Akibat tekanan dan perlakuan kasar terhadap umat Islam, Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk hijrah ke Madinah. Secara historis masyarakat Madinah masih ada hubungan kekerabatan dengan Nabi, khususnya dari Abdul Muthalib yang dahulu dikenal Syaibah dan orangtua Nabi pun dikuburkan di kawasan Madinah (Yatsrib).
Masyarakat Madinah secara
pengetahuan keagamaan sudah memiliki pencerahan berkenaan dengan adanya Nabi akhir zaman yang sering dikabarkan orang-orang Yahudi. Kelompok Yahudi pula yang menguasai
secara ekonomi di Madinah meski secara politik dipegang masyarakat Kabilah Aus
dan Kabilah Khazraj. Meski secara agama menyembah berhala dan sebagaian ada
yang beragama Kristen, kedua kabilah masyarakat Madinah ini sering melakukan
peperangan sehingga kondisi masyarakat Madinah mudah dimasuki pihak-pihak luar.
Terbukti di Madinah yang berperan di tengah masyarakat adalah kaum Yahudi.
Secara teologis agama Yahudi yang dipeluk kaum Yahudi Madinah memiliki kesamaan
dengan Islam yang sama-sama ajaran (agama) samawi yang bersumber dari Nabi
Ibrahim as.
Situasi
masyarakat Madinah yang plural ini oleh Nabi dipersiapkan secara matang dengan mendakwahi masyarakat Madinah yang melakukan ziarah tahunan
ke Ka’bah setiap musim haji. Tahun sebelas dan dua belas
kenabian, Rasulullah Saw pada musim haji menyampaikan ajaran Islam
kepada masyarakat Madinah yang datang ke Makkah. Di Aqabatul Jamarah, Nabi memulai dakwah perdana kepada orang-orang Madinah. Sang Nabi bertemu dengan
enam orang dari Kabilah Khazraj. Nabi menyampaikan ajaran Islam. Mereka tidak menolak yang disampaikan Nabi. Mereka menyampaikan masalah pertikaian
dengan Kabilah Aus. Pertikaian
dua suku asli Madinah diciptakan kaum Yahudi. Dengan terus bertikai, keduanya tidak
memiliki kekuatan ketika berhadapan dengan Yahudi. Dalam urusan pertanian dan
kekayaan, Madinah dikuasai kaum
Yahudi. Masalah ini disampaikan kepada Nabi. Mereka diberi nasihat pentingnya persatuan dan mereka pun segera
masuk agama Islam. Enam orang pertama dari Madinah yang memeluk Islam adalah
Sa’ad bin Zararah, Auf bin Harits bin Rifa’ah, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin
Amir, Uqbah bin Amir bin Nabiy, dan Jabir bin Abdullah bin Rabah.[1]
Enam orang Islam inilah yang
menjadi perintis Islamisasi di Madinah dan menyiapkan ruang untuk kehadiran umat Islam dari Makkah.
Di Madinah, enam orang
Islam ini menyebarkan bahwa di Makkah ada seorang Nabi terakhir yang sering
disebutkan kaum Yahudi.
Mereka menyampaikan pengalaman bertemu Nabi yang terkesan dengan akhlak dan
pembicaraan agamanya. Kesan
empiris ini melekat dan membuat mereka terikat ingin kembali bertemu dengan Sang Nabi.
Pada musim ziarah berikutnya (tahun dua belas
kenabian), dua belas orang dari Madinah bertemu dengan Nabi dan berbaiat masuk
Islam serta mengikat perjanjian dengan Nabi. Isi perjanjiannya adalah tidak
menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, dan
akan berbuat baik. Nabi menjajikan surga bagi mereka kalau mematuhi perjanjian
tersebut. Perjanjian inilah dalam sejarah disebut perjanjian Aqabah Pertama.
Mereka kemudian kembali ke Madinah dan menyebarkan ajaran Islam yang
didapatkannya dari Nabi selama musim ziarah. Dari Madinah mereka mengirim surat
yang isinya meminta Nabi untuk mengirimkan utusan (mubaligh) ke Madinah untuk mengajarkan Islam. Mus’ab bin Umair
dipilih oleh Nabi untuk bertugas di Madinah. Tampaknya selain mengajarkan
Islam, Nabi pun memberikan tugas yang berkaitan dengan penyiapan sarana dan
lokasi penampungan yang kelak digunakan untuk kaum Muslim yang hijrah dari Makkah.
Sejarawan Jafar Subhani menerangkan bahwa dengan
bimbingan Mus’ab bin Umair dan kaum Muslim Madinah sebelumnya maka pada musim haji
berikutnya terdapat tujuh puluh tiga orang Islam[2]datang
ke Makkah bersama lima ratus orang yang akan menyembah berhala-berhala di
Ka’bah.[3]
Kaum Muslim Madinah tersebut melakukan Perjanjian Aqabah Kedua pada tengah
malam 13 Zulhijjah di Lembah Aqabah, dekat Mina, ketika orang-orang sedang
tidur. Sang Nabi ditemani
Abbas bin Abdul Muthalib membuat perjanjian dengan
mereka. Nabi meminta mereka memilih dua belas wakil dari Aus maupun Khazraj
untuk menjadi pemimpin sekaligus bertanggungjawab dalam urusan Islamisasi di
daerah-daerah Madinah. Terpilih sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari
Aus.
Meski ditutupi, kaum musyrik dan kafir Quraisy
mengetahui adanya perjanjian Sang
Nabi dengan orang-orang Islam Madinah. Orang-orang kafir Makkah kemudian
mengejar orang-orang
Madinah. Dari rombongan ziarah Madinah yang masih tertinggal di Makkah adalah
Sa’ad bin Ubadah. Ia ditangkap dan disiksa, tetapi ditolong oleh Mu’tam bin
Adi, salah seorang pemimpin kabilah di Makkah yang pernah ditolong Sa’ad saat
perjalanan ke Syam untuk berdagang.[4]
Sejak adanya ikatan perjanjian antara Nabi dan
kaum Muslim Madinah ini para musuh Islam semakin keras bertindak terhadap umat
Islam. Kaum Muslim yang tidak tahan dengan kekerasan dari musuh Islam
diperintahkan hijrah ke Madinah oleh Rasulullah saw. Rombongan kaum Muslim
kemudian berhijrah. Yang tertinggal di Makkah hanya Rasulullah saw, Ali bin Abi
Thalib, dan sebagian kecil sahabat Nabi.
Musuh Islam pun tidak tinggal diam. Mereka
berkumpul di Darun Nadwah (sebuah balai untuk musyawarah) kemudian memutuskan bahwa
Sang Nabi harus dibunuh oleh para pemuda yang mewakili dari masing-masing suku
yang menentang Sang Nabi. Ditetapkanlah rencana jahat itu akan dilakukan pada malam awal Rabiul Awwal yang dilakukan
secara bersama.
Rencana jahat tersebut diketahui oleh Nabi dari Allah melalui malaikat Jibril.
Kemudian persiapan untuk meninggalkan Makkah pun diatur. Malam awal Rabiul
Awwal tahun tiga belas kenabian, Nabi
Muhammad saw hijrah ke
Madinah. Sebelum berangkat, Nabi menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk tidur
diranjangnya. Sosok pemuda Ali bin Abi Thalib pada malam hijrah menjadi “tumbal” pengganti sasaran pembunuhan yang
akan dilakukan oleh empat puluh pemuda yang sudah dipilih mewakili kabilah
Makkah.[5]
Rasulullah saw berpesan kepada Ali, “Tidurlah di
ranjang saya malam ini dan tutupi tubuh Anda dengan selimut hijau yang biasa
saya gunakan karena musuh telah bersekongkol untuk membunuh saya. Saya harus
hijrah ke Yatsrib (Madinah).”[6]
Ali bin Abi Thalib menempati ranjang Nabi. Malam
itu Sang Nabi
bersiap-siap untuk pergi ketika malam mulai gelap gulita. Nabi melihat—dari
lubang angin atau jendela rumahnya—para musuh sudah berada menempati posisinya
masing-masing. Pada tiga perempat malam Nabi keluar dari pintu sambil membaca doa[7]sehingga
musuh tidak dapat melihatnya.
Allah menutup pandangan
mereka agar Nabi Muhammad saw
keluar dengan selamat karena tidak terlihat oleh mereka yang berada di luar rumah
Rasulullah saw.
Ketika menjelang fajar, para musuh masuk ke rumah
Nabi. Empat puluh pedang
tajam siap menghujam seseorang yang tidur dengan ditutupi selimut hijau. Teriakan para musuh membuat sosok yang tertidur itu bangun sembari berkata, “Apa yang terjadi?”
Kagetlah mereka ternyata sasarannya sudah tidak ada. Salah seorang
dari mereka bertanya dengan nada marah, “Kami mencari Muhammad. Di mana dia?”
“Apakah Anda menitipkannya kepada saya sehingga
saya harus menyerahkannya kembali kepada Anda? Bagaimana pun, sekarang ia tak
ada di rumah,” jawab Ali.[8]
Para musuh pun kecewa. Mereka mencoba memaksa Ali memberikan
informasi perginya Rasulullah saw dengan perlakukan keras dan tindakan fisik.
Ali sendiri tidak melawan karena sengaja untuk menunda waktu pencarian para
musuh Islam. Mereka pergi berunding dengan tokoh-tokoh Quraisy yang membenci Islam dan disepakati untuk menyebarkan sayembara
bahwa orang yang berhasil membunuh atau membawa Nabi akan dihadiahi seratus
ekor unta. Nabi yang lolos dari makar para musuh itu bertemu dengan Abu Bakar.
Rasulullah saw ditemani Abu Bakar tinggal di Gua Tsur,[9]daerah
selatan Makkah, selama tiga hari. Banyak keajaiban yang terjadi selama Nabi
dalam persembunyiannya sehingga musuh tidak menemukannya.
Sehari setelah peristiwa malam hijrah, Ali bin Abu Thalib menemui Rasulullah saw di Gua Tsur. Nabi
berpesan kepada Ali untuk mengembalikan amanah dan harta yang dititipkan
orang-orang Makkah[10]dan
meminta untuk mendampingi tiga Fathimah (Fathimah Az-Zahra, Fathimah binti Asad—ibunda
Ali bin Abi Thalib, dan Fathimah binti Zubair)[11]
dan keluarga Bani Hasyim yang hendak hijrah ke Madinah.
Pada hari keempat Nabi keluar dari Gua Tsur dan bergerak menuju Madinah. Di tengah perjalanan,
Nabi dikejar oleh Saraqah bin Malik bin Ja’syam Madlaji yang ingin membunuhnya.
Saat jarak sudah dekat, Saraqah
tidak dapat menggerakan kudanya dan pedangnya terjatuh karena tangannya
bergetar ketika berhadapan dengan Sang Nabi. Dengan penuh kemurahan Sang Nabi
membebaskan Saraqah dan diperintahkannya untuk balik ke Makkah. *** (ahmad sahidin)
[1] H.M.H.Al-Hamid
Al-Husaini, Membangun Peradaban Sejarah Muhammad saw (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2000) h.399.
[2] H.M.H.Al-Hamid
Al-Husaini, Membangun Peradaban Sejarah Muhammad saw (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2000) menyebutkan tujuh puluh
orang (h.403). Sedangkan Muhammad Husain
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta:
Litera Antarnusa, 2009) menyebutkan
tujuh puluh lima orang (h.173).
[3] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah
(Jakarta: Lentera, 2006) h.261-262.
[4] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah
(Jakarta: Lentera, 2006) h.266.
[5] Mengapa
harus Ali bin Abi Thalib yang dipilih
Nabi? Bukankah ada para sahabat Nabi yang lebih kuat dan dekat? Jawaban ini
akan terjawab kalau melihat riwayat-riwayat yang menunjukkan keutamaan dan
kemuliaan kedudukan Ali di mata
Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis disebutkan: Nabi adalah kota ilmu. Sedangkan
Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Karena itu, orang-orang yang akan mengambil
ilmu dari Rasulullah saw harus melalui Ali bin Abi Thalib. Juga dalam hadis
disebutkan Rasulullah saw dan Ali bagaikan Nabi Musa as dan Nabi Harun as. Bagi
yang tertarik untuk melakukan kajian terhadap hadis-hadis yang
mengutamakan Ali bin Abi Thalib atau
Ahlulbait, dapat dibaca dalam buku Dialog Sunnah Syiah karya Sayyid
Syarafuddin Al-Musawwi Al-Amili dan Syaik Salim Al-Bisyri Al-Maliki yang
diterbitkan Mizan, 2008.
[6] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta:
Lentera, 2006) h.272.
[7] Jalaluddin
Rakhmat, Menjawab Soal-soal Kontemporer (Bandung: Mizan, 1999)
menerangkan bahwa doa yang dibaca Rasulullah saw adalah “Ya Allah, aku
berlindung pada perlindungan-Mu yang kokoh, yang tidak tergoyahkan dan tidak
terkalahkan dari kejahatan semua yang menyerangku pada waktu siang dan malam,
dari apa saja dan siapa saja yang telah Engkau ciptakan di antara makhluk-Mu,
yang bisu dan yang bicara.”
[8] Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah
(Jakarta: Lentera, 2006) h.273.
[9] Joel L.Kraemer menerangkan pada abad pertengahan kaum
Sunni melaksanakan Yaum Al-Ghar (Hari Gua) guna memperingati hari Abu
Bakar dan Nabi Muhammad saw bersembunyi dalam Gua TSur saat hijrah ke Madinah.
Lihat Joel
L.Kraemer, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad
Pertengahan (Bandung: Mizan, 2003)
h.76-77.
[10] Sejak sebelum
diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah pun Muhammad bin Abdullah sudah dikenal
dengan gelar Al-Amin, orang tepercaya.
Tidak sedikit orang-orang Arab yang akan bepergian menitipkan barang atau
hartanya kepada Muhammad bin Abdullah. Bahkan, saat Muhammad menjadi Nabi pun
orang-orang Makkah menitipkan barang berharga kepadanya. Mereka percaya dan
tidak khawatir akan dikhianati. Karena itu, barang yang dititipkan kepada
Rasulullah diserahkan kepada orang kepercayaannya: Ali bin Abi Thalib. Barang
tersebut oleh Ali dikembalikan kepada pemiliknya sesuai dengan amanah dari Nabi
Muhammad saw.
[11] Miftah Fauzi
Rakhmat (seorang alumni Qum, Iran; dan penulis buku Profetik Wisdom diterbitkan Mizan) dalam kajian Islam (selasa malam
rabu, 15 Januari 2013) menyebut Fathimah binti Hamzah bukan Fathimah binti
Zubair.