Rabu, 27 Juli 2022

Tauhid Nur Azhar: Budaya yang tidak kritis yang hendak saya dobrak

PERAWAKANNYA tinggi. Berwawasan luas. Energik dan full senyum. Enak diajak berdiskusi dan rendah hati. Itulah kesan yang ditangkap dari sosok Tauhid Nur Azhar, penulis yang hingga kini sudah melahirkan tujuh belas buku. Menulis buku, menurutnya, tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi ada proses “perjuangan” yang harus ditempuh hingga “berdarah-darah”. Akhirnya, kerja keras dan kerja cerdas itu pun berbuah. 

Untuk mengetahui proses kreatif, suka duka sebagai penulis dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia buku, Ahmad Sahidin mewawancarai Tauhid Nur Azhar di tempatnya mengajar di Universitas Islam Bandung, beberapa tahun lalu. Berikut ini petikannya:   

Sejak kapan Pak Tauhid menulis dan apa yang memotivasi Bapak menulis? 

Sejak bisa menulis. Hanya dulu menulisnya tidak sistematis. Hanya menuliskan pengalaman sehar-hari, seperti di blog kalau sekarang. Saya mulai menulis serius saat duduk di bangku kuliah. Waktu itu saya diamanahi mengurus masjid kampus yang memiliki buletin dakwah. Dari situ mulailah saya mengisi buletin dengan tulisan yang seadanya. Boleh dibilang saya “terpaksa” menulis. 

Lalu menulis di majalah internal kampus. Kemudian mulai mencoba ke media nasional. Waktu itu belum ada yang tembus. Tapi, meskipun tidak dimuat, ya saya anggap bahwa menulis itu bagian penyaluran ide dan gagasan saja. Apalagi kalau malam hari, tidak ada teman ngobrol untuk memperbincangkan gagasan-gagasan yang ada dibenak, ya saya tulis saja. Khawatir bila tidak dituliskan nanti terlupakan dan akhirnya tidak jadi apa-apa. Karena dalam otak kita itu dalam satu jam mengurai 36000 data visiual dan gagasan itu datangnya secepat itu. Satu jam kemudian datang lagi ide 36000 lagi. Kemungkinan dari 36000 per jam itu ada satu atau dua yang dituliskan. Hal ini saya lakukan supaya gagasan bisa menjadi sebuah proses belajar dan ada  knowledge  yang ditularkan.   

 

Mohon ceritakan perjuangan menulis dari awal hingga buku-buku Bapak bisa terbit? 

Sebagian besar pembaca buku saya bilang bahwa tulisan saya sulit dicerna dan tidak dimengerti. Termasuk orangtua saya juga bilang, ‘jika kamu ngomong saya bisa mengerti. Tapi kalau baca tulisanmu jadi bingung.’ Dari situ saya mulai berpikir bahwa ada yang salah pada bahasa tulisan saya. 

Saya lantas coba belajar menulis kolom di beberapa media. Dari duapuluh tulisan yang saya kirim, yang dimuat cuma dua. Itu pun sudah mengalami “obrak-abrik” oleh pihak redaksi hingga menjadi ramping. Dari sepuluh halaman dipenggal jadi dua halaman. Isinya kadang ada sedikit beda dengan yang saya maksud. Tapi tak apa, ini memang perjuangan. Ini terjadi waktu tahun 1992 an. Dari satu tahun, tulisan yang dimuat di media mungkin cuma dua tulisan. Itu pun sudah mengalami pemotongan sana-sini. 

Dari sana saya mulai belajar, terutama waktu saya diberi kesempatan untuk menulis buku di penerbit tempat saya mengajar (Universitas Diponengoro—red).  Alhamdulillah, meskipun masih memiliki kekurangan, buku pertama saya diterbitkan. Bukunya berjudul “Agama, Filsafat, dan Tekonologi” yang terbit tahun 1999.  Kalau saya baca sekarang, tampak bahwa saya itu ‘culun’ sekali. Bila diceritakan prosesnya panjang. Dari tahun 1997 baru bisa keluar tahun 1999. Saya melakukan perbaikan di sana sini karena yang dicoret oleh editor itu tidak hanya satu dua halaman, tapi setiap halaman berlumuran tinta merah. Berdarah-darah. Tidak ada yang bersih, yang bersih cuma kata pengantar. Saya waktu itu hampir frustasi karena mungkin tidak punya bakat. Tapi belajar dari orang bahwa jika bekerja keras pasti akan berhasil, kembali menjadi bersemangat menulis. 

Bahkan ketika bedah buku itu saya mendapat sambutan yang kritis, bukan sambutan yang hangat. Banyak yang mengkritisi dan memojokkan. Karena waktu itu bedah bukunya diselenggarakan saat Dies Natalis Universitas Diponegoro. Pada acara itu banyak orang-orang pintar yang hadir. Mereka memberikan kritik. Tapi dari kritik-kritik itu saya jadi paham bahwa saya harus banyak belajar. 

Kemudian saya memasuki fase genre menulis semi popular ketika saya bergabung dengan teman-teman di Pesantren Daarut Tauhiid (DT) Bandung. Saya ditawarin menulis kolom di Tabloid MQ. Teman-teman redaksi MQ mengajarkan saya bagaimana cara menulis kolom dengan 3000 karakter. Karena waktu itu, kalau menulis itu ngayayay. Jadi, kalau saya menulis helikopter, apel ke bawa-bawa. Dari situ saya banyak diajarin. Mereka juga mengajak saya untuk melihat proses kerja di redaksi. Saya jadi tahu bahwa tulisan yang berjumlah 10 halaman ternyata bisa dibuat menjadi 2 halaman. Saya jadi paham bahwa istilah ilmiah dalam tulisan semi popular untuk media harus diterjemahkan agar bisa dipahami pembaca. Mulailah saya mengisi rubrik di Tabloid MQ hingga beberapa edisi. 

Dari sanalah atau mungkin membaca tulisan-tulian saya, Pak Bambang Trim, yang waktu itu Direktur MQS Publishing meminta saya untuk menulis buku di MQS. Alhamdulillah  buku yang diterbitkan judulnya “Clink Your Life”. Terbitnya buku ini tidak mudah. Karena dari 8-10 naskah yang saya coba tawarkan, yang terbit hanya satu judul yang terbit tahun 2004. Meskipun kenal dan sama-sama beraktivitas di DT, tapi untuk soal menerbitkan buku ternyata tak ada istilah KKN. Kemudian terbit lagi buku “Jangan Ke Dokter Lagi” yang penulisannya didampingi lansung oleh Pak Bambang Trim. 

Dari sana saya dapat pengetahuan baru dalam dunia tulis-menulis. Dan tulisan saya yang sekarang-sekarang ini saya kira karena mengikuti dari proses belajar tadi. Ya, terus bergelinding seperti bola salju. Sekali terbuka pintunya, ya alhamdulillah terbuka kesempatan-kesempatan buat saya di penerbit lain. Tapi kalau saya lihat-lihat, ciri atau kekhasan tulisan saya masih sama seperti masa awal, bersifat ekspresi dan bernuansa sains. Karena saya memang ingin menumpahkan ide dalam bentuk buku, yang meskipun buat orang lain sudah tidak baru lagi.  

Berapa judul buku Bapak yang sudah terbit?

 Sudah 17 judul. Yang diterbitkan Salamadani ada tujuh, yaitu “Love for All”, “Haram Bikin Seram”, ”Ajaib bin Aneh”, ”Simbol-simbol Shalat”, “Berkawan dengan Malaikat Maut”, “Gelegar Otak”, dan “Jejak Kuliner”. Yang lainnya diterbitkan penerbit lain. 

 

Bapak dikenal sebagai orang sibuk, bagaimana bisa mengatur agenda kerja (profesi) dengan kegiatan menulis?

 Ide tulisan biasanya muncul saat saya menjalankan tugas profesi. Pas muncul ide saya langsung catat dalam telepon genggam saya. Saat di rumah saya tulis ulang dan saya simpan. Jadi, setiap saya jalan-jalan atau bertemu orang-orang dalam diskusi atau kegiatan lainnya, biasanya suka muncul ide-ide tulisan. Lalu saya tulis dalam telepon genggam. Tapi sekarang saya membawa buku kecil “catatan ide”. Setiap kali saya dapat wawasan yang baru, langsung saya catat di situ. Misalnya, saat saya berselancar di internet dan menemukan topik yang bagus atau menstimulasi untuk dikembangkan selanjutnya, ya saya catat. Dari catatan-catatan itu, bila memang ada yang menarik dikembangkan, saya kembangkan menjadi buku. Jadi, saya tidak menyediakan waktu khusus untuk menulis. Saya hanya memanfaatkan waktu senggang dengan menulis dalam kesibukan saya sebagai pengajar dan pembicara publik.    

Menurut Bapak, buku yang baik dan bergizi itu yang bagaimana? 

Ada beberapa buku yang menurut saya inspiring hingga hari ini masih sering menjadi kutipan atau rujukan. Jadi, buku yang baik dan bergizi itu dari sudut pembaca itu bahasanya mengalir. Dari satu halaman yang dibuka, menyedot si pembaca untuk terus membaca hingga selesai. Itu terlepas dari genre apa pun. Ini yang pertama. 

Kedua adalah buku yang informasinya komprehensif. Tidak hanya lengkap, tapi lugas isinya. Isi bukunya tidak asal ditulis tapi bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau bisa ditelusuri sumbernya. Jadi, saat dibaca itu mengajak untuk menelusuri sumber yang menjadi isi tulisan tersebut. Sehingga si pembaca tidak hanya cukup dengan sajian isi buku itu tapi bisa mengetahui ide-ide dasar yang mengilhami buku itu lahir. Terus juga bisa menilai benar tidaknya yang ditulisnya itu.   

Ketiga, gaya penyampaiannya memberi kesan yang sangat mendalam bagi si pembaca. Bahkan, kalimat-kalimatnya terus menempel dalam diri pembaca.  

Bisa disebutkan contohnya? 

Contohnya karya Karen Armstrong tentang sejarah Muhammad saw. Saya sejak dulu kan biasa membaca Sirah Nabawiyah, pas bertemu buku Armstrong yang melihat Nabi Muhammad saw dari sudut yang berbeda, itu jadi menarik buat saya. Terus buku Totocan yang berbicara tentang sistem pendidikan yang merdeka dan memerdekakan anak didik, yang ditulis dengan bahasa yang tidak menggurui dan ringan dibacanya. Juga ada buku dari India, judulnya “Quesstion and Answer” Isinya tentang akidah (tauhid) bahwa manusia bahwa itu hidupnya sudah ditentukan Tuhan. 

Terus buku dari Cina yang bila diterjemahkan berjudul “Pemakaman Di Langit” yang isinya bercerita tentang seorang dokter wanita yang mencari suaminya seorang tentara yang sudah mati. Ia menemukannya setelah 40 tahun kuburannya di Tibet. Suaminya itu mewariskan sebuah pesan yang, secara tidak sengaja ia dibimbing hinggga bisa sampai ke sana. Satu lagi buku Agatha Christy yang berjudul “Suspance” yang isinya tentang konspirasi yang ingin menguasai dunia dengan menggunakan teknologi. Luar biasa, meski buku ini terbit tahun 1930 an, tapi isinya berbicara seperti hari ini. Selanjutnya buku lagi dari Michael Craighton tentang pengalaman dokter patologi saat menghadapi kebohongan-kebohongan yang terstruktur. Gara-gara baca buku itu saya jadi tidak mengambil profesi dokter (tertawa).    

Kalau para penulis Indonesia?                      

Buku yang baik dan bergizi di Indonesia ada juga. Mialnya novel yang ditulis Dewi Lestari. Saya kaget waktu baca “Supernova”, meskipun ia seorang penyanyi tapi bisa berbicara tentang fisika dan teknologi. Juga buku-buku Romo Mangunwijaya. Saya mengoleksinya karena banyak wwasan kebudayaan yang mencerahkan. Buku tentang Majapahit yang ditulis Arswendo, termasuk “Kimung, Detektif Korengan”, “Opera Jakarta” dan lainnya.   

Terus juga buku “Mangan Ora Mangan Kumpul” karya Umar Khayam yang menyampaikan kondisi masyarakat yang sangat humanis  dengan bahasa yang mengena, menyentuh dan manusiawi. Kalau yang sekarang mungkin Andrea Hirata dan Habiburahman El-Syirazi. Satu lagi yang hingga kini menarik buat saya, yaitu buku kumpulan serial wayang karya R.A.Kosasih. 

 

Jika melihat buku-buku Bapak yang terbit, tema-temanya agak berat, berbau sains. Mengapa tema-tema itu yang diangkat? 

Tema yang saya tulis memang dekat dengan bidang yang saya geluti. Niatnya saya ingin berbagi agar khalayak yang tidak mengetahui bidang itu bisa mengetahui atau mengerti. Meski memang saat ditulis dan menjadi buku ternyata masih susah dimengerti oleh pembaca (tertawa). 

Maaf, saya dengan buku-buku yang saya tulis itu bukan ingin disebut seorang sainstis, tapi justru itu bidang yang saya tahu. Jika saja saya berbakat dalam sastra, mungkin bisa menulis novel seperti Habiburahman atau Andrea Hirata. Saya memang pernah menulis tentang humanisme, tapi orang-orang yang membaca bilang bahwa tetap saja karya tersebut masih berbau sains. Termasuk dalam buku “Jejak Kuliner” masih terdapat nuansa sains dan perkara-perkara yang berbau ilmiah. Saya harus mengakui bahwa ilmu yang saya miliki itu masih kecil, jadi butuh dilengkapi dengan wawasan atau ilmu lainnya. 

Kalau tentang buku “Jangan Mau Ke Dokter Lagi” itu bagaimana hingga kabarnya diprotes Ikatan Dokter Indonesia?    

Buku itu sebenarnya tidak hendak menggugat. Hanya saja bersebrangan dengan ranah konvensional atau “pakem” dominan yang ada di masyarakat. Begitu juga dalam buku “Gelegar Otak” saya memberikan pemahaman bahwa kita bekerja itu bisa menggunakan otak kanan dan kiri. Jadi, tidak hanya didominasi oleh salah satu otak. Wacana ini sebenarnya hal yang biasa di Barat, tapi karena masyarakat belum mengenal jadi dipermasalahkan. Hadirnya buku atau teori kan pembuktian kebenarannya melalui debat. Baru setelah itu bisa dinilai. Kalau acuannya salah berarti harus ada yang mengoreksi. Di sinilah pentingnya budaya kritis dalam membaca. 

Bayangkan, misalnya sebuah hadits yang sudah bertahun-tahun kita pakai dan kita sebut shahih, ternyata saat diteliti lagi terbukti dhaif.  Apakah kita akan terus memakainya dan menentang si penelitinya atau melanjutkan kesalahan itu terus menerus. Saya kira tidak harus seperti itu. Seharusnya bila ada yang keliru harus segera diluruskan dan bila ada nilai yang baik dan perlu dikembangkan, kenapa tidak untuk dikembangkan. 

Budaya yang tidak kritis dan hanya mengikuti teori lama itu yang hendak saya dobrak. Kita harus jadi penemu, bukan melanjutkan kesalahan yang sudah lama. Ini juga yang melatarbelakangi lahirnya buku  “Jangan Mau Ke Dokter Lagi”.   

Saya dalam buku ini berupaya memberi wawasan bahwa sakit atau penyakit itu bisa disembuhkan oleh diri sendiri (self healing). Ini kan hal yang tabu dalam dunia kedokteran. Saya coba mengajak para dokter untuk berpikir secara bersebrangan dengan paham yang konvensional. Saya menjelaskan bahwa orang yang sakit itu bisa juga sembuh tanpa harus ke dokter. Orang bisa sembuh dengan penyembuhan diri sendiri. Dan sekarang, hasilnya muncul konsep dokter keluarga. Jadi, dokter tidak hanya melulu di rumah sakit atau klinik, tapi juga mendatangi pasiennya. Penyembuhan model ini keberhasilannya lebih cepat daripada di rumah sakit. Jadi, menurut saya, kontroversi yang berdampak positif ini saya kira harus dikembangkan. Memang sih ada juga negatifnya.      

 

Kalau penyusunan dan riset untuk buku-buku Bapak sendiri bagaimana prosesnya? 

Memang tidak dipungkiri buku-buku yang saya tulis itu bernuansa sains yang membutuhkan riset yang sesuai dengan metodologi ilmiah. Kalaupun saya tidak menggunakan riset secara sendiri, saya juga menggunakan penelitian meta-analisis. Membaca, mengumpulkan hasil penelitian terkini tentang bidang yang saya kaji atau hendak ditulis itu kemudian diverifikasi.

Bila terbukti, lalu memberikan interpretasi dan menuliskannya. Dalam beberapa buku saya ada yang terpaksa saya melakukan riset untuk bahan penulisannya. Buku lainnya saya bangun dari hasil penelitian yang sudah tersedia. Bahkan, waktu itu saya ketika bicara tentang air saya melakukan pembuktiannya secara langsung. Juga saya melakukan pencarian sumber atau data-data yang tersedia di internet, termasuk situs-situs dan blog-blog orang. Di situ banyak ilmu yang saya dapatkan dan mengispirasi lahirnya buku.         

Sekarang tentang pencerdasan masyarakat. Sejauh ini menurut Bapak, bagaimana peran pemerintah dan lembaga swasta seperti penerbit dalam mencerdaskan masyarakat?

Kalau saya lihat satu dua tahun terakhir sudah ada upaya-upaya sistematis yang saya kira harus diapresiasi secara positif. Misalnya dengan adanya buku pelajaran digital sehingga bisa diunduh di mana pun kita berada. Meskipun kita tahu bahwa tidak seluruh sekolah atau anak sekolah sudah melek internet, terutama yang daerah-daerah. Ini saya kira bagus sebagai awal untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat. Meskipun populasi yang mengakses internet baru 2%. Tapi itu sudah bagus. 

Bila melihat jumlah yang melek internetnya sedikit, peranan buku cetak dalam hal pencerdasan masuarakat masih patut diperhitungkan. Bahkan, saya sebagai penikmat ilmu merasakan lebih enak membaca dalam bentuk cetak ketimbang memelototi monitor. Karena membaca di monitor komputer itu membuat mata lelah. Itu karena radiasi komputer. 

Jadi, kalau dihitung-hitung kebutuhan buku cetak lebih dibutuhkan masyarakat ketimbang buku digital. Karena itu peran penerbit swasata dan pemerintah dalam upaya mencerdaskan bangsa harus ada kerjasama. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan perpustakaan daerah, ya bisa bekerjasama membuat buku-buku yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.

 Memang upaya pemerintah sudah ada. Misalnya departemen PU membuat buku cara membangun masyarakat bersih sampah, instalasi air bersih, membuat bak sampah dan lainnya. Atau departemen pertanian yang membuat buku panduan pertanian. Petani-petani yang bertemu dengan saya mengatakan bingung dan tak bisa menerapkan buku tersebut. Waktu dibaca buku itu terasa membosankan. Karena bahasanya tidak hidup, cenderung instruksi. Seharusnya dibuat dengan bahasa yang hidup, mengalir, ringan, dan menggunakan gambar-gambar. Untuk proyek ini pemerintah bisa kerjasama dengan penerbit. Coba Anda bandingkan buku ternak ikan lele terbitan pemerintah dengan Penerbit Agromedia. Pasti lebih menarik yang terbitan Agromedia. Tak aneh bila buku-buku yang dibuat pemerintah itu numpuk dan berdebu di rak-rak perpustakaan karena tidak ada yang membacanya. 

Kemarin saya lihat buku-buku teknologi informasi sudah dikemas inovatif dan kreatif. Di dalamnya ada gambar kartun dan animasi, dan ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan disertai rujukan yang akurat. Sehingga pengguna buku tidak merasakan sesuatu yang membosankan saat membacanya. Kemasan seperti ini harusnya mulai diperhatikan. Karena itu sudah saatnya untuk mengotimalkan kerja pemerintah, khususnya dalam upaya pencerdasan bangsa ini. Saya yakin pemerintah bisa membuat buku-buku bermutu, bagus, dan bergizi bagi masyarakat. Pemerintah punya dana untuk itu.

 

 

Pesan untuk penulis dan pembaca? 

Untuk penulis, termasuk saya sendiri, harus ditanamkan dalam pikiran kita  bahwa menulis itu ibadah. Karena itu harus mengemukakan secara objektif dalam mengulas dan pembahasannya. Jangan sampai karena ingin mengjar sensasi mengabaikan hal-hal yang bersifat faktual, mengada-ada, atau menyesatkan orang. Hal ini harus dihindari. Karena ada beberapa buku yang saya baca ternyata tidak memiliki inilai yang manfaat, malah mengulang kembali yang salah. 

Buku yang ditulis seharusnya yang bisa masuk ke bawah sadar manusia, bergizi, menyadarkan, dan mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Genre apa pun, asal isinya itu mencerahkan pembaca. Kalau bisa yang out of  the boxes, objektif, ilmiah faktual, informatif, dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena dengan memerhatikan aspek itu integritas penulis bisa terjaga.

Jangan coba-coba menulis yang tidak mencerdaskan masyarakat seperti pornografi-pornoaksi dan lainnya. Karena di negara-negara luar, bacaan atau buku yang berbau pornografi-pornoaksi sudah mulai ditinggalkan pembaca, tidak laku. Yang laku buku-buku yang mendidik masyarakat. Dari yang asalnya sekadar hiburan masyarakat memburu buku yang bersifat knowledge atau bisa membuat hidup lebih baik.    

Untuk pembaca, saya harap masyarakat Indonesia bisa cerdas. Karena itu, mari kita mencerdaskan diri kita dengan membaca buku-buku berkualitas. Pembaca adalah garda depan dari struktur dunia perbukuan Indonesia. Tinggalkan bacaan yang tidak bernilai positif dan segera buru bacaan yang mencerahkan hidup.  *** (wawancara dilakukan oleh Ahmad Sahidin)