Selasa, 14 April 2020

Syariati dan Soroush, Intelektual Muslim Kritis

SAYA masih ingat gagasan Ali Syariati (1933-1977 M.) bahwa filsafat sejarah bukan hanya berbicara pada persoalan realitas dibalik sejarah, tetapi juga berkaitan dengan masa depan umat manusia (sejarah hari esok). Bagi saya, filsafat sejarah versi Syari’ati merupakan konsep yang benar-benar unik karena biasanya dalam berbagai aliran pemikiran filsafat sejarah yang berkembang di dunia Barat seringkali melupakan persoalan-persoalan yang mengarah ke masa depan kemanusiaan.

Begitu juga filsuf Muslim terdahulu sangat kurang memberikan perhatian pada masa depan manusia. Sayangnya, kini sejumlah buku Syariati yang saya gunakan untuk penelitian S1 (skripsi) tersebut tidak jelas keberadaannya. Biasalah dipinjam dan tidak kembali. Mungkin dibawa pulang ke kampung halaman orang yang meminjamnya.

Selain Syariati, ada sosok Muthahhari. Keduanya dari negeri Persia, yaitu Republik Islam Iran. Menurut saya bahwa Murtadha Muthahhari dan Ali Syariati merupakan dua sosok besar Islam modern. Keduanya memengaruhi jalan hidup dan perkembangan intelektual Islam Indonesia. Kalangan akademisi seperti Jalaluddin Rakhmat, Azyumardi Azra, Afif Muhammad, Haidar Bagir, dan lainnya termasuk yang mengaku dipengaruhinya.

Kedua sosok intelektual Iran tersebut memang memiliki karakter yang berbeda dalam pemikiran dan kecenderungan politik yang berlainan. Apabila Muthahhari dekat dengan ulama dan menyokong gerakan Khomeini yang menggemborkan wilayah faqih sebagai sistem pemerintahan Islam-Syiah modern (teodemokrasi) yang kini berlaku di Iran. Sedangkan Syariati justru lebih dapat disebut dipengaruhi Barat.

Ali Syariati, seorang cendekiawan lulusan Universtas Sorbone (Perancis) dan pernah belajar dalam sekolah khusus calon ulama, memberikan kritik pada pemikiran Khomeini. Syariati berpendapat bahwa orang yang bukan ulama bisa memahami ajaran Islam dengan lebih baik dan bisa memiliki peran yang lebih baik di masyarakat dibandingkan ulama. Syari`ati mengajukan rausyanfikr (intelektual yang tercerahkan) sebagai orang yang paling berhak mengendalikan kekuasaan selama masa ghaib Imam Mahdi. Hingga kini warisan perdebatan pemikiran politik Islam Iran dilanjutkan oleh Abdul Karim Soroush dan Sayed Hossen Nasr yang secara intelektual terus mengkritisi sistem pemerintahan Iran, yaitu wilayah faqih.

Soroush sangat kentara krtitiknya dan menyarankan untuk diubah dengan pemerintahan demokrasi agama. Soroush menilai wilayah al-faqih merupakan peniruan dari ajaran Kristen yang memberikan hak penuh kepada para Bapa Gereja. Para ulama yang kini berkuasa dan memegang pemerintahan, menurutnya, tidak bebas dari kesalahan dan kecenderungan pribadi dalam mengelola negara. Dengan hadirnya para ulama tersebut pemerintahan menjadi seolah-olah sakral dan antikritik. Tidak jarang orang yang berupaya untuk mengkritisi malah dianggap melawan dan tidak sedikit dibuang ke luar negeri. Alih-alih diapresiasi malah disingkirkan.

Menurut Soroush bahwa ajaran Islam meposisikan ulama sama seperti Muslim lainnya karena tidak ma`sum sehingga sosok faqih dan rahbar bisa salah dan pendapat-pendapatnya bisa dikritisi karena tidak sakral. Selain dari Allah, Nabi, dan Imam, Soroush membolehkan untuk tidak mentaatinya jika tidak sesuai dengan semangat Islam atau tidak relevan dengan konteks zaman.

Soroush menawarkan pemerintahan demokrasi agama (democratic religious government) sebagai pengganti wilayah al-faqih. Memang sebuah dinamika pemikiran manusia tidak ada yang sakral. Imam Khomeini dan sejumlah ulama yang dijadikan marja’taqlid bukanlah seorang yang suci seperti Nabi Muhammad saw dan Aimmah Ahlulbait. Karena itu, setiap kali muncul kritik yang berkaitan dengan pemikiran dan hasil ijtihad marja taqlid bukan sesuatu yang harus dikecam, apalagi dihujat. Pemikiran harus dilawan pemikiran, bukan dengan kecaman atau mengungkap hal-hal yang tidak pantas. Dan, saya kira umat Islam sekarang ini sudah semakin cerdas dan memiliki kebebasan untuk memilih dan memilah “kebenaran” di antara kebenaran-kebenaran yang beredar di penjuru dunia ini.***  (Ahmad Sahidin)