Rabu, 27 Mei 2020

Mengapa Wanita Lebih Emosional?

Saya pernah baca sebuah buku tentang perempuan yang ditulis salah seorang muslim—lupa nama dan judul bukunya. Pada buku itu diterangkan bahwa perempuan pada dasarnya punya kekhususan yang sangat berbeda, baik dari mental, intelektual maupun spiritual.

Menurut penulis itu, Tuhan memberikan syahwat kepada wanita sebanyak sembilan. Sedangkan pada laki-laki diberikan satu. Akal diberikan pada wanita satu dan sembilan pada laki-laki. Jadi, dari sana tampak bahwa semua elemen atau yang tampak pada wanita sangat bernuansa syahwat—bila laki-laki normal melihat. Syahwat ini dekatnya dengan dimensi emosi. 

Karena itu, mengapa wanita cenderung lebih emosional dan cepat marah serta sensitif, karena aspek syahwat lebih besar. Tapi ini penting. Sebab syahwat itu dapat menentramkan laki-laki dan mengendalikan seorang pasangannya. Hanya kalau sudah aspek syahwat yang keluar, seorang wanita kadang tak bisa mengendalikan dirinya. Ia suka cepat ngambil kesimpulan, suka cepat emosi, dan rada susah baik kembali. Juga suka memendam masalah. Inilah karakter yang membedakan dari laki-laki. Ini karena aspek intelektual (akal) yang dimiliki wanita cuma satu. Jadi wajar kalau akal sehatnya kadang tak terpakai, kalah dibanding emosi.

Kalau laki-laki sebaliknya. Ia lebih banyak mikir dan terkadang sedikit gunakan emosi. Ia bias mengalah dan menerima fakta bila dirinya kurang mengandung syahwat bagi wanita. Kadang tidak menarik sosok laki-laki itu. Coba kau perhatikan. Apa yang menariknya? Maka tak heran bila wanita menyukai laki-laki itu karena aspek bawaannya atau hal-hal yang didapatinya seperti intelektual yang cerdas, arif-bijak-santun, termasuk harta bendanya. 

Kemudian laki-laki itu kadang kalau sudah marah bisa meledak dan merusak, bahkan menyakiti. Perempuan lebih meredam dalam dirinya, bahkan hanya diam dan tidak mau lagi bersua. Ada juga yang sampai bunuh diri kalau tak tahan dengan deritanya. Karenanya, kaum perempuan butuh bantuan laki-laki dan diarahkan. Itu yang saya ketahui. Pasti ada yang kurang. Biarlah orang lain melengkapinya.

Namun pada aspek spiritual, baik laki-laki maupun wanita sama saja. Ada yang naik dan sempurna, juga ada yang sebaliknya. Ini tergantung yang dituju dalam hidup; apakah berorientasi ke Allah? Atau sebaliknya, lebih besar ke arah dunianya.

Rabiah Adawiyah
Pernyataan saya itu sebenarnya dapat kritik dari seorang sufi muslimah bernama Rabiah al-Adawiyah, yang hidup pada Abad Pertengahan Islam. Rabiah, selain salehah juga dikenal wanita yang selalu menjaga dirinya dengan uzlah. Karena ketakwaannya itu, tokoh sufi besar seperti Hasan al-Basri dan Malik bin Dinar mencoba melamarnya. Lamaran mereka itu ditolak oleh Rabiah. Ditolak karena mereka tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Rabiah. Di antaranya ditanya mengenai, "bisakah Anda mengkabarkan, nanti di akhirat saya akan masuk surga atau neraka?”

”Kami tak tahu,” jawab mereka.

Rabiah kemudian bertanya lagi, ”Berapa banyak banyak nafsu syahwat diberikan pada wanita dan berapa untuk laki-laki?”

Mereka berdua menjawab, ”Sembilan untuk wanita dan satu untuk laki-laki”.

”Berapa akal yang diberikan untuk wanita dan berapa untuk laki-laki,” tanya Rabiah lagi.

”Sembilan untuk laki-laki dan satu untuk wanita,” jawab mereka kembali.

”Sungguh heran, kalian yang diberi sembilan akal tak bisa mengendalikan syahwat yang hanya satu saja, sehingga berani meminangku. Sedangkan aku yang diberi sembilan syahwat masih bisa menjaganya dengan satu akal,” ungkap Rabiah.

”Ketahuilah, aku sudah menyerahkan hidup matiku dan cintaku semata-mata hanya kepada Allah, tidak untuk makhluk yang lalai atas amanah,” tambahnya.

Luar biasa bukan? Ternyata potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia, baik akal dan syahwat, yang diberikan secara berbeda ke wanita dan laki-laki, ternyata bila dalam memfungsikannya tidak optimal dan tak diarahkan pada Ilahi menjadi petaka yang bisa menjerumuskan pada kenistaan.

Jadi dalam hidup ini, baik laki-laki atau wanita sangat dituntut untuk fastabiqulkhoirot. Tidak ada diskriminasi gender. Yang ada adalah, seberapa kuat dan mampu ia berkiprah dan memenuhi tuntutan zaman. Ini yang kukira bisa dijadikan landasan, sehingga kaum wanita tak lagi dianggap sebagai makhluk murahan, penurut, atau makhluk alternatif yang bias dieksploitasi dalam dunia industri.

Saya juga membaca buku Fatimah Azzahra binti Rasulullah SAW, yang ditulis oleh Mullah Abbas Qummi, ulama dari Iran. Ia mengulas tentang kiprah hidup Azzahra, dari lahir hingga wafat. Luar biasa sosok Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW itu. Sampai-sampai penulis menyebutnya Fathimah Azzahra secara batin Bidadari Surga, secara lahir Sayyidatul Muslimah shalihah yang tidak berbanding dengan siapa pun di dunia ini, termasuk istri-istri Nabi. Fathimah pekerja keras dan pantang mengeluh, bahkan berani melakukan demonstrasi untuk menuntut hak yang diambil oleh khalifah yang berkuasa. 

Dari bacaan atas buku tersebut, saya memahami bukan saja berbeda dari kelamin dan bentuk tubuh antara perempuan dengan lelaki, juga semangat ibadah dan etos hidupnya pun beda. Bahkan kedudukan perempuan dapat mengalahkan laki-laki. Saya temukan di satu perusahaan besar bidang pertambangan bahwa pimpinan tertingginya adalah istri dari seorang manager di perusahaan tersebut. Karena profesional, maka suaminya itu mengikuti yang sampaikan istrinya. Itu di kantor. Mungkinkah beda di rumah? 

Nah, itu silakan dijawab oleh pembaca. Siapa tahu ada yang punya pengalaman yang dapat dibagikan dalam bentuk tertulis. Insya Allah akan sangat manfaat. *** (ahmad sahidin)