Hari ini saya mau berbagi hasil
membaca buku saat berdiam di rumah. Saya pikir masa pembatasan interaksi
sosial ini harus dimanfaatkan dengan membaca buku. Jangan sampai berlalu begitu
saja tanpa tambahan ilmu maupun wawasan yang mencerahkan akal dan hati.
Alhamdulillah, saya bisa tuntas
membaca buku yang tebalnya 372 halaman. Buku ini berjudul "Intisari Sirah
Nabawiyah" diterbitkan Alvabet Jakarta. Sebuah karya terjemahan dari "Al-Jawami As-Sirah
An-Nabawiyyah" yang ditulis oleh Ibnu Hazm Andalusi (994 - 1064 M.)
yang hidup abad lima hijriah.
Karya Ibnu Hazm ini
dipakai dalam kuliah sejarah Nabi Muhammad Saw di UIN Bandung Program Pascasarjana
S2 Sejarah dan Kebudayaan Islam. Saya mengikutinya dan asyik menyimak ulasannya
oleh dosen pengampu yang ahli bidang Sirah Nabawiyah, yaitu Dr Ajid Thohir.
Kitab tersebut, yang kini sudah berbahasa Indonesia, beruntung saya miliki dan
tuntas dibaca.
Ibnu Hazm ini warga Spanyol dan
seorang ulama. Ia ahli fikih, hadis, dan sejarah. Banyak kitab yang sudah
ditulisnya. Baiklah sekarang masuk pada buku Intisari Sirah Nabawiyah.
Secara umum, buku yang disusun Ibnu Hazm ini sama dengan kitab sebelumnya
seperti Thabari dan Ibnu Ishaq dalam kronologi historis Nabi Muhammad saw.
Unsur perang cukup detail untuk nama dan kabilahnya, baik dari musuh maupun
orang-orang Islam yang wafat.
Meski begitu ada beda. Yakni
tentang tragedi hari kamis Nabi saat sakit meminta pena dan lembaran untuk
berwasiat, tetapi para sahabat berantem depan Nabi. Mereka lantas diusir oleh
Nabi dari rumahnya. Di bagian ini Ibnu Hazm menulis riwayat dari Aisyah bahwa
Nabi saat hari kamis itu ingin menuliskan wasiat agar umat mengikuti Abu Bakar
setelah dirinya wafat. Narasi ini dipertegas dengan riwayat bahwa Nabi
membiarkan Abu Bakar menjadi imam shalat meski Nabi sendiri saat itu hadir
karena memaksakan diri ke masjid dengan dibantu berjalan oleh Ali dan Abbas.
Kemudian disebutkan oleh Ibnu Hazm saat wafat Nabi bersandar pada dada Aisyah.
Narasi ini beda dengan riwayat umum bahwa Ali bin Abu Thalib ra yang disandari
oleh Nabi saat wafat.
Tidak masalah terkait ikhtilaf
sejarah ini dan wajar karena pasti ada banyak informasi yang mesti diambil dan
dimasukkan pada karya tulis. Pilihan itu tergantung pengetahuan dan kepentingan
personal dari seorang penulis. Memilih dan memilah riwayat mana dan sanad siapa
yang diterimanya untuk dirangkai dalam narasi sejarah yang ditulisnya adalah
hak seorang penulis. Dalam hal ini, muarikh yang bertanggung jawab sepenuhnya
atas rekonstruksi sejarah Nabi yang sampai pada generasi setelahnya.
Masih terkait buku ini, Ibnu
Hazm masih berpendirian bahwa Abu Thalib bin Abdul Muthalib, paman Nabi, bukan
seorang mukmin dan masuk golongan non-muslim. Dalam kajian sejarah, tentang Abu
Thalib ini menjadi perdebatan antara para ahli hadis dan ahli tarikh. Riset
terakhir dari ulama Lebanon bernama Jafar Murtadha Amily bahwa justru Abu
Thalib seorang muslim dan mukmin yang sengaja menyembunyikan identitasnya
karena posisinya sebagai tokoh Quraisy di Makkah.
Satu lagi catatan yang perlu
dikabarkan bahwa Ibnu Hazm menyebutkan Khadijah berstatus janda saat nikah
dengan Muhammad bin Abdullah. Tentang ini telah dikritisi oleh Amily hingga
menyimpulkan Khadijah seorang gadis berusia 30 tahunan.
Setelah saya baca tuntas dari
awal hingga akhir, dalam buku "Intisari Sirah Nabawiyah" ini beberapa
peristiwa besar dan penting dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw tidak masuk.
Pertama adalah masa kecil
Muhammad bin Abdullah sampai jelang nikah tidak tercantum. Kedua tentang dakwah
pada keluarga dekat Bani Abdul Muthalib tahun ketiga setelah dapat wahyu
pertama. Riwayat ini oleh Ibnu Ishaq dan Ath-Thabari (sejarawan sebelum Ibnu
Hazm) dicantumkan pada kitabnya. Namun oleh Ibnu Hazm tidak memasukkannya. Ini
perlu dicarikan alasannya. Ketiga yaitu peristiwa Ghadir Khum setelah haji
wada'. Ini peristiwa besar dan banyak riwayat memuatnya dalam kitab tarikh dan
hadis. Ali Syariati menyebutkan peristiwa ini tercantum dalam Sirah Ibnu Hisyam
dan Tarikh Arrusul wal Muluk karya Ibnu Jarir Ath-Thabari.
Demikian yang dapat saya
bagikan dari buku "Intisari Sirah Nabawiyah" buah karya Ibnu Hazm.
Insya Allah, saat dapat buku aslinya akan saya cek lagi tentang peristiwa yang
hilang tersebut. Saya menyesal saat kuliah tidak memfotokopi kitabnya dari
dosen. Mudah-mudahan ada umur dan rezeki berlimpah yang mengantarkan saya bisa
memiliki kitab tersebut.
Apresiasi saya atas terjemahan
dari "Jawami Sirah Nabawiyah"
ini, penerbit dapat disebut kreatif telah memasukkan peta dan gambar terkait
dengan aktivitas perang, peta wilayah dan daerah-daerah sebaran dakwah Islam.
Meski tidak sesuai dengan ruang dan waktu zaman hidup Nabi Muhammad Saw, tetapi
ada gambaran pada benak saya betapa berat dan susahnya hidup pada abad enam Masehi.
Apalagi saat dihadapkan pada sosok Nabi, tentu menjadi tantangan luar biasa
dalam dakwah.
Saya masih percaya bahwa sejarah
Nabi Muhammad Saw merupakan ibrah untuk semua manusia dan masih terbuka peluang
untuk dikaji kembali dengan studi-studi akademis di perguruan tinggi.
Terima kasih sudah berkenan
membaca ulasan ringkas ini. Mohon maaf saya dalam membacanya tidak mendalam.
Masih pemula dalam urusan sejarah dan hanya seorang pembaca. *** (ahmad sahidin)