Selama berkuasa dan memerintah negeri Madinah, Khalifah Usman bin Affan (644-656 M.)
membuat tradisi baru dengan mengumandangkan azan dua kali dalam shalat Jumat
dan mengumpukan Al-Quran dalam satu standar yang disebut mushaf Alquran usmani
dan membakar mushaf lainnya. Khalifah Usman memberikan uang
dari kas negara sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asidah
Umayyah, merehabilitasi Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah dan
diberi uang sebesar 100.000 dirham. Dahulu ia telah diusir oleh Rasulullah saw
karena pengkhianatannya. Dua khalifah sebelumnya pun tidak ada yang berani
melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasulullah saw.
Untuk memperkuat pemerintahannya, Usman
mengangkat dua saudaranya yang terkenal sering melawan Rasulullah saw, yaitu
Marwan bin Hakam dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Kerabat Usman, Harits bin Hakam
diberinya hadiah pasar Madinah yang dahulu dimiliki warga miskin dari
Rasulullah dan memberinya hadiah 100.000 dirham dari uang zakat Bani Qad`ah.
Abu Sufyan oleh Khalifah Usman diberi uang 100.000
dirham dan menjadikan padang rumput di sekitar Madinah untuk lahan peternakan
Bani Umayyah. Saudara angkatnya sendiri, Abdullah bin Saad bin Abu Sarh, diberi
semua harta rampasan dari Mesir (Rasul
Ja’farian, 2006: 162-165).
Khalifah Usman bin Affan memberi uang
100.000 dirham kepada Saad bin Abu Ash, Thalhah diberi 2.000 dinar dan 50.000
dirham dari baitul mal, dan Zubair menerima 6.000 dinar (Ali Syariati, 2001: 61-65). Bahkan,
tidak segan-segan Khalifah Utsman pun membuang Abu Dzar Al-Ghifari (wafat 31 H./653 M.) ke Rabadzah yang terus menerus mengkritik
kebijakan-kebijakannya.
Selama memerintah Madinah,
Khalifah Utsman memiliki harta berupa 150.000 dinar emas, 1.000.000 dirham
perak, tanah Hunain dan Wadi al-Qurah senilai 200.000 dinar, 1.000 ekor unta
dan kuda, dan rumah megah di Madinah yang pintu-pintunya terbuat dari kayu
hitam (Ali Syariati, 2001: 69).
Rangkaian kebijakan itulah
yang memicu protes dan pemberontakan kaum Muslim terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Misalnya, Amr bin Ash dan
Aisyah binti Abi Bakar mengecam kebijakan Utsman. Dalam sebuah riwayat
diceritakan ketika Khalifah Utsman
melewati rumah Aisyah kemudian Aisyah langsung melontarkan kecamannya, “Wahai
pengkhianat! Wahai orang yang suka berbuat salah! Anda telah memanjakan
abdi-abdi itu meski harus melanggar amanat. Kalau saja tidak ada shalat lima
waktu, tentu orang akan mendatangi Anda untuk kemudian menyembelih Anda seakan
seekor domba” (Rasul Ja`farian, 2006: 179-180).
Protes
yang berubah menjadi aksi pemberontakan kaum Muslim mengakibatkan Khalifah Utsman
meninggal dunia pada 18 Dzulhijjah 35 Hijriah. Pembunuhan terjadi akibat
kecewanya kaum Muslim Mesir terhadap Khalifah Utsman yang membiarkan Abdullah
bin Abi Sarah yang menjabat Gubernur Mesir bertindak sewenang-wenang. Keluhan
penduduk Mesir tidak ditanggapi Ustman sehingga kemarahannya memuncak. Sekitar
700 orang bersenjata meninggalkan Mesir menuju Madinah untuk mendesak Khalifah Utsman
agar bertindak terhadap Abdullah bin Abi Sarah.
Ali
bin Abi Thalib dan Aisyah biti Abi Bakar turut mendesak Khalifah Utsman agar
memenuhi tuntutan mereka. Kejadian ini sejalan dengan pengangkatan Gubernur
Mesir baru, Muhammad bin Abu Bakar.
Kemudian si kurir yang membawa surat rahasia menyerahkan surat kepada Abdullah
bin Abi Sarah dan di dalamnya terdapat tanda tangan Khalifah Utsman yang
memerintahkan Abdullah bin Abi Sarah segera membunuh Gubernur baru tersebut
setibanya di Mesir.
Namun,
kurir yang membawa surat rahasia itu dipergoki di tengah jalan oleh
iring-iringan Gubernur Mesir yang baru diangkat. Terbongkarlah permainan
politik yang curang itu sehingga kemarahan kaum Muslim Mesir semakin memuncak.
Marwan bin Hakam, pejabat Khalifah Utsman, dianggap sebagai biang keladi
permainan politik kemudian kaum Muslim menuntut agar Khalifah Utsman
menyerahkan Marwan kepada mereka atau menyingkirkannya dari kekuasaan. Namun, Khalifah
Utsman tidak memenuhi tuntutan tersebut sehingga terjadilah pengepungan rumah Khalifah
Utsman oleh sekitar 700 orang Mesir dan sebagian penduduk Madinah.
Dengan
senjata ditangan masing-masing, mereka berbondong-bondong menuju tempat
kediaman Khalifah Utsman dan dengan ketat mengepungnya. Pengepungan total itu
mengaakibatkan kondisi Utsman dan kekuarganya semakin buruk.
Meski
sudah dikepung, Khalifah Utsman tetap tidak bersedia memenuhi tuntutan mereka.
Akibatnya, mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan pembunuhan secara
diam-diam terhadap Khalifah Utsman. Rencana tersebut tercium oleh Ali bin Abi
Thalib yang segera memerintahkan kedua putranya untuk menjaga Khalifah Utsman.
Melihat dua cucu Rasulullah saw berjaga-jaga, pemberontak tidak berani
menyerang dari depan rumah. Muhammad bin Abi Bakar, tokoh pemberontak, bersama
dua orang temannya memanjat dinding belakang kamar khalifah. Ketika itu Khalifah
Utsman sedang membaca al-Quran dan hanya ditemani Nailah (salah
satu istri Utsman bin Affan yang beragama Nasrani) (Jalaluddin Rakhmat, 2007:
162).
Setelah
berhasil memasuki kamar Khalifah Utsman, Muhammad bin Abu Bakar langsung
menyerbu dan memegang janggut Khalifah Utsman dengan keras. Khalifah Utsman
dengan nada sedih berkata: “Lepaskan janggutku, hai putra saudaraku! Jika
ayahmu melihat perbuatan yang kau lakukan ini… aah, alangkah kecewanya dia!”
Tiba-tiba
dua orang teman Muhammad bin Abu Bakar yang turut masuk menyerbu dan tombak
pendek yang mereka pegang pun segera dihujamkan ke lambung Khalifah Utsman.
Seketika itu juga Khalifah Utsman gugur. Nailah yang menyaksikan adegan itu
menjerit-jerit bersamaan dengan melesatnya tiga orang pemuda yang melompat
jendela.
Sejarahwan
H.M.H. Al-Hamid Al Husaini dalam buku Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi
Thalib ra mengutip Ibnu Jarir At-Thabari bahwa seorang demi seorang para
pemberontak memasuki kamar yang saat itu Khalifah Utsman sedang membaca
Al-Quran. Para pemberontak itu mundur kembali karena ragu-ragu hendak membunuh
khalifah. Kemudian masuklah Qutairah dan Saudan bin Hamran bersama seorang lagi
yang dipanggil dengan nama Al-Gafhiqiy menghantam Khalifah Utsman dengan besi.
Saudan segera maju untuk menebas leher Khalifah Utsman, tetapi istrinya yang menyaksikan
kejadian itu cepat-cepat bergerak maju untuk menahan pedang yang diayunkan
sehingga terkena jari tanga istri Khalifah Utsman.
Seorang
sahabat Nabi Muhammad saw, Ammar bin Yasir, yang terlibat dalam pemberontakan terhadap
Khalifah Utsman berkata, “Kami bunuh dia (Utsman) ketika dia kafir.” Begitu
pula Zaid bin Arqam menjelaskan mengapa Khalifah Utsman bin Affan dibunuh, “Ada
tiga alasan, salah satunya karena dia tidak mengikuti Kitab Allah” (Rasul
Ja`farian, 2006: 163).
Setelah
Khalifah Utsman bin Affan terbunuh, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang mengendalikan
pemerintahan cepat-cepat membersihkan diri. Marwan bin Hakam lari meninggalkan Madinah,
Amr bin Ash pergi ke Palestina, Muawiyah bin Abu Sufyan menetap di Syiria, dan Abdullah
bin Abi Sarah pun menghilang dari Madinah.
Ketika
terjadi pengepungan terhadap rumah Khalifah Utsman bin Affan, semua orang yang
berada dalam pemerintahan Khalifah Utsman tidak mengirimkan pasukan untuk
menjaga dan melindunginya. Padahal mereka mempunyai kekuatan untuk melakukan
tindakan hukum, tetapi malah membiarkan pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan
terjadi.[]