KEHIDUPAN umat manusia tidak lepas kemajemukan; budaya, agama, bahkan prinsip hidup pun beragam. Dari keragaman itulah tidak dipungkiri melahirkan klaim atau pengakuan dari masing-masing sebagai yang paling beragama, berbudaya, bahkan paling benar. Dari klaim tersebut timbul kembali konflik sehingga kehidupan tidak teratur karena saling berbentur.
Tengok sejarah kehidupan beragama di Indonesia, hampir setiap tahun dipenuhi runtutan peristiwa-peristiwa yang bernuansa agama. Sayangnya, wajah agama yang muncul bukan yang ideal, malah yang seram dan menyesakan dada. Adakah yang salah? Tentu bukan agama yang tidak benar, tetapi pemahaman agama yang perlu dikaji ulang. Namun, setiap pemahaman agama yang muncul atau dihasilkan dengan kajian atau penelitian senantiasa berbeda satu sama lain dan memiliki pemahaman tersendiri. Bukan hanya antarumat beragama, dalam satu agama pun melahirkan pemahaman-pemahaman, bahkan pada ormas atau aliran pun terdapat pemahaman yang berbeda; yang melahirkan pemahaman atau sekte-sekte baru lagi.
Bagaimana jalan keluarnya? Adakah solusi yang dapat diterima semua
penganut dan penghayat agama yang ada di Indonesia?
Jalaluddin Rakhmat,
yang akrab disapa Kang Jalal—tetapi saya memanggilnya Ustadz Jalal—menjawab bahwa,
“Kita perlu mengembangkan pemahaman agama madani. Ini
bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal
dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan
peradaban. Semua
agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi
kemanusiaan dan peradaban.” (Kompas, 6 Februari 2011)
Islam Madani
Dalam Kompas,
Ustadz Jalal menerangkan
tentang agama madani sembari mengutip filsuf kelahiran
Swiss, Jean Jacques Rousseau, yang hidup pada zaman Revolusi Perancis (abad
ke-18 Masehi). Menurut Ustadz Jalal, Rousseau menyebut ‘la religion civile’ (agama civil) sebagai paradigma
beragama yang menyatukan kebangsaan dan agama institusional; seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, Sikh,
Yahudi, Konghuchu, dan lainnya.
Dari gagasan
tersebut, Ustadz Jalal memetakan pemahaman agama, khususnya pemahaman Islam di
Indonesia yang terbagi dalam tiga jenis pemahaman Islam: Islam
fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani.
Dalam pemahaman
saya, yang secara substansi merujuk kepada Ustadz Jalal, bahwa Islam fiqhiy
didasarkan pada praktik-praktik ritual umat Islam dan keislaman seorang muslim
diukur dari rajin tidaknya beribadah. Tidak jarang dalam Islam fiqhiy ini
terjadi benturan yang tajam, bahkan saling mengklaim sebagai yang benar.
Sedangkan kalangan muslim lainnya yang berbeda dalam praktik-praktik ritual
biasanya disebut sesat atau menyimpang dari ajaran agama yang benar. Keislaman
model ini masih ada hingga sekarang di masyarakat, khususnya yang memegang
teguh pemahaman-pemahaman ritual dalam lembaga-lembaga Islam. Tidak jarang
praktik ritual warga Nahdlatul Ulama dikecam warga Persatuan Islam dan Muhammadiyah.
Begitu juga sebaliknya. Bisa juga, seorang muslim dikatakan saleh kalau panjang
jenggotnya, mengenakan koko dan peci haji, sering menyebut istilah-istilah Arab
dalam pergaulannya, berkelompok dengan sesamanya, dan lainnya. Keislaman fiqhiy
ini biasanya menjamur dalam kalangan masyarakat biasa.
Lalu, Islam siyasiy atau Islam politik. Selain yang memusatkan hanya pada ritual semata, ada juga orang-orang yang
menjadikan Islam
sebagai kegiatan politik hingga berupaya menciptakan negara Islam,
menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Berbagai partai politik yang berwajah agama pun muncul. Lewat gerakan
politik, umat Islam siyasi ini mengajak masyarakat untuk kembali
merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, seperti masa Daulah Ustmaniyah. Tidak hentinya mereka beralasan bahwa berbagai
masalah yang menimba bangsa ini diakibatkan karena tidak berhukum pada syariah Islam. Karena itu, mereka
berjuang untuk menegakkannya dengan cara dan agendanya yang telah digariskan
organisiasi atau lembaga tempat mereka berkiprah.
Apabila dilihat
dari sejarah, kedua Islam tersebut belum mencapai hasil yang memuaskan atau
terbukti kontribusinya dalam peradaban Indonesia. Banyaknya pejabat atau
politisi muslim yang duduk dalam pemerintahan tidak membuat Indonesia semakin
baik, malah sebaliknya mereka yang memperburuk citra Islam. Para pejabat yang
korupsi dapat ditebak agamanya, bahkan instansi agama pun terkenal yang paling
tinggi tingkat korupsinya. Mungkin dari kesejahteraan hidup para politisi sudah
berubah, tetapi masyarakat tidak merasakannya.
Begitu pun dengan
Islam fiqhiy yang muncul hanyalah kegiatan-kegiatan seremonial agama dalam
bentuk tabligh atau pengerahan massa untuk ritual zikir dan doa bersama. Tidak
sedikit pula yang memanfaatkan uang umat Islam dengan dalih infak atau sedekah
kemudian dananya digunakan untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya. Para
penganut pemahaman fiqhiy ini akan terkena kecewa jika tokoh agamanya tidak
sesuai dengan yang diharapkannya. Ketika tokoh agama ini melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan yang disampaikannya langsung mengecam dan meninggalkannya.
Bahkan, tidak sedikit tokoh Islam fiqhiy ini pula yang menyebabkan sesama
muslim tidak akur dalam hubungan bermasyarakat hanya karena tidak qunut dalam
shalat subuh, tidak ikut tahlilan, atau tidak sama dalam gerakan atau bacaan
shalat.
Nah, yang terakhir
adalah Islam madani. Islam apakah ini? Menurut Ustadz Jalal, Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga
Islam menjadi rahmat bagi semua orang (rahmatan lil’alamin). Kesalehan seorang manusia diukur
dari kadar cinta seseorang kepada sesama dan berkhidmat pada kemanusiaan. Singkatnya, Islam madani
berpusat pada karakter manusia dan
menciptakan masyarakat yang berperadaban yang disertai keilmuan dan kesadaran
spiritual yang tinggi.
Ustadz Jalal juga
dalam Kompas menerangkan bahwa Islam fiqhiy dan Islam siyasiy dapat
mengantarkan kaum muslim pada agama madani kalau kesadaran beragamanya beralih Islam
Madani yang tengah dibumikannya.
Memang, istilah
Islam madani atau masayarakat madani sudah pernah diwacanakan sebelumnya oleh Nurcholish
Madjid dan aktivis Paramadina serta penganut paham pluralisme di Indonesia.
Secara istilah dan konsep memang bukan hal baru. Karena itu, Ustadz Jalal
dengan gagasan Islam madani justru ‘menambal’ dan ‘melengkapi’ kekurangan dari
pemikiran yang digagas mereka, khususnya dalam konteks ukhuwah Islamiyah.
Beragam gagasan Kang Jalal itu (menurut saya) tampaknya dapat disebut Mazhab
Jalali. Tentu makna mazhab bukan berarti membuat aliran baru dari fikih maupun
akidah. Namun ini semacam arus pemikiran Islam yang membumi di Indonesia.
Bagaimana menurut Anda? Silakan berpendapat! *** (ahmad sahidin)