Senin, 01 Agustus 2022

Kisah Tragis di Karbala

Namanya Al-Husain. Beliau adalah cucu kedua Rasulullah saw yang lahir di Madinah, 5 Sya`ban 4 H. dari pasangan Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra. Imam Husain bin Ali menikah dengan putri Khosru Yazdajird III, raja terakhir dari kerajaan Sasanid di Persia (Iran). Dari pernikahannya, Imam Husain bin Ali dianugerahi delapan anak, empat putra dan empat putri. 

Saat Dinasti Umayyah berkuasa, Imam Husain tidak mau memberikan bai`at kepada Yazid bin Muawiyah. Penolakannya itu kemudian diketahui penduduk Kufah dan mereka meminta kesediaannya untuk menjadi pemimpin dengan mengundangnya datang. Imam Husain pun menyanggupinya. Namun, salah seorang saudaranya melarang kepergiannya karena di Kufah masih banyak orang-orang Yazid bin Muawiyah. 

“Ya Husain, sebaiknya engkau terlebih dahulu meminta mereka menyingkirkan para pejabat Yazid dari sana. Jika mereka melaksanakannya engkau akan aman di sana,” sarannya. 

“Tidak! Aku akan berangkat sebab aku datang untuk menimbulkan perbaikan dalam tubuh umat kakekku, Muhammad saw. Aku ingin mengikuti perjalanan hidup ayahku, Ali bin Abi Thalib. Aku ingin melakukan amar ma`ruf nahi munkar. Jika orang menerimaku dengan penerimaan kebenaran maka Allah lebih utama untuk dipatuhi kebenaran-Nya. Barang siapa yang menolakku, aku akan bersabar sampai Allah memutuskan kebenaran antara aku dan mereka. Karena Dialah sebaik-baiknya hakim,” tegasnya. 

Lalu, Imam Husain bersama keluarga dan rombongannya menempuh jarak sekitar 600 km menuju Mekkah. Setibanya di sana, cucu Rasulullah saw itu mengumumkan perihal keberangkatannya ke Kufah. Kemudian berangkat menuju Kufah dan beristirahat di Karbala, Irak. Imam Husain bin Ali mengetahui bahwa pasukan musuh sudah siap menghadang perjalanannya. 

Pada malam 10 Muharam 61 H., Imam Husain mengutus rombongan kecil untuk mengambil air. Setelah semua meminumnya, ia memberitahukan bahwa air itu merupakan persediaan terakhir yang dapat mereka peroleh karena esok akan berhadapan dengan musuh. Malam itu, Husain memberi pilihan kepada pengikutnya antara tetap bersamanya atau pulang kembali ke kampungnya masing-masing. Rombongan itu menyatakan tetap ikut bersama Ahlulbait Rasulullah saw. 

Pada hari ke-10 Muharram, rombongan Husain bin Ali yang semuanya berjumlah 72 orang dihadang pasukan sekitar 30.000 orang. Peperangan yang tidak seimbang pun terjadi. Satu persatu sahabat dan keluarga Imam Husain bin Ali gugur. Bahkan, Ali Ar-Radhi, bayi yang dalam gendongan pun disambar anak panah. Husain bin Ali berlari ke medan laga dan tidak sedikit musuh yang jatuh ditangannya. Namun, tiba-tiba saja sebatang anak panah menancap didahinya. Disusul beberapa anak panah mengenai tubuhnya. Perlahan-lahan wajah dan janggutnya bermandikan darah. 

Imam Husain bin Ali tersenyum melihat darahnya mengalir. Imam Husain dengan darah yang mengucur berdiri tegak siap bertarung. Kemudian, beberapa anak panah melesat menancap pada dada Imam Husain bin Ali. Tiba-tiba, blugh, rubuh tak berdaya. 

Pasukan Yazid pun cepat-cepat menggerubutinya. Ada yang menusuk-nusukkan tombak. Ada yang menginjak-injakkan kuda pada punggungnya. Bahkan, ada yang memenggal kepalanya hingga putus. Gugurlah cucu tersayang Nabi Muhammad saw yang selalu ditimang-timang itu. Inilah peristiwa tragis yang dilakukan kepada cucu Rasulullah SAW. Seperti inikah perilaku umat terhadap keluarga Rasulullah Saw yang seharusnya dimuliakan, malah dibantai. *** (ahmad sahidin)