Senin, 09 Januari 2023

Ilmu dan Peradaban

“IKATLAH ilmu dengan menuliskannya,” begitu kata Imam Ali Ibn Abi Thalib. Dari ungkapan tersebut tampak bahwa Imam Ali mempunyai firasat akan terjadi hilangnya suatu ilmu (pengetahuan) dari manusia. Karena itu, tidak salah menantu Rasulullah saw mengingatkannya kepada kita untuk menyimpannya dalam bentuk tulisan.  Kemudian tulisan itulah yang menjadi “lumbung” ilmu; rekaman dari pengetahuan sekaligus menunjukkan adanya peradaban manusia. Karena itu, melalui karya tulislah kita akan mengetahui betapa kaya paradaban Islam; memiliki karya-karya monumental. Ribuan buku dan ribuan ilmuwan yang lahir menjadi simbol peradaban. Tidak ada kemajuan tanpa buku. Tidak ada buku jika tidak ada ilmuwan (ulama). 

Munculnya karya dan khazanh kaum Muslim terdahulu karena mereka memiliki semangat untuk menggali ilmu pengetahuan. Motivasi tersebut lahir karena perintah Allah melalui wahyu yang diterima Rasulullah saw. Salah satunya ayat, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah; yang mengajar dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-Alaq [96]:1-5) 

Menurut M. Quraish Shihab, kata iqra (bacalah!) dalam ayat tersebut bermakna perintah membaca, menghimpun, menelaah, meneliti, dan mendalami. Seseorang yang ingin mengetahui hakikat dibalik fenomena alam semesta dan manusia, termasuk mengenali Tuhan perlu dengan membaca ayat tadwiniyah dan takwiniyah. Dengan membaca keduanya, maka terbukalah “misteri” yang tidak kita ketahui sebelumnya dan menuntun hidup lebih bermakna. 

Jika kita tafsirkan lebih jauh, makna perintah membaca di atas tidak hanya kitab suci dan alam semesta, tapi juga karya umat manusia berupa buku-buku. Dari buku yang dibaca dan disebarluaskan dengan penerjemahan itu melahirkan khazanah ilmu-ilmu Islam dalam bentuk buku yang jumlahnya ribuan. 

Proyek intelektual ini berlangsung pada periode akhir Dinasti Umayyah dan awal berkuasanya Dinasti Abbasiyah. Meski memang tidak dipungkiri para panguasanya berlaku zalim, tapi kontribusinya dalam mengembangkan khazanah Islam jelas terbukti.  Salah satunya Al-Makmun, penguasa Dinasti Abbasiyah yang memerintah pada 813-833 M, yang memfasilitasi kaum Muslim untuk melakukan penerjemahan berbagai karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab. 

Aktivitas intelektual itu dipusatkan di Baghdad (Irak) dalam sebuah lembaga keilmuan bernama Baitul Hikmah dan Majalis Al-Munazarah. Juga terdapat 100 kios buku dan 38 perpustakaan umum yang ramai dikunjungi orang untuk sekadar membaca dan menelaah. Dari lembaga-lembaga itu lahirlah para filsuf, teolog, fuqaha, muhadits, dan mufasir yang karya-karyanya berpengaruh hingga sekarang. 

Selain di Baghdad, khazanah perbukuan Islam berkembang pula di Cordoba (Andalusia, Spanyol). Umat Islam di Spanyol pada abad ke-10 memiliki perpustakaan istana yang berisi 600.000 koleksi buku dan 70 perpustakaan umum. Kecintaan terhadap ilmu tampak juga di Mesir, yang pada masa itu seorang penguasa Dinasti Fathimiyah secara pribadi memiliki 1.600.000 buku dengan memperkerjakan puluhan pegawai. Tradisi intelektual pada masa Dinasti Fathimiyah tampak dari munculnya organisasi ilmuwan Muslim Syi`ah yang bernama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci) pada abad ke-4 H./10 M. 

Tokoh-tokoh yang terkenal dalam organisasi Ikhwan al-Shafa ini di antaranya Ahmad bin Abd Allah, Abi Sulaiman Muhammad bin Nashr Al-Busti (Al-Muqaddasi), Zaid bin Rifa’ah, Abi Al-Hasan Ali bin Harun Al-Zanjany, dan lainnya. Mereka berkumpul untuk mengkaji khazanah filsafat dan melakukan kombinasi dengan teologi Syi`ah hingga melahirkan ensiklopedi Rasail Ikhwan Al-Shafa. 

Hampir semua wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam memiliki tradisi keilmuan dan memberi perhargaan yang cukup tinggi dengan mendirikan pusat-pusat kajian Islam dan perpustakaan-perpustakaan. Meskipun tidak lepas dari unsur politik dan sebagai bentuk propaganda mazhab, kehadiran simbol-simbol peradaban tersebut menjadi bukti bahwa umat Islam memiliki gairah yang tinggi terhadap kemajuan zaman. *** (AHMAD SAHIDIN)