Begitu juga filsuf Muslim terdahulu sangat kurang memberikan
perhatian pada masa depan manusia. Sayangnya, kini sejumlah buku
Syariati yang saya gunakan untuk penelitian S1 (skripsi) tersebut tidak jelas
keberadaannya. Biasalah dipinjam dan tidak kembali. Mungkin dibawa pulang ke
kampung halaman orang yang meminjamnya.
Selain Syariati, ada sosok Muthahhari. Keduanya dari negeri
Persia, yaitu Republik Islam Iran. Menurut saya bahwa Murtadha Muthahhari dan Ali
Syariati merupakan dua sosok besar Islam modern. Keduanya memengaruhi jalan
hidup dan perkembangan intelektual Islam Indonesia. Kalangan akademisi seperti Jalaluddin
Rakhmat, Azyumardi Azra, Afif Muhammad, Haidar Bagir, dan lainnya termasuk yang
mengaku dipengaruhinya.
Kedua sosok intelektual Iran tersebut memang memiliki
karakter yang berbeda dalam pemikiran dan kecenderungan politik yang berlainan.
Apabila Muthahhari dekat dengan ulama dan menyokong gerakan Khomeini yang
menggemborkan wilayah faqih sebagai sistem pemerintahan Islam-Syiah modern
(teodemokrasi) yang kini berlaku di Iran. Sedangkan Syariati justru lebih dapat
disebut dipengaruhi Barat.
Ali Syariati, seorang cendekiawan lulusan Universtas Sorbone
(Perancis) dan pernah belajar dalam sekolah khusus calon ulama, memberikan
kritik pada pemikiran Khomeini. Syariati berpendapat bahwa orang yang bukan
ulama bisa memahami ajaran Islam dengan lebih baik dan bisa memiliki peran yang
lebih baik di masyarakat dibandingkan ulama. Syari`ati mengajukan rausyanfikr
(intelektual yang tercerahkan) sebagai orang yang paling berhak mengendalikan
kekuasaan selama masa ghaib Imam Mahdi. Hingga kini warisan perdebatan
pemikiran politik Islam Iran dilanjutkan oleh Abdul Karim Soroush dan Sayed
Hossen Nasr yang secara intelektual terus mengkritisi sistem pemerintahan Iran,
yaitu wilayah faqih.
Soroush sangat kentara krtitiknya dan menyarankan untuk
diubah dengan pemerintahan demokrasi agama. Soroush menilai wilayah al-faqih
merupakan peniruan dari ajaran Kristen yang memberikan hak penuh kepada para
Bapa Gereja. Para ulama yang kini berkuasa dan memegang pemerintahan,
menurutnya, tidak bebas dari kesalahan dan kecenderungan pribadi dalam
mengelola negara. Dengan hadirnya para ulama tersebut pemerintahan menjadi
seolah-olah sakral dan antikritik. Tidak jarang orang yang berupaya untuk
mengkritisi malah dianggap melawan dan tidak sedikit dibuang ke luar negeri.
Alih-alih diapresiasi malah disingkirkan.
Menurut Soroush bahwa ajaran Islam meposisikan ulama sama
seperti Muslim lainnya karena tidak ma`sum sehingga sosok faqih dan rahbar bisa
salah dan pendapat-pendapatnya bisa dikritisi karena tidak sakral. Selain dari
Allah, Nabi, dan Imam, Soroush membolehkan untuk tidak mentaatinya jika tidak
sesuai dengan semangat Islam atau tidak relevan dengan konteks zaman.
Soroush menawarkan pemerintahan demokrasi agama (democratic
religious government) sebagai pengganti wilayah al-faqih. Memang sebuah
dinamika pemikiran manusia tidak ada yang sakral. Imam Khomeini dan sejumlah
ulama yang dijadikan marja’taqlid bukanlah seorang yang suci seperti Nabi
Muhammad saw dan Aimmah Ahlulbait. Karena itu, setiap kali muncul kritik yang
berkaitan dengan pemikiran dan hasil ijtihad marja taqlid bukan sesuatu yang
harus dikecam, apalagi dihujat. Pemikiran harus dilawan pemikiran, bukan dengan
kecaman atau mengungkap hal-hal yang tidak pantas. Dan, saya kira umat Islam
sekarang ini sudah semakin cerdas dan memiliki kebebasan untuk memilih dan memilah
“kebenaran” di antara kebenaran-kebenaran yang beredar di penjuru dunia ini.***
(Ahmad
Sahidin)