Jumat, 06 Januari 2023

Tarikh Nabi: Hijrah ke Madinah

Akibat tekanan dan perlakuan kasar terhadap umat Islam, Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk hijrah ke Madinah. Secara historis masyarakat Madinah masih ada hubungan kekerabatan dengan Nabi, khususnya dari Abdul Muthalib yang dahulu dikenal Syaibah dan orangtua Nabi pun dikuburkan di kawasan Madinah (Yatsrib).

Masyarakat Madinah secara pengetahuan keagamaan sudah memiliki pencerahan berkenaan dengan adanya Nabi akhir zaman yang sering dikabarkan orang-orang Yahudi. Kelompok Yahudi pula yang menguasai secara ekonomi di Madinah meski secara politik dipegang masyarakat Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj. Meski secara agama menyembah berhala dan sebagaian ada yang beragama Kristen, kedua kabilah masyarakat Madinah ini sering melakukan peperangan sehingga kondisi masyarakat Madinah mudah dimasuki pihak-pihak luar. Terbukti di Madinah yang berperan di tengah masyarakat adalah kaum Yahudi. Secara teologis agama Yahudi yang dipeluk kaum Yahudi Madinah memiliki kesamaan dengan Islam yang sama-sama ajaran (agama) samawi yang bersumber dari Nabi Ibrahim as.

Situasi masyarakat Madinah yang plural ini oleh Nabi dipersiapkan secara matang dengan mendakwahi masyarakat Madinah yang melakukan ziarah tahunan ke Ka’bah setiap musim haji. Tahun sebelas dan dua belas kenabian, Rasulullah Saw pada musim haji menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat Madinah yang datang ke Makkah. Di Aqabatul Jamarah, Nabi memulai dakwah perdana kepada orang-orang Madinah. Sang Nabi bertemu dengan enam orang dari Kabilah Khazraj. Nabi menyampaikan ajaran Islam. Mereka tidak menolak yang disampaikan Nabi. Mereka menyampaikan masalah pertikaian dengan Kabilah Aus. Pertikaian dua suku asli Madinah diciptakan kaum Yahudi. Dengan terus bertikai, keduanya tidak memiliki kekuatan ketika berhadapan dengan Yahudi. Dalam urusan pertanian dan kekayaan, Madinah dikuasai kaum Yahudi. Masalah ini disampaikan kepada Nabi. Mereka diberi nasihat pentingnya persatuan dan mereka pun segera masuk agama Islam. Enam orang pertama dari Madinah yang memeluk Islam adalah Sa’ad bin Zararah, Auf bin Harits bin Rifa’ah, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin Amir, Uqbah bin Amir bin Nabiy, dan Jabir bin Abdullah bin Rabah.[1] Enam orang Islam inilah yang menjadi perintis Islamisasi di Madinah dan menyiapkan ruang untuk kehadiran umat Islam dari Makkah.

Di Madinah, enam orang Islam ini menyebarkan bahwa di Makkah ada seorang Nabi terakhir yang sering disebutkan kaum Yahudi. Mereka menyampaikan pengalaman bertemu Nabi yang terkesan dengan akhlak dan pembicaraan agamanya. Kesan empiris ini melekat dan membuat mereka terikat ingin kembali bertemu dengan Sang Nabi.

Pada musim ziarah berikutnya (tahun dua belas kenabian), dua belas orang dari Madinah bertemu dengan Nabi dan berbaiat masuk Islam serta mengikat perjanjian dengan Nabi. Isi perjanjiannya adalah tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, dan akan berbuat baik. Nabi menjajikan surga bagi mereka kalau mematuhi perjanjian tersebut. Perjanjian inilah dalam sejarah disebut perjanjian Aqabah Pertama. Mereka kemudian kembali ke Madinah dan menyebarkan ajaran Islam yang didapatkannya dari Nabi selama musim ziarah. Dari Madinah mereka mengirim surat yang isinya meminta Nabi untuk mengirimkan utusan (mubaligh) ke Madinah untuk mengajarkan Islam. Mus’ab bin Umair dipilih oleh Nabi untuk bertugas di Madinah. Tampaknya selain mengajarkan Islam, Nabi pun memberikan tugas yang berkaitan dengan penyiapan sarana dan lokasi penampungan yang kelak digunakan untuk kaum Muslim yang hijrah dari Makkah.

Sejarawan Jafar Subhani menerangkan bahwa dengan bimbingan Mus’ab bin Umair dan kaum Muslim Madinah sebelumnya maka pada musim haji berikutnya terdapat tujuh puluh tiga orang Islam[2]datang ke Makkah bersama lima ratus orang yang akan menyembah berhala-berhala di Ka’bah.[3] Kaum Muslim Madinah tersebut melakukan Perjanjian Aqabah Kedua pada tengah malam 13 Zulhijjah di Lembah Aqabah, dekat Mina, ketika orang-orang sedang tidur. Sang Nabi ditemani Abbas bin Abdul Muthalib membuat perjanjian dengan mereka. Nabi meminta mereka memilih dua belas wakil dari Aus maupun Khazraj untuk menjadi pemimpin sekaligus bertanggungjawab dalam urusan Islamisasi di daerah-daerah Madinah. Terpilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus.

Meski ditutupi, kaum musyrik dan kafir Quraisy mengetahui adanya perjanjian Sang Nabi dengan orang-orang Islam Madinah. Orang-orang kafir Makkah kemudian mengejar orang-orang Madinah. Dari rombongan ziarah Madinah yang masih tertinggal di Makkah adalah Sa’ad bin Ubadah. Ia ditangkap dan disiksa, tetapi ditolong oleh Mu’tam bin Adi, salah seorang pemimpin kabilah di Makkah yang pernah ditolong Sa’ad saat perjalanan ke Syam untuk berdagang.[4]

Sejak adanya ikatan perjanjian antara Nabi dan kaum Muslim Madinah ini para musuh Islam semakin keras bertindak terhadap umat Islam. Kaum Muslim yang tidak tahan dengan kekerasan dari musuh Islam diperintahkan hijrah ke Madinah oleh Rasulullah saw. Rombongan kaum Muslim kemudian berhijrah. Yang tertinggal di Makkah hanya Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib, dan sebagian kecil sahabat Nabi.

Musuh Islam pun tidak tinggal diam. Mereka berkumpul di Darun Nadwah (sebuah balai untuk musyawarah) kemudian memutuskan bahwa Sang Nabi harus dibunuh oleh para pemuda yang mewakili dari masing-masing suku yang menentang Sang Nabi. Ditetapkanlah rencana jahat itu akan dilakukan pada malam awal Rabiul Awwal yang dilakukan secara bersama.

Rencana jahat tersebut diketahui oleh Nabi dari Allah melalui malaikat Jibril. Kemudian persiapan untuk meninggalkan Makkah pun diatur. Malam awal Rabiul Awwal tahun tiga belas kenabian, Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah. Sebelum berangkat, Nabi menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk tidur diranjangnya. Sosok pemuda Ali bin Abi Thalib pada malam hijrah menjadi  “tumbal” pengganti sasaran pembunuhan yang akan dilakukan oleh empat puluh pemuda yang sudah dipilih mewakili kabilah Makkah.[5]

Rasulullah saw berpesan kepada Ali, “Tidurlah di ranjang saya malam ini dan tutupi tubuh Anda dengan selimut hijau yang biasa saya gunakan karena musuh telah bersekongkol untuk membunuh saya. Saya harus hijrah ke Yatsrib (Madinah).”[6]

Ali bin Abi Thalib menempati ranjang Nabi. Malam itu Sang Nabi bersiap-siap untuk pergi ketika malam mulai gelap gulita. Nabi melihat—dari lubang angin atau jendela rumahnya—para musuh sudah berada menempati posisinya masing-masing. Pada tiga perempat malam Nabi keluar dari pintu sambil membaca doa[7]sehingga musuh tidak dapat melihatnya. Allah menutup pandangan mereka agar Nabi Muhammad saw keluar dengan selamat karena tidak terlihat oleh mereka yang berada di luar rumah Rasulullah saw.

Ketika menjelang fajar, para musuh masuk ke rumah Nabi. Empat puluh pedang tajam siap menghujam seseorang yang tidur dengan ditutupi selimut hijau. Teriakan para musuh membuat sosok yang tertidur itu bangun sembari berkata, “Apa yang terjadi?”

Kagetlah mereka ternyata sasarannya sudah tidak ada. Salah seorang dari mereka bertanya dengan nada marah, “Kami mencari Muhammad. Di mana dia?”

“Apakah Anda menitipkannya kepada saya sehingga saya harus menyerahkannya kembali kepada Anda? Bagaimana pun, sekarang ia tak ada di rumah,” jawab Ali.[8]

Para musuh pun kecewa.  Mereka mencoba memaksa Ali memberikan informasi perginya Rasulullah saw dengan perlakukan keras dan tindakan fisik. Ali sendiri tidak melawan karena sengaja untuk menunda waktu pencarian para musuh Islam. Mereka pergi berunding dengan tokoh-tokoh Quraisy yang membenci Islam dan disepakati untuk menyebarkan sayembara bahwa orang yang berhasil membunuh atau membawa Nabi akan dihadiahi seratus ekor unta. Nabi yang lolos dari makar para musuh itu bertemu dengan Abu Bakar. Rasulullah saw ditemani Abu Bakar tinggal di Gua Tsur,[9]daerah selatan Makkah, selama tiga hari. Banyak keajaiban yang terjadi selama Nabi dalam persembunyiannya sehingga musuh tidak menemukannya.

Sehari setelah peristiwa malam hijrah, Ali bin Abu Thalib menemui Rasulullah saw di Gua Tsur. Nabi berpesan kepada Ali untuk mengembalikan amanah dan harta yang dititipkan orang-orang Makkah[10]dan meminta untuk mendampingi tiga Fathimah (Fathimah Az-Zahra, Fathimah binti Asad—ibunda Ali bin Abi Thalib, dan Fathimah binti Zubair)[11] dan keluarga Bani Hasyim yang hendak hijrah ke Madinah.

Pada hari keempat Nabi keluar dari Gua Tsur dan bergerak menuju Madinah. Di tengah perjalanan, Nabi dikejar oleh Saraqah bin Malik bin Ja’syam Madlaji yang ingin membunuhnya. Saat jarak sudah dekat, Saraqah tidak dapat menggerakan kudanya dan pedangnya terjatuh karena tangannya bergetar ketika berhadapan dengan Sang Nabi. Dengan penuh kemurahan Sang Nabi membebaskan Saraqah dan diperintahkannya untuk balik ke Makkah. *** (ahmad sahidin)



[1] H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, Membangun Peradaban Sejarah Muhammad saw (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000) h.399.

[2] H.M.H.Al-Hamid Al-Husaini, Membangun Peradaban Sejarah Muhammad saw (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000)  menyebutkan tujuh puluh orang (h.403).  Sedangkan Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera Antarnusa, 2009)  menyebutkan tujuh puluh lima orang (h.173).

[3] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta: Lentera, 2006)  h.261-262.

[4] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta: Lentera, 2006) h.266.

[5] Mengapa harus  Ali bin Abi Thalib yang dipilih Nabi? Bukankah ada para sahabat Nabi yang lebih kuat dan dekat? Jawaban ini akan terjawab kalau melihat riwayat-riwayat yang menunjukkan keutamaan dan kemuliaan kedudukan  Ali di mata Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis disebutkan: Nabi adalah kota ilmu. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Karena itu, orang-orang yang akan mengambil ilmu dari Rasulullah saw harus melalui Ali bin Abi Thalib. Juga dalam hadis disebutkan Rasulullah saw dan Ali bagaikan Nabi Musa as dan Nabi Harun as. Bagi yang tertarik untuk melakukan kajian terhadap hadis-hadis yang mengutamakan  Ali bin Abi Thalib atau Ahlulbait, dapat dibaca dalam  buku Dialog Sunnah Syiah karya Sayyid Syarafuddin Al-Musawwi Al-Amili dan Syaik Salim Al-Bisyri Al-Maliki yang diterbitkan Mizan, 2008.    

[6] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta: Lentera, 2006)  h.272.

[7] Jalaluddin Rakhmat, Menjawab Soal-soal Kontemporer (Bandung: Mizan, 1999) menerangkan bahwa doa yang dibaca Rasulullah saw adalah “Ya Allah, aku berlindung pada perlindungan-Mu yang kokoh, yang tidak tergoyahkan dan tidak terkalahkan dari kejahatan semua yang menyerangku pada waktu siang dan malam, dari apa saja dan siapa saja yang telah Engkau ciptakan di antara makhluk-Mu, yang bisu dan yang bicara.”

[8] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta: Lentera, 2006)  h.273.

[9] Joel L.Kraemer menerangkan pada abad pertengahan kaum Sunni melaksanakan Yaum Al-Ghar (Hari Gua) guna memperingati hari Abu Bakar dan Nabi Muhammad saw bersembunyi dalam Gua TSur saat hijrah ke Madinah. Lihat Joel L.Kraemer, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan (Bandung: Mizan, 2003)  h.76-77.

[10] Sejak sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah pun Muhammad bin Abdullah sudah dikenal dengan gelar Al-Amin, orang tepercaya. Tidak sedikit orang-orang Arab yang akan bepergian menitipkan barang atau hartanya kepada Muhammad bin Abdullah. Bahkan, saat Muhammad menjadi Nabi pun orang-orang Makkah menitipkan barang berharga kepadanya. Mereka percaya dan tidak khawatir akan dikhianati. Karena itu, barang yang dititipkan kepada Rasulullah diserahkan kepada orang kepercayaannya: Ali bin Abi Thalib. Barang tersebut oleh Ali dikembalikan kepada pemiliknya sesuai dengan amanah dari Nabi Muhammad saw. 

[11] Miftah Fauzi Rakhmat (seorang alumni Qum, Iran; dan penulis buku Profetik Wisdom diterbitkan Mizan) dalam kajian Islam (selasa malam rabu, 15 Januari 2013) menyebut Fathimah binti Hamzah bukan Fathimah binti Zubair.