Rabu, 11 Januari 2023

Islam Mazhab Jalali

KEHIDUPAN umat manusia tidak lepas kemajemukan; budaya, agama, bahkan prinsip hidup pun beragam. Dari keragaman itulah tidak dipungkiri melahirkan klaim atau pengakuan dari masing-masing sebagai yang paling beragama, berbudaya, bahkan paling benar. Dari klaim tersebut timbul kembali konflik sehingga kehidupan tidak teratur karena saling berbentur. 

Tengok sejarah kehidupan beragama di Indonesia, hampir setiap tahun dipenuhi runtutan peristiwa-peristiwa yang bernuansa agama. Sayangnya, wajah agama yang muncul bukan yang ideal, malah yang seram dan menyesakan dada. Adakah yang salah? Tentu bukan agama yang tidak benar, tetapi pemahaman agama yang perlu dikaji ulang. Namun, setiap pemahaman agama yang muncul atau dihasilkan dengan kajian atau penelitian senantiasa berbeda satu sama lain dan memiliki pemahaman tersendiri. Bukan hanya antarumat beragama, dalam satu agama pun melahirkan pemahaman-pemahaman, bahkan pada ormas atau aliran pun terdapat pemahaman yang berbeda; yang melahirkan pemahaman atau sekte-sekte baru lagi.

 

Bagaimana jalan keluarnya? Adakah solusi yang dapat diterima semua penganut dan penghayat agama yang ada di Indonesia?

 

Jalaluddin Rakhmat, yang akrab disapa Kang Jalal—tetapi saya memanggilnya Ustadz Jalal—menjawab bahwa, “Kita perlu mengembangkan pemahaman agama madani. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban.”  (Kompas, 6 Februari 2011)

 

Islam Madani

Dalam Kompas, Ustadz Jalal menerangkan tentang agama madani sembari mengutip filsuf kelahiran Swiss, Jean Jacques Rousseau, yang hidup pada zaman Revolusi Perancis (abad ke-18 Masehi). Menurut Ustadz  Jalal, Rousseau menyebut la religion civile (agama civil) sebagai paradigma beragama yang menyatukan kebangsaan dan agama institusional; seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, Sikh, Yahudi, Konghuchu, dan lainnya.

 

Dari gagasan tersebut, Ustadz Jalal memetakan pemahaman agama, khususnya pemahaman Islam di Indonesia yang terbagi dalam tiga jenis pemahaman Islam: Islam fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani.

 

Dalam pemahaman saya, yang secara substansi merujuk kepada Ustadz Jalal, bahwa Islam fiqhiy didasarkan pada praktik-praktik ritual umat Islam dan keislaman seorang muslim diukur dari rajin tidaknya beribadah. Tidak jarang dalam Islam fiqhiy ini terjadi benturan yang tajam, bahkan saling mengklaim sebagai yang benar. Sedangkan kalangan muslim lainnya yang berbeda dalam praktik-praktik ritual biasanya disebut sesat atau menyimpang dari ajaran agama yang benar. Keislaman model ini masih ada hingga sekarang di masyarakat, khususnya yang memegang teguh pemahaman-pemahaman ritual dalam lembaga-lembaga Islam. Tidak jarang praktik ritual warga Nahdlatul Ulama dikecam warga Persatuan Islam dan Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya. Bisa juga, seorang muslim dikatakan saleh kalau panjang jenggotnya, mengenakan koko dan peci haji, sering menyebut istilah-istilah Arab dalam pergaulannya, berkelompok dengan sesamanya, dan lainnya. Keislaman fiqhiy ini biasanya menjamur dalam kalangan masyarakat biasa.

 

Lalu, Islam siyasiy atau Islam politik. Selain yang memusatkan hanya pada ritual semata, ada juga orang-orang yang menjadikan Islam sebagai kegiatan politik hingga berupaya menciptakan negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Berbagai partai politik  yang berwajah agama pun muncul. Lewat gerakan politik, umat Islam siyasi ini mengajak masyarakat untuk kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, seperti masa Daulah Ustmaniyah. Tidak hentinya mereka beralasan bahwa berbagai masalah yang menimba bangsa ini diakibatkan karena tidak berhukum pada syariah Islam. Karena itu, mereka berjuang untuk menegakkannya dengan cara dan agendanya yang telah digariskan organisiasi atau lembaga tempat mereka berkiprah.

 

Apabila dilihat dari sejarah, kedua Islam tersebut belum mencapai hasil yang memuaskan atau terbukti kontribusinya dalam peradaban Indonesia. Banyaknya pejabat atau politisi muslim yang duduk dalam pemerintahan tidak membuat Indonesia semakin baik, malah sebaliknya mereka yang memperburuk citra Islam. Para pejabat yang korupsi dapat ditebak agamanya, bahkan instansi agama pun terkenal yang paling tinggi tingkat korupsinya. Mungkin dari kesejahteraan hidup para politisi sudah berubah, tetapi masyarakat tidak merasakannya.

 

Begitu pun dengan Islam fiqhiy yang muncul hanyalah kegiatan-kegiatan seremonial agama dalam bentuk tabligh atau pengerahan massa untuk ritual zikir dan doa bersama. Tidak sedikit pula yang memanfaatkan uang umat Islam dengan dalih infak atau sedekah kemudian dananya digunakan untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya. Para penganut pemahaman fiqhiy ini akan terkena kecewa jika tokoh agamanya tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Ketika tokoh agama ini melakukan sesuatu yang bertentangan dengan yang disampaikannya langsung mengecam dan meninggalkannya. Bahkan, tidak sedikit tokoh Islam fiqhiy ini pula yang menyebabkan sesama muslim tidak akur dalam hubungan bermasyarakat hanya karena tidak qunut dalam shalat subuh, tidak ikut tahlilan, atau tidak sama dalam gerakan atau bacaan shalat.

 

Nah, yang terakhir adalah Islam madani. Islam apakah ini? Menurut Ustadz Jalal, Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang (rahmatan lil’alamin). Kesalehan seorang manusia diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama dan berkhidmat pada kemanusiaan. Singkatnya, Islam madani berpusat pada karakter manusia dan menciptakan masyarakat yang berperadaban yang disertai keilmuan dan kesadaran spiritual yang tinggi.

 

Ustadz Jalal juga dalam Kompas menerangkan bahwa Islam fiqhiy dan Islam siyasiy dapat mengantarkan kaum muslim pada agama madani kalau kesadaran beragamanya beralih Islam Madani yang tengah dibumikannya.  

 

Memang, istilah Islam madani atau masayarakat madani sudah pernah diwacanakan sebelumnya oleh Nurcholish Madjid dan aktivis Paramadina serta penganut paham pluralisme di Indonesia. Secara istilah dan konsep memang bukan hal baru. Karena itu, Ustadz Jalal dengan gagasan Islam madani justru ‘menambal’ dan ‘melengkapi’ kekurangan dari pemikiran yang digagas mereka, khususnya dalam konteks ukhuwah Islamiyah. Beragam gagasan Kang Jalal itu (menurut saya) tampaknya dapat disebut Mazhab Jalali. Tentu makna mazhab bukan berarti membuat aliran baru dari fikih maupun akidah. Namun ini semacam arus pemikiran Islam yang membumi di Indonesia. Bagaimana menurut Anda? Silakan berpendapat! *** (ahmad sahidin)