Senin, 29 Agustus 2022

Tarikh Nabi: RIWAYAT BITSAH

Di antara riwayat bi’tsah ini adalah Bukhari dari Aisyah binti Abu Bakar bahwa, “Wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan ‘uzlah. Beliau melakukan uzlah di Gua Hira’ melakukan ibadah selama beberapa malam kemudian pulang kepada keluarganya untuk mengambil bekal. Demikian berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam Gua Hira, yaitu Malaikat Jibril yang berkata, “Bacalah.” Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca.”

Beliau menceritakan lebih lanjut, “Malaikat itu lalu mendekati aku dan mendekapku sehingga aku merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, Bacalah!”

Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.”

Kemudian ia mendekati aku lagi dan mendekapku sehingga aku merasa tidak berdaya sama sekali. Kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah!”

Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.

Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku sampai aku merasa lemas. Kemudian aku dilepaskan dan ia berkata lagi, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan! Menciptakan manusia dari segumpal darah.

Setelah mengikuti yang diucapkan Malaikat Jibril, Beliau segera pulang dalam keadaan gemetar sekujur badannya dan menemui Khadijah. Beliau berkata kepada Khadijah, “Selimutilah aku! Selimutilah aku!

Beliau pun diselimuti sampai hilang rasa takutnya. Setelah itu, Beliau berkata kepada Khadijah, “Hai Khadijah, tahukah engkau mengapa aku tadi begitu?”

Lalu, Beliau menceritakan kejadian yang dialaminya di Gua Hira. Beliau berkata, “Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari gangguan makhluk jin).

Khadijah segera menjawab, “Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, sesungguhnya tidak akan membuat Anda kecewa. Anda seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.

Beberapa saat kemudian Khadijah mengajak suaminya pergi menemui Waraqah bin Naufal, salah seorang anak pamannya yang beragama Kristen. Saat bertemu dengan Waraqah, Khadijah berkata, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak lelaki saudaramu (Nabi Muhammad saw).”

Waraqah bertanya, “Hai anak saudaraku, ada apa gerangan?

Kemudian Muhammad bin Abdullah menceritakan hal-hal yang dilihat dan dialami di dalam Gua Hira dari awal sampai pulang ke rumah. Setelah mendengar keterangan tersebut, Waraqah berkata, “Itu adalah malaikat yang pernah diutus Allah kepada (Nabi) Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa. Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!”

Apakah mereka akan mengusir aku?” tanya Muhammad heran.

Waraqah menjawab, “Ya. Tidak seorang pun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.”

Tidak lama setelah dialog dengan Nabi Muhammad saw, Waraqah meninggal dunia dan untuk beberapa waktu lamanya wahyu tidak turun lagi. Riwayat inilah yang biasanya disampaikan mubaligh (penceramah) dan beredar di tengah masyarakat Islam.

Sedikitnya ada sepuluh riwayat yang mengisahkan kejadian bi’tsah yang jalurnya berasal dari Aisyah bin Abu Bakar. Dalam riwayat lain, disebutkan Nabi Muhammad saw sendiri yang datang kepada Waraqah (tidak ditemani Khadijah). Riwayat lain menyebutkan Waraqah bertemu Nabi ditemani Khadijah dan Abu Bakar. Tempat bertemunya pun berbeda: ketika tawaf di Ka’bah dan di rumah. Juga berkaitan dengan tingkah laku Khadijah: ada riwayat yang memerintahkan Khadijah disuruh Waraqah untuk melepaskan pakaiannya ketika Nabi ketakutan atau menggigil. Badan Nabi diapit di antara kulit dan siku Khadijah sehingga kepala Nabi keluar dari siku istrinya. Kemudian pada riwayat lain disebutkan bukan hanya Waraqah, tetapi ada Addas, Bahirah, dan Nusthur yang menjelaskan kenabian Sayyid Muhammad bin Abdullah.[1]

Riwayat Bukhari yang dikutip di atas dilihat dari fakta sejarah dan sanad patut diragukan. Aisyah binti Abu Bakar yang mengabarkannya saat itu belum lahir sehingga tidak mungkin mengetahuinya dengan lengkap. Sejarah mengisahkan Aisyah yang berusia antara tujuh sampai sembilan tahun menikah dengan Nabi setelah Hijrah ke Madinah. Sementara kejadian bi’tsah terjadi di Makkah. Kalau pun Aisyah mendengar dari orang lain harusnya menyebutkan jalurnya. Adakah orang yang menjadi saksi penuturan kisah bi’tsah kalau disampaikan langsung kepada Aisyah dari Rasulullah saw? Kalau melihat kedekatan hubungan dengan Nabi Muhammad saw seharusnya jalur periwayatan bi’tsah ini datang dari Khadijah dan Ali bin Abi Thalib yang sehari-hari bersama Rasulullah saw, bahkan menemaninya di Gua Hira.[2]

Dari segi matan, tidak sesuai dengan al-Quran surah Al-An`aam [6] ayat 125, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Dari ayat ini jelas bahwa seseorang yang mendapatkan petunjuk dari Allah akan mengalami kelapangan dada, kelegaan hati, dan ketenteraman jiwa. Bandingkan dengan riwayat di atas: malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad bin Abdullah dengan cara yang mengerikan, didekap dengan keras sampai kepayahan dan ketakutan luar biasa, tidak sadar kalau dirinya akan menjadi Nabi, meminta konfirmasi dari tokoh non-Islam untuk pembenaran.

Apalagi dengan keterlibatan tokoh non-Islam dalam kenabian Nabi Muhammad bin Abdullah ini perlu dikaji kembali. Tidak dapat dipahami orang yang terpilih menjadi Nabi Allah tidak mengetahui bahwa dirinya calon Nabi dan sedang diberi wahyu atau dilantiknya menjadi Rasul Allah. Apalagi harus berkonsultasi dengan tokoh agama lain yang dalam sejarah keberadaannya masih perlu dikaji ulang.[3]

Muhammad Hadi Ma’rifat, seorang ahli sejarah al-Quran, berkomentar tentang riwayat bi’tsah dengan menulis, “Bagaimana bisa, seorang nabi yang telah menapaki tangga-tangga kesempurnaan dan merasakan berita gembira kenabian jauh hari sebelum diutus, tidak mampu menyaksikan dengan jelas. Padahal, dia memiliki akal yang paling tinggi dan sempurna. Sesungguhnya, Allah mendapati hati Muhammad sebaik-baik hati dan yang paling siap maka Dia memilihnya sebagai nabi-Nya. Bagaimana bisa, orang yang telah mencapai kesempurnaan, menjadi bimbang dan ragu terhadap dirinya sendiri. Kemudian kebimbangannya sirna karena seorang wanita dan jawaban lelaki yang berpengetahuan sedikit. Bahkan disebutkan bahwa Muhammad merasa yakin sebagai nabi ketika sudah mendengar nasihat Waraqah.”[4]

Muhammad Hadi Ma’rifat menerangkan bahwa bitsah terjadi pada 27 Rajab (12 Februari 610[5]) saat Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Peristiwa ini disebut periode wahyu risali. Dalam periode ini Nabi menunggu turunnya wahyu sebagai kitab samawi sambil terus berdakwah secara diam-diam dan untuk lingkungan keluarga. Dapat dimengerti masa ini Nabi berupaya menguatkan keimanan orang-orang yang berada di sekitarnya. Selama tiga tahun Rasulullah saw membimbing dan mengajarkan ajaran-ajaran Islam di lingkungan keluarga. Masa penantian wahyu lanjutan ini dikenal dengan sebutan fatrah.[6] Kemudian pada 17 Ramadhan tahun ke-3 kenabian, atau ketika Nabi berusia 43 tahun (Mei 612 Masehi) menerima wahyu samawi selama sepuluh tahun di Makkah dan di Madinah selama sepuluh tahun. Hal ini sesuai dengan hadis dari Imam Jafar Ash-Shadiq dan diriwayatkan Ibnu Babawaih Shaduq, Allamah Al-Majlisi, Sayyid Abdullah Syubhar, dan Jalaluddin Suyuthi.[7] *** (ahmad sahidin)

note:

[1]Jalaluddin Rakhmat, Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan  (Bandung: Simbiosa, 2008)  h.183-191.

[2] Riwayat berkaitan dengan kebersamaan Nabi dengan Ali dapat dibaca dalam buku Muhammad Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali r.a. (Bandung: Mizan, 2001)  h.30.

[3] Kajian lengkap mengenai riwayat turunnya wahyu pertama dan tokoh-tokoh agama yang dibhubungkan dengan bi’tsah Muhammad saw dapat dibaca pada karya Jalaluddin Rakhmat,  Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan  (Bandung: Simbiosa, 2008)  bab 10 Versi Turunnya Wahyu yang Pertama kepada Rasulullah, h.183-210.

[4] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Quran (Jakarta: Al-Huda, 2007) h.23.

[5] Penanggalan Masehi ini diambil dari Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad: Nabi untuk Semua (Jakarta: Alvabet, 2005)  h.25. Dr.Muhsin Labib, Rahasia Hari dan Primbon Islam (Jakarta: Zahra, 2010) h.73, menyebutkan bi’tsah terjadi 17 Rajab (tahun 1 kenabian) dan dianggap hari besar Islam bagi pengikut mazhab Syiah.

[6] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Quran (Jakarta: Al-Huda, 2007) h.43.

[7] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Quran (Jakarta: Al-Huda, 2007)  h.43-44.