
Ali bin Abi Thalib berangkat ke Nahrawan bersama 14.000 orang. Kaum Khawarij
pun tidak diam malah mereka telah bersiap menyongsong pasukan Islam dengan
jumlah pasukan kavaleri 1.800 orang dan 1.500 pasukan infantri. Perang pun
terjadi antara pasukan Islam melawan kaum Khawarij yang dipimpin Abdullah bin
Wahab di Nahrawan, 9 Shafar 38 H. Dalam perang ini pasukan Islam menjadi
pemenang dan membiarkan kaum Khawarij yang selamat melarikan diri ke Kaskar,
Sawad, Efrat, Ahwaz, dan Kurdi. Tidak sedikit pula kaum Khawarij yang bertobat kemudian
kembali bergabung di bawah pimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Akibat
kekalahan perang di Nahrawan, kaum Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap orang-orang
yang terlibat dalam tahkim. Kaum Khawarij beranggapan bahwa pecahnya
kaum Muslim yang terbagi dalam tiga golongan (Syiah Ali, Syiah Muawiyah, dan
Khawarij) akibat dari tahkim yang tidak mengikuti hukum Allah. Karena
itu, mereka berpendirian bahwa Ali bin Abi Thalib, Musa Al-Asyari, Amr bin Ash,
dan Muawiyah bin Sufyan telah murtad sehingga pantas untuk dihukum mati karena
menjadi penyebab matinya ribuan umat Islam dalam peperangan.
Dari
empat orang itu hanya Khalifah Ali yang berhasil ditikam dengan pedang
oleh Abdurrahman bin Muljam saat shalat subuh, tanggal 19 Ramadhan 40 H. di Masjid
Kufah.
Semakin
hari luka Khalifah Ali bin Abi Thalib tambah parah sampai akhirnya mengembuskan
nafas terakhir pada malam Jumat, 21 Ramadhan 40 Hijriah (pada usia 63 tahun).
Lalu kedua putranya, Imam Hasan dan Imam Husain, menguburkannya di Najaf
Al-Syarif, Irak.***
(Diambil dari buku SEJARAH
POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:
Acarya
Media Utama, Bandung, tahun 2010)