Dalam sejarah dikenal dengan dua tahapan dakwah Rasulullah Saw: diam-diam dan terang-terangan. Selama tiga tahun sejak bi’tsah, Rasulullah Saw berdakwah di lingkungan keluarga. Khadijah disebut wanita pertama yang masuk Islam dan mengimani kenabian suaminya. Ini disampaikan oleh Rasulullah Saw sendiri saat berdialog dengan Aisyah binti Abu Bakar yang cemburu karena Nabi sering menyebut-menyebut Khadijah. Rasulullah Saw mengatakan, “Saya tidak mendapatkan yang lebih baik daripadanya. Khadijah percaya akan kerasulanku ketika semua orang tenggelam dalam kekafiran dan kemusyrikan. Ia menyerahkan hartanya kepadaku pada saat-saat penuh ujian. Melalui dia, Allah memberikan keturunan kepadaku yang tidak kudapatkan dari orang lain (istri lainnya).” Sedangkan dari kalangan lelaki, Ali bin Abu Thalib, adalah lelaki pertama dari keluarga Rasulullah Saw yang memeluk agama Islam. Setelah itu, Zaid bin Haritsah yang merupakan budak dan sahabat Abu Bakar masuk agama Islam.
Masa dakwah awal ini Rasulullah Saw tidak mendapatkan halangan dan rintangan yang berat dari orang-orang Makkah. Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahal (Amr bin Hisyam), Shafwan bin Umayyah, dan lainnya mendengar kabar ada orang yang mengaku Nabi di Makkah. Mereka belum mengecam, apalagi memeranginya karena pada
masa itu Nabi tidak mengajak kaum Quraisy dan tidak mengecam orang-orang yang menyembah berhala. Kaum
Quraisy pada masa itu masih menghormati Sayyid Muhammad sebagai orang terhormat karena
keturunan Bani Hasyim.
Setelah Nabi menerima wahyu yang memerintahkan dakwah dengan terbuka dan mengajak kerabat terdekat (keluarga) serta mengajak masyarakat Makkah untuk berpindah agama, maka perlawanan muncul dari masyarakat Makkah yang dipelopori Abu Jahal, Abu Sufyan, Abu Lahab, Shafwan bin Umayyah, dan lainnya. Dalam rangka melaksanakan perintah Allah, Rasulullah saw meminta ‘Ali (berusia 15 tahun) untuk menyediakan makanan dan susu. Kemudian mengundang 45 orang tokoh-tokoh Bani Hasyim untuk datang dan menikmati jamuan. Ketika Nabi Muhammad Saw akan menyampaikan seruan mengajak mereka agar masuk Islam, seorang di antara yang hadir membuat keributan sehingga jamuan bubar. Rasulullah Saw kembali mengundang mereka dengan tetap menyediakan jamuan makan dan minum. Sembari mereka menikmati jamuan, Rasulullah Saw berdiri menyampaikan:
“Sesungguhnya, pemandu
suatu kaum tidak pernah berdusta kepada kaumnya. Saya bersumpah, demi Allah
yang tidak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai Rasul-Nya,
khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni dunia. Wahai
kerabat saya, Anda sekalian akan mati. Sesudah itu, seperti Anda tidur, Anda
akan dihidupkan kembali dan menerima pahala menurut amal Anda. Imbalannya
adalah surga Allah yang abadi (bagi orang yang lurus) dan neraka-Nya yang kekal
(bagi mereka yang jahat). Tidak ada manusia yang
membawa kebaikan untuk kaumnya ketimbang apa yang saya bawakan untuk Anda. Saya
membawakan pada Anda rahmat dunia dan akhirat. Tuhan saya memerintahkan kepada
saya untuk mengajak Anda kepada-Nya. Siapakah di antara Anda sekalian yang akan
menjadi pendukung saya sehingga ia akan menjadi saudara, washi (penerima wasiat),
dan khalifah (pemimpin) pengganti saya?”
Kerabat Rasulullah saw
yang hadir dalam jamuan terdiam. Di tengah kebisuan tiba-tiba Ali bin Abu Thalib berdiri dan berbicara dengan mantap, “Wahai Nabi Allah, saya siap
mendukung Anda.” Rasulullah saw memeluknya dan memintanya untuk duduk. Nabi
mengulang kembali sampai tiga kali. Tidak ada yang menyambutnya. Kembali Ali
bin Abi Thalib berdiri dan menyatakan dukungannya. Sambil berdiri di samping
Ali, Rasulullah saw berkata, “Pemuda ini adalah saudaraku, washi, dan
khalifahku di antara kalian. Dengarlah kata-katanya dan ikuti dia.”[1]
Semua orang hanya
melihat dan terdiam. Seorang demi seorang berdiri dan sambil keluar dari
jamuan, orang-orang berpaling kepada Abu Thalib sembari berkata, “Muhammad
telah menyuruh Anda untuk mengikuti putra Anda dan menerima perintah darinya
serta mengakuinya sebagai pemimpin Anda.”
Sejak jamuan itu kaum Quraisy mulai
menentang dakwah Rasulullah Saw. Di Bukit Shafa saat Rasulullah Saw berseru, orang-orang musyrik segera melecehkan
ucapan Nabi dan menyuruh anak-anak untuk menyorakinya sebagai orang gila.
Rasulullah saw dicemooh. Jalanan tempatnya berpijak pun ditaburi duri-duri
tajam. Bahkan, ada orang yang khusus ditugaskan untuk meludahi Rasulullah saw
setiap kali melewati jalan menuju Ka’bah. Ketika Nabi berjalan melewati jalan
menuju Ka’bah maka ludah yang basah pasti mengenai wajah dan kepala Nabi. Meski
setiap hari diperlakukan demikian, Nabi tidak marah dan terus berjalan
melewatinya. Suatu hari Rasulullah saw merasa heran karena tidak ada yang
meludahinya. Rasulullah saw bertanya kepada orang-orang sekitar kemudian
diketahui orang tersebut sakit. Rasulullah saw pun menjenguknya. Dengan penuh rasa kaget, orang
tersebut meminta ampun kepada Rasulullah Saw karena takut dibalas kelakuan buruknya. Nabi
tidak memanfaatkan situasi itu untuk balas dendam, malah mengampuninya dan
berdoa untuk kesembuhannya. Perlakuan lainnya yang dialami Nabi adalah
dilempari kotoran unta dan bangkai binatang. Ketika Rasulullah saw bertawaf di
Ka’bah, orang-orang musyrik Quraisy melemparinya dengan kotoran dan bangkai
hingga Nabi terjatuh. Melihat perlakuan mereka, Nabi tersenyum dan meminta
putrinya, Sayyidah Fathimah untuk membersihkannya.
Kalau dirinci banyak
sekali perlakuan buruk dan tercela dari orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah
Saw. Sejarawan Ibnu
Atsir dalam Tarikh Al-Kamil menuliskannya dalam satu bab dan menyebutkan
nama-nama yang merintangi jalan dakwah Sang Nabi. Orang-orang Quraisy yang
tercatat paling sering memperlakukan Sang Nabi dengan buruk adalah Abu Lahab,
Aswad bin Abdul Yaghuts, Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf, Ibnu Khalaf,
Abu Hasan bin Hisyam, Ash bin Wail, Abu Sufyan, Uqbah bin Abi Muith, Marwan bin
Hakam, Hakam bin Ash, dan Umar bin Khaththab.
Hampir setiap hari Nabi
tidak lepas dari perlakukan buruk mereka. Mungkin saking gemasnya, penyampai
wahyu (malaikat Jibril) sempat menawarkan diri untuk menghancurkan Makkah.
Tawaran itu ditolak. Nabi malah mendoakan mereka agar terbuka hatinya. Sekali pun mereka
tetap belum beriman, Nabi berharap agama Islam dapat dipeluk keturunan mereka. Akhlak dan kesabaran dakwah ini
yang membuat Nabi dijuluki manusia sempurna.
Tindakan jahat mereka
kepada Nabi Muhammad Saw belum maksimal karena masih menghormati Abu Thalib, sang paman, yang
melindungi Nabi. Abu Thalib merupakan pimpinan Bani Hasyim dan Bani Abdul
Muthalib yang disegani sehingga mereka tidak berani untuk membunuh Rasulullah Saw.
Perlakuan yang tidak
berperikemanusiaan menimpa pengikut Nabi Muhammad saw. Bilal bin Rabah dijemur
dengan dada ditindih batu besar oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf. Kedua orang
tua Ammar bin Yasir (Sumayyah dan Yasir) disiksa sampai wafat oleh tuannya.
Ammar, Miqdad Al-Aswad, Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzar, Khabbab bin Irits, Said
bin Zaid, Mushab bin Umair, dan Abdullah bin Hudzafah. Sahabat-sahabat inilah
yang tidak lepas dari siksaan kaum Quraisy Makkah. Penulis sejarah menyebutkan
bentuk-bentuk kekejaman dan penindasan kaum musyrik Makkah terhadap pengikut
Nabi Muhammad saw.
Penindasan demi
penindasan terus menimpa umat Islam generasi awal. Nabi memerintahkan
orang-orang Islam untuk mencari perlindungan ke Etopia (Abisinia) yang dipimpin
Raja Negus (Najasyi) yang beragama Kristen dan terkenal adil. Pada 615 Masehi,
kaum Muslim yang berjumlah sepuluh orang (enam laki-laki dan empat perempuan)
berangkat dan menetap sementara di Etopia. Tidak beberapa lama menyusul
rombongan Islam yang dipimpin Jafar bin Abu Thalib. Para pengungsi (orang-orang
Islam) yang tinggal di Etopia berjumlah delapan puluh tiga orang.
Kabar berangkatnya umat
Islam ke Etopia segera diketahui kaum musyrik Makkah. Mereka mengirimkan Amr
bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah dengan membawa hadiah untuk meminta raja
Etopia agar mengembalikan orang-orang Islam. Dalam pertemuan dengan raja,
utusan musyrikin Makkah menyampaikan bahwa kaum Muslim termasuk orang-orang
yang menghina agama nenek moyang dan berbahaya karena ajaran-ajaran yang
dibawanya dapat memecahkan persaudaraan dan menghina ajaran Kristen. Raja tidak
percaya. Raja meminta agar
wakil orang-orang Islam dipanggil. Jafar bin Abu Thalib selaku pemimpin
rombongan Islam menghadap raja dan menyampaikan alasan berlindung di Etopia.
Dengan santun Jafar menyampaikan kejahatan orang-orang Makkah yang menindas
orang-orang Islam dan menerangkan ajaran Islam. Raja meminta Jafar bin Abi
Thalib membacakan salah satu wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Jafar melafalkan surah
Maryam ayat 29-33 dengan fasih. Mendengar penuturan Jafar, raja dengan mata
berkaca-kaca berkata, “Kata-kata ini dan yang dibawa Musa as keluar dari sumber
cahaya yang sama. Tuan-tuan (utusan Makkah) pergilah! Kami tidak akan
menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!”
H.M.H. Al-Hamid
Al-Husaini menerangkan bahwa raja Etopia mendapatkan surat seruan agar masuk agama Islam dari Rasulullah Saw. Setelah membaca dan
menimbang, Raja Negus memeluk agama Islam. Raja mengirimkan surat balasan berisi pernyataan masuk Islam dan
pengakuan kenabian Muhammad Saw. Raja Negus mengirimkan utusan berjumlah enam puluh orang terdiri dari
para rahib dan pendeta untuk mempelajari agama Islam. Pada tahun 9 Hijriah,
raja Etopia itu wafat dan Rasulullah Saw di Madinah menunaikan shalat ghaib.
Perlindungan penuh
untuk umat Islam di Etopia dan kabar tidak berhasilnya dua utusan musyrik Makkah untuk
mengembalikan pengungsi makin membuat benci para musuh Islam terhadap Nabi Muhammad Saw.
Memang sejak Nabi menyebarkan
prinsip teologi monoteisme Islam (tauhid) di Makkah, secara tidak langsung telah meruntuhkan
konstruksi keyakinan paganisme yang dianut para bangsawan dan penduduk Makkah.
Dengan mengesakan Tuhan dan menyingkirkan “tuhan-tuhan” yang tuli, bisu, diam,
dan “tuhan” yang tidak membawa manfaat bagi penyembahnya, membuat geram
musyrikin Makkah. Prinsip keesaan bagi mereka tidak dapat diterima karena
dengan banyaknya “tuhan” dan berhala yang dibuat dari kayu dan bahan material
lain maka secara ekonomis menambah penghasilan bagi orang Makkah yang memiliki
usaha membuat patung. Apabila diganti prinsip ketuhanannya mungkin mereka akan
gulung tikar.
Begitu juga prinsip
kesamaan kedudukan manusia atau keadilan (al-‘adl) membuat mereka tidak bisa
berkuasa dalam memperlakukan manusia yang berstatus budak dengan semena-mena.
Prinsip inilah yang membuat orang-orang yang berstatus rendah (budak) tertarik
memeluk Islam. Juga daya tarik risalah Ilahi (ayat-ayat al-Quran) yang dilantunkan Nabi
membuat musuh Islam marah. Para penyair tidak mampu menyaingi ayat-ayat
al-Quran yang dilantunkan Rasulullah saw di hadapan masyarakat Makah.
Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahal bin Hisyam, dan
Akhnas bin Syuraiq diceritakan selama tiga malam tanpa saling mengetahui
mendatangi rumah Nabi Muhammad saw hanya untuk mendengarkan ayat-ayat al-Quran.
Jauh dilubuk hatinya, mereka meyakini ajaran yang dibawa Rasulullah saw adalah
benar. Faktor dengki dan budaya kesukuan membuat mereka tidak mau mengakuinya.
Apalagi mereka yang menjadi pemimpin masyarakat di Makkah akan malu kalau
diketahui masuk Islam dan mencampakan agama leluhurnya.
Sejarawan Muhammad
Husain Haekal memuat dialog kedengkian mereka terhadap Nabi Muhammad saw. Suatu
hari Akhnas datang kepada Abu Jahal dan meminta pendapat tentang yang
didengarnya dari ayat-ayat yang dibacakan Nabi Muhammad Saw. Abu Jahal berkata,
“Kami sudah saling memperebutkan kehormatan dengan keluarga Bani Abdul Manaf
(nenek moyang Rasulullah saw—penulis). Mereka memberi makan, kami pun memberi
makan. Mereka memikul tanggung jawab, begitu pun kami. Mereka memberi, kami pun
memberi sehingga kami dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlombaan dan kami
sudah seperti kuda pacuan. Tiba-tiba kata mereka: pada kalangan kami ada
seorang nabi yang menerima wahyu dari langit. Kapan kami akan mengalami semacam
itu? Tidak! Kami sekali-kali tidak beriman kepadanya dan tidak akan
mempercayainya.” *** (ahmad sahidin)
[1] Peristiwa detailnya bisa dibaca pada desertasi Jalaluddin
Rakhmat yang berjudul: Asal Usul Sunnah
Sahabat: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri (UIN Alauddin Makassar,
2014). Bisa dibaca juga pada karya Fuad Hashem, Sirah
Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru (Bandung: Mizan, 1995), R.A.A Wiranata Koesoema, Riwajat Kangjeng Nabi Moehammad saw (Bandung: Islam Studie Club,
1941).