Selasa, 30 Agustus 2022

Tarikh Nabi: DAKWAH SANG NABI

Dalam sejarah dikenal dengan dua tahapan dakwah Rasulullah Saw: diam-diam dan terang-terangan. Selama tiga tahun sejak bi’tsah, Rasulullah Saw berdakwah di lingkungan keluarga. Khadijah disebut wanita pertama yang masuk Islam dan mengimani kenabian suaminya. Ini disampaikan oleh Rasulullah Saw sendiri saat berdialog dengan Aisyah binti Abu Bakar yang cemburu karena Nabi sering menyebut-menyebut Khadijah. Rasulullah Saw mengatakan, “Saya tidak mendapatkan yang lebih baik daripadanya. Khadijah percaya akan kerasulanku ketika semua orang tenggelam dalam kekafiran dan kemusyrikan. Ia menyerahkan hartanya kepadaku pada saat-saat penuh ujian. Melalui dia, Allah memberikan keturunan kepadaku yang tidak kudapatkan dari orang lain (istri lainnya).” Sedangkan dari kalangan lelaki, Ali bin Abu Thalib, adalah lelaki pertama dari keluarga Rasulullah Saw yang memeluk agama Islam. Setelah itu, Zaid bin Haritsah yang merupakan budak dan sahabat Abu Bakar masuk agama Islam.

Masa dakwah awal ini Rasulullah Saw tidak mendapatkan halangan dan rintangan yang berat dari orang-orang Makkah. Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahal (Amr bin Hisyam), Shafwan bin Umayyah, dan lainnya mendengar kabar ada orang yang mengaku Nabi di Makkah. Mereka belum mengecam, apalagi memeranginya karena pada masa itu Nabi tidak mengajak kaum Quraisy dan tidak mengecam orang-orang yang menyembah berhala. Kaum Quraisy pada masa itu masih menghormati Sayyid Muhammad sebagai orang terhormat karena keturunan Bani Hasyim. 

Setelah Nabi menerima wahyu yang memerintahkan dakwah dengan terbuka dan mengajak kerabat terdekat (keluarga) serta mengajak masyarakat Makkah untuk berpindah agama, maka perlawanan muncul dari masyarakat Makkah yang dipelopori Abu Jahal, Abu Sufyan, Abu Lahab, Shafwan bin Umayyah, dan lainnya. Dalam rangka melaksanakan perintah Allah, Rasulullah saw meminta Ali (berusia 15 tahun) untuk menyediakan makanan dan susu. Kemudian mengundang 45 orang tokoh-tokoh Bani Hasyim untuk datang dan menikmati jamuan. Ketika Nabi Muhammad Saw akan menyampaikan seruan mengajak mereka agar masuk Islam, seorang di antara yang hadir membuat keributan sehingga jamuan bubar. Rasulullah Saw kembali mengundang mereka dengan tetap menyediakan jamuan makan dan minum. Sembari mereka menikmati jamuan, Rasulullah Saw berdiri menyampaikan: 

“Sesungguhnya, pemandu suatu kaum tidak pernah berdusta kepada kaumnya. Saya bersumpah, demi Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai Rasul-Nya, khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni dunia. Wahai kerabat saya, Anda sekalian akan mati. Sesudah itu, seperti Anda tidur, Anda akan dihidupkan kembali dan menerima pahala menurut amal Anda. Imbalannya adalah surga Allah yang abadi (bagi orang yang lurus) dan neraka-Nya yang kekal (bagi mereka yang jahat). Tidak ada manusia yang membawa kebaikan untuk kaumnya ketimbang apa yang saya bawakan untuk Anda. Saya membawakan pada Anda rahmat dunia dan akhirat. Tuhan saya memerintahkan kepada saya untuk mengajak Anda kepada-Nya. Siapakah di antara Anda sekalian yang akan menjadi pendukung saya sehingga ia akan menjadi saudara, washi (penerima wasiat), dan khalifah (pemimpin) pengganti saya?” 

Kerabat Rasulullah saw yang hadir dalam jamuan terdiam. Di tengah kebisuan tiba-tiba Ali bin Abu Thalib berdiri dan berbicara dengan mantap, “Wahai Nabi Allah, saya siap mendukung Anda.” Rasulullah saw memeluknya dan memintanya untuk duduk. Nabi mengulang kembali sampai tiga kali. Tidak ada yang menyambutnya. Kembali Ali bin Abi Thalib berdiri dan menyatakan dukungannya. Sambil berdiri di samping Ali, Rasulullah saw berkata, “Pemuda ini adalah saudaraku, washi, dan khalifahku di antara kalian. Dengarlah kata-katanya dan ikuti dia.”[1]

Semua orang hanya melihat dan terdiam. Seorang demi seorang berdiri dan sambil keluar dari jamuan, orang-orang berpaling kepada Abu Thalib sembari berkata, “Muhammad telah menyuruh Anda untuk mengikuti putra Anda dan menerima perintah darinya serta mengakuinya sebagai pemimpin Anda.”  

Sejak jamuan itu kaum Quraisy mulai menentang dakwah Rasulullah Saw. Di Bukit Shafa saat Rasulullah Saw berseru, orang-orang musyrik segera melecehkan ucapan Nabi dan menyuruh anak-anak untuk menyorakinya sebagai orang gila. Rasulullah saw dicemooh. Jalanan tempatnya berpijak pun ditaburi duri-duri tajam. Bahkan, ada orang yang khusus ditugaskan untuk meludahi Rasulullah saw setiap kali melewati jalan menuju Ka’bah. Ketika Nabi berjalan melewati jalan menuju Ka’bah maka ludah yang basah pasti mengenai wajah dan kepala Nabi. Meski setiap hari diperlakukan demikian, Nabi tidak marah dan terus berjalan melewatinya. Suatu hari Rasulullah saw merasa heran karena tidak ada yang meludahinya. Rasulullah saw bertanya kepada orang-orang sekitar kemudian diketahui orang tersebut sakit. Rasulullah saw pun menjenguknya. Dengan penuh rasa kaget, orang tersebut meminta ampun kepada Rasulullah Saw karena takut dibalas kelakuan buruknya. Nabi tidak memanfaatkan situasi itu untuk balas dendam, malah mengampuninya dan berdoa untuk kesembuhannya. Perlakuan lainnya yang dialami Nabi adalah dilempari kotoran unta dan bangkai binatang. Ketika Rasulullah saw bertawaf di Ka’bah, orang-orang musyrik Quraisy melemparinya dengan kotoran dan bangkai hingga Nabi terjatuh. Melihat perlakuan mereka, Nabi tersenyum dan meminta putrinya, Sayyidah Fathimah untuk membersihkannya.

Kalau dirinci banyak sekali perlakuan buruk dan tercela dari orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah Saw. Sejarawan Ibnu Atsir dalam Tarikh Al-Kamil menuliskannya dalam satu bab dan menyebutkan nama-nama yang merintangi jalan dakwah Sang Nabi. Orang-orang Quraisy yang tercatat paling sering memperlakukan Sang Nabi dengan buruk adalah Abu Lahab, Aswad bin Abdul Yaghuts, Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf, Ibnu Khalaf, Abu Hasan bin Hisyam, Ash bin Wail, Abu Sufyan, Uqbah bin Abi Muith, Marwan bin Hakam, Hakam bin Ash, dan Umar bin Khaththab.

Hampir setiap hari Nabi tidak lepas dari perlakukan buruk mereka. Mungkin saking gemasnya, penyampai wahyu (malaikat Jibril) sempat menawarkan diri untuk menghancurkan Makkah. Tawaran itu ditolak. Nabi malah mendoakan mereka agar terbuka hatinya. Sekali pun mereka tetap belum beriman, Nabi berharap agama Islam dapat dipeluk keturunan mereka. Akhlak dan kesabaran dakwah ini yang membuat Nabi dijuluki manusia sempurna.

Tindakan jahat mereka kepada Nabi Muhammad Saw belum maksimal karena masih menghormati Abu Thalib, sang paman, yang melindungi Nabi. Abu Thalib merupakan pimpinan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib yang disegani sehingga mereka tidak berani untuk membunuh Rasulullah Saw.    

Perlakuan yang tidak berperikemanusiaan menimpa pengikut Nabi Muhammad saw. Bilal bin Rabah dijemur dengan dada ditindih batu besar oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf. Kedua orang tua Ammar bin Yasir (Sumayyah dan Yasir) disiksa sampai wafat oleh tuannya. Ammar, Miqdad Al-Aswad, Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzar, Khabbab bin Irits, Said bin Zaid, Mushab bin Umair, dan Abdullah bin Hudzafah. Sahabat-sahabat inilah yang tidak lepas dari siksaan kaum Quraisy Makkah. Penulis sejarah menyebutkan bentuk-bentuk kekejaman dan penindasan kaum musyrik Makkah terhadap pengikut Nabi Muhammad saw.

Penindasan demi penindasan terus menimpa umat Islam generasi awal. Nabi memerintahkan orang-orang Islam untuk mencari perlindungan ke Etopia (Abisinia) yang dipimpin Raja Negus (Najasyi) yang beragama Kristen dan terkenal adil. Pada 615 Masehi, kaum Muslim yang berjumlah sepuluh orang (enam laki-laki dan empat perempuan) berangkat dan menetap sementara di Etopia. Tidak beberapa lama menyusul rombongan Islam yang dipimpin Jafar bin Abu Thalib. Para pengungsi (orang-orang Islam) yang tinggal di Etopia berjumlah delapan puluh tiga orang.

Kabar berangkatnya umat Islam ke Etopia segera diketahui kaum musyrik Makkah. Mereka mengirimkan Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah dengan membawa hadiah untuk meminta raja Etopia agar mengembalikan orang-orang Islam. Dalam pertemuan dengan raja, utusan musyrikin Makkah menyampaikan bahwa kaum Muslim termasuk orang-orang yang menghina agama nenek moyang dan berbahaya karena ajaran-ajaran yang dibawanya dapat memecahkan persaudaraan dan menghina ajaran Kristen. Raja tidak percaya. Raja meminta agar wakil orang-orang Islam dipanggil. Jafar bin Abu Thalib selaku pemimpin rombongan Islam menghadap raja dan menyampaikan alasan berlindung di Etopia. Dengan santun Jafar menyampaikan kejahatan orang-orang Makkah yang menindas orang-orang Islam dan menerangkan ajaran Islam. Raja meminta Jafar bin Abi Thalib membacakan salah satu wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Jafar melafalkan surah Maryam ayat 29-33 dengan fasih. Mendengar penuturan Jafar, raja dengan mata berkaca-kaca berkata, “Kata-kata ini dan yang dibawa Musa as keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan (utusan Makkah) pergilah! Kami tidak akan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!” 

H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini menerangkan bahwa raja Etopia mendapatkan surat seruan agar masuk agama Islam dari Rasulullah Saw. Setelah membaca dan menimbang, Raja Negus memeluk agama Islam. Raja mengirimkan surat balasan berisi pernyataan masuk Islam dan pengakuan kenabian Muhammad Saw. Raja Negus mengirimkan utusan berjumlah enam puluh orang terdiri dari para rahib dan pendeta untuk mempelajari agama Islam. Pada tahun 9 Hijriah, raja Etopia itu wafat dan Rasulullah Saw di Madinah menunaikan shalat ghaib. 

Perlindungan penuh untuk umat Islam di Etopia dan kabar tidak berhasilnya dua utusan musyrik Makkah untuk mengembalikan pengungsi makin membuat benci para musuh Islam terhadap Nabi Muhammad Saw.

Memang sejak Nabi menyebarkan prinsip teologi monoteisme Islam (tauhid) di Makkah, secara tidak langsung telah meruntuhkan konstruksi keyakinan paganisme yang dianut para bangsawan dan penduduk Makkah. Dengan mengesakan Tuhan dan menyingkirkan “tuhan-tuhan” yang tuli, bisu, diam, dan “tuhan” yang tidak membawa manfaat bagi penyembahnya, membuat geram musyrikin Makkah. Prinsip keesaan bagi mereka tidak dapat diterima karena dengan banyaknya “tuhan” dan berhala yang dibuat dari kayu dan bahan material lain maka secara ekonomis menambah penghasilan bagi orang Makkah yang memiliki usaha membuat patung. Apabila diganti prinsip ketuhanannya mungkin mereka akan gulung tikar.

Begitu juga prinsip kesamaan kedudukan manusia atau keadilan (al-‘adl) membuat mereka tidak bisa berkuasa dalam memperlakukan manusia yang berstatus budak dengan semena-mena. Prinsip inilah yang membuat orang-orang yang berstatus rendah (budak) tertarik memeluk Islam. Juga daya tarik risalah Ilahi (ayat-ayat al-Quran) yang dilantunkan Nabi membuat musuh Islam marah. Para penyair tidak mampu menyaingi ayat-ayat al-Quran yang dilantunkan Rasulullah saw di hadapan masyarakat Makah.

 Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahal bin Hisyam, dan Akhnas bin Syuraiq diceritakan selama tiga malam tanpa saling mengetahui mendatangi rumah Nabi Muhammad saw hanya untuk mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Jauh dilubuk hatinya, mereka meyakini ajaran yang dibawa Rasulullah saw adalah benar. Faktor dengki dan budaya kesukuan membuat mereka tidak mau mengakuinya. Apalagi mereka yang menjadi pemimpin masyarakat di Makkah akan malu kalau diketahui masuk Islam dan mencampakan agama leluhurnya.

Sejarawan Muhammad Husain Haekal memuat dialog kedengkian mereka terhadap Nabi Muhammad saw. Suatu hari Akhnas datang kepada Abu Jahal dan meminta pendapat tentang yang didengarnya dari ayat-ayat yang dibacakan Nabi Muhammad Saw. Abu Jahal berkata, “Kami sudah saling memperebutkan kehormatan dengan keluarga Bani Abdul Manaf (nenek moyang Rasulullah saw—penulis). Mereka memberi makan, kami pun memberi makan. Mereka memikul tanggung jawab, begitu pun kami. Mereka memberi, kami pun memberi sehingga kami dapat sejajar dan sama tangkas dalam perlombaan dan kami sudah seperti kuda pacuan. Tiba-tiba kata mereka: pada kalangan kami ada seorang nabi yang menerima wahyu dari langit. Kapan kami akan mengalami semacam itu? Tidak! Kami sekali-kali tidak beriman kepadanya dan tidak akan mempercayainya.” *** (ahmad sahidin)



[1] Peristiwa detailnya bisa dibaca pada desertasi Jalaluddin Rakhmat yang berjudul: Asal Usul Sunnah Sahabat: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri (UIN Alauddin Makassar, 2014). Bisa dibaca juga pada karya Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru (Bandung: Mizan, 1995), R.A.A Wiranata Koesoema, Riwajat Kangjeng Nabi Moehammad saw (Bandung: Islam Studie Club, 1941).