Rabu, 01 April 2020

Khulafa Rasyidun: Khalifah Usman bin Affan ra

Selama berkuasa dan memerintah negeri Madinah, Khalifah Usman bin Affan (644-656 M.) membuat tradisi baru dengan mengumandangkan azan dua kali dalam shalat Jumat dan mengumpukan Al-Quran dalam satu standar yang disebut mushaf Alquran usmani dan membakar mushaf lainnya. Khalifah Usman memberikan uang dari kas negara sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asidah Umayyah, merehabilitasi Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah dan diberi uang sebesar 100.000 dirham. Dahulu ia telah diusir oleh Rasulullah saw karena pengkhianatannya. Dua khalifah sebelumnya pun tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasulullah saw.

Untuk memperkuat pemerintahannya, Usman mengangkat dua saudaranya yang terkenal sering melawan Rasulullah saw, yaitu Marwan bin Hakam dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Kerabat Usman, Harits bin Hakam diberinya hadiah pasar Madinah yang dahulu dimiliki warga miskin dari Rasulullah dan memberinya hadiah 100.000 dirham dari uang zakat Bani Qad`ah.

Abu Sufyan oleh Khalifah Usman diberi uang 100.000 dirham dan menjadikan padang rumput di sekitar Madinah untuk lahan peternakan Bani Umayyah. Saudara angkatnya sendiri, Abdullah bin Saad bin Abu Sarh, diberi semua harta rampasan dari Mesir  (Rasul Ja’farian, 2006: 162-165).

Khalifah Usman bin Affan memberi uang 100.000 dirham kepada Saad bin Abu Ash, Thalhah diberi 2.000 dinar dan 50.000 dirham dari baitul mal, dan Zubair menerima 6.000 dinar (Ali Syariati, 2001: 61-65).  Bahkan, tidak segan-segan Khalifah Utsman pun membuang Abu Dzar Al-Ghifari (wafat  31 H./653 M.) ke Rabadzah yang terus menerus mengkritik kebijakan-kebijakannya.

Selama memerintah Madinah, Khalifah Utsman memiliki harta berupa 150.000 dinar emas, 1.000.000 dirham perak, tanah Hunain dan Wadi al-Qurah senilai 200.000 dinar, 1.000 ekor unta dan kuda, dan rumah megah di Madinah yang pintu-pintunya terbuat dari kayu hitam (Ali Syariati, 2001: 69)

Rangkaian kebijakan itulah yang memicu protes dan pemberontakan kaum Muslim terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Misalnya, Amr bin Ash dan Aisyah binti Abi Bakar mengecam kebijakan Utsman. Dalam sebuah riwayat diceritakan  ketika Khalifah Utsman melewati rumah Aisyah kemudian Aisyah langsung melontarkan kecamannya, “Wahai pengkhianat! Wahai orang yang suka berbuat salah! Anda telah memanjakan abdi-abdi itu meski harus melanggar amanat. Kalau saja tidak ada shalat lima waktu, tentu orang akan mendatangi Anda untuk kemudian menyembelih Anda seakan seekor domba” (Rasul Ja`farian, 2006: 179-180).

Protes yang berubah menjadi aksi pemberontakan kaum Muslim mengakibatkan Khalifah Utsman meninggal dunia pada 18 Dzulhijjah 35 Hijriah. Pembunuhan terjadi akibat kecewanya kaum Muslim Mesir terhadap Khalifah Utsman yang membiarkan Abdullah bin Abi Sarah yang menjabat Gubernur Mesir bertindak sewenang-wenang. Keluhan penduduk Mesir tidak ditanggapi Ustman sehingga kemarahannya memuncak. Sekitar 700 orang bersenjata meninggalkan Mesir menuju Madinah untuk mendesak Khalifah Utsman agar bertindak terhadap Abdullah bin Abi Sarah.

Ali bin Abi Thalib dan Aisyah biti Abi Bakar turut mendesak Khalifah Utsman agar memenuhi tuntutan mereka. Kejadian ini sejalan dengan pengangkatan Gubernur Mesir baru,  Muhammad bin Abu Bakar. Kemudian si kurir yang membawa surat rahasia menyerahkan surat kepada Abdullah bin Abi Sarah dan di dalamnya terdapat tanda tangan Khalifah Utsman yang memerintahkan Abdullah bin Abi Sarah segera membunuh Gubernur baru tersebut setibanya di Mesir.

Namun, kurir yang membawa surat rahasia itu dipergoki di tengah jalan oleh iring-iringan Gubernur Mesir yang baru diangkat. Terbongkarlah permainan politik yang curang itu sehingga kemarahan kaum Muslim Mesir semakin memuncak. Marwan bin Hakam, pejabat Khalifah Utsman, dianggap sebagai biang keladi permainan politik kemudian kaum Muslim menuntut agar Khalifah Utsman menyerahkan Marwan kepada mereka atau menyingkirkannya dari kekuasaan. Namun, Khalifah Utsman tidak memenuhi tuntutan tersebut sehingga terjadilah pengepungan rumah Khalifah Utsman oleh sekitar 700 orang Mesir dan sebagian penduduk Madinah.

Dengan senjata ditangan masing-masing, mereka berbondong-bondong menuju tempat kediaman Khalifah Utsman dan dengan ketat mengepungnya. Pengepungan total itu mengaakibatkan kondisi Utsman dan kekuarganya semakin buruk.

Meski sudah dikepung, Khalifah Utsman tetap tidak bersedia memenuhi tuntutan mereka. Akibatnya, mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan pembunuhan secara diam-diam terhadap Khalifah Utsman. Rencana tersebut tercium oleh Ali bin Abi Thalib yang segera memerintahkan kedua putranya untuk menjaga Khalifah Utsman. Melihat dua cucu Rasulullah saw berjaga-jaga, pemberontak tidak berani menyerang dari depan rumah. Muhammad bin Abi Bakar, tokoh pemberontak, bersama dua orang temannya memanjat dinding belakang kamar khalifah. Ketika itu Khalifah Utsman sedang membaca al-Quran dan hanya ditemani Nailah (salah satu istri Utsman bin Affan yang beragama Nasrani) (Jalaluddin Rakhmat, 2007: 162).

Setelah berhasil memasuki kamar Khalifah Utsman, Muhammad bin Abu Bakar langsung menyerbu dan memegang janggut Khalifah Utsman dengan keras. Khalifah Utsman dengan nada sedih berkata: “Lepaskan janggutku, hai putra saudaraku! Jika ayahmu melihat perbuatan yang kau lakukan ini… aah, alangkah kecewanya dia!”

Tiba-tiba dua orang teman Muhammad bin Abu Bakar yang turut masuk menyerbu dan tombak pendek yang mereka pegang pun segera dihujamkan ke lambung Khalifah Utsman. Seketika itu juga Khalifah Utsman gugur. Nailah yang menyaksikan adegan itu menjerit-jerit bersamaan dengan melesatnya tiga orang pemuda yang melompat jendela.

Sejarahwan H.M.H. Al-Hamid Al Husaini dalam buku Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib ra mengutip Ibnu Jarir At-Thabari bahwa  seorang demi seorang para pemberontak memasuki kamar yang saat itu Khalifah Utsman sedang membaca Al-Quran. Para pemberontak itu mundur kembali karena ragu-ragu hendak membunuh khalifah. Kemudian masuklah Qutairah dan Saudan bin Hamran bersama seorang lagi yang dipanggil dengan nama Al-Gafhiqiy menghantam Khalifah Utsman dengan besi. Saudan segera maju untuk menebas leher Khalifah Utsman, tetapi istrinya yang menyaksikan kejadian itu cepat-cepat bergerak maju untuk menahan pedang yang diayunkan sehingga terkena jari tanga istri Khalifah Utsman.

Seorang sahabat Nabi Muhammad saw, Ammar bin Yasir, yang terlibat dalam pemberontakan terhadap Khalifah Utsman berkata, “Kami bunuh dia (Utsman) ketika dia kafir.” Begitu pula Zaid bin Arqam menjelaskan mengapa Khalifah Utsman bin Affan dibunuh, “Ada tiga alasan, salah satunya karena dia tidak mengikuti Kitab Allah” (Rasul Ja`farian, 2006: 163).

Setelah Khalifah Utsman bin Affan terbunuh, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang mengendalikan pemerintahan cepat-cepat membersihkan diri.  Marwan bin Hakam lari meninggalkan Madinah, Amr bin Ash pergi ke Palestina, Muawiyah bin Abu Sufyan menetap di Syiria, dan Abdullah bin Abi Sarah pun menghilang dari Madinah.

Ketika terjadi pengepungan terhadap rumah Khalifah Utsman bin Affan, semua orang yang berada dalam pemerintahan Khalifah Utsman tidak mengirimkan pasukan untuk menjaga dan melindunginya. Padahal mereka mempunyai kekuatan untuk melakukan tindakan hukum, tetapi malah membiarkan pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan terjadi.[]

(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)