Di antara riwayat bi’tsah ini adalah Bukhari dari Aisyah binti Abu Bakar bahwa, “Wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan ‘uzlah. Beliau melakukan uzlah di Gua Hira’ melakukan ibadah selama beberapa malam kemudian pulang kepada keluarganya untuk mengambil bekal. Demikian berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam Gua Hira, yaitu Malaikat Jibril yang berkata, “Bacalah.” Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca.”
Beliau menceritakan lebih lanjut, “Malaikat
itu lalu mendekati aku dan mendekapku sehingga aku merasa lemah sekali,
kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah!”
Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.”
Kemudian ia mendekati aku lagi dan mendekapku
sehingga aku merasa tidak berdaya sama sekali. Kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi,
“Bacalah!”
Aku menjawab, “Aku tidak dapat
membaca.”
Untuk yang ketiga kalinya ia
mendekati aku dan memelukku sampai aku merasa lemas. Kemudian
aku dilepaskan
dan ia berkata lagi, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah
menciptakan! Menciptakan
manusia dari segumpal darah.”
Setelah mengikuti yang diucapkan Malaikat Jibril,
Beliau segera pulang dalam keadaan gemetar sekujur badannya dan menemui
Khadijah. Beliau berkata kepada Khadijah,
“Selimutilah aku! Selimutilah
aku!”
Beliau pun diselimuti sampai hilang
rasa takutnya. Setelah itu, Beliau berkata kepada Khadijah, “Hai Khadijah,
tahukah engkau mengapa aku tadi begitu?”
Lalu, Beliau menceritakan kejadian yang
dialaminya di Gua Hira. Beliau berkata, “Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku (dari
gangguan makhluk jin).”
Khadijah segera menjawab, “Tidak!
Bergembiralah! Demi Allah, sesungguhnya tidak akan membuat Anda kecewa. Anda
seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah,
menghormati tamu dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.”
Beberapa saat kemudian Khadijah
mengajak suaminya pergi menemui Waraqah bin Naufal, salah seorang anak pamannya
yang beragama Kristen. Saat bertemu dengan Waraqah, Khadijah berkata, “Wahai
anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak lelaki saudaramu
(Nabi Muhammad saw).”
Waraqah bertanya, “Hai
anak saudaraku, ada apa gerangan?”
Kemudian Muhammad bin
Abdullah menceritakan hal-hal yang dilihat dan dialami di dalam Gua
Hira dari awal
sampai pulang ke rumah. Setelah mendengar keterangan tersebut,
Waraqah berkata,
“Itu adalah malaikat yang pernah diutus Allah kepada (Nabi) Musa.
Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa. Alangkah gembiranya
seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!”
“Apakah mereka akan mengusir aku?” tanya
Muhammad heran.
Waraqah menjawab, “Ya. Tidak seorang
pun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi.
Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi
itu, pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.”
Tidak lama setelah dialog dengan Nabi
Muhammad saw,
Waraqah meninggal dunia dan untuk beberapa waktu lamanya wahyu tidak turun
lagi. Riwayat
inilah yang biasanya disampaikan mubaligh (penceramah) dan beredar di
tengah masyarakat Islam.
Sedikitnya ada sepuluh riwayat yang mengisahkan kejadian bi’tsah
yang jalurnya berasal dari Aisyah bin Abu Bakar. Dalam riwayat
lain, disebutkan
Nabi Muhammad saw
sendiri yang datang kepada Waraqah (tidak ditemani Khadijah).
Riwayat lain menyebutkan Waraqah bertemu Nabi ditemani Khadijah dan Abu Bakar. Tempat bertemunya pun
berbeda: ketika tawaf di Ka’bah dan di rumah. Juga berkaitan dengan tingkah
laku Khadijah: ada
riwayat yang memerintahkan Khadijah disuruh Waraqah untuk
melepaskan pakaiannya ketika Nabi ketakutan atau menggigil. Badan Nabi diapit
di antara kulit dan siku Khadijah sehingga kepala Nabi keluar dari siku
istrinya. Kemudian pada riwayat lain disebutkan bukan hanya Waraqah, tetapi ada
Addas, Bahirah, dan Nusthur yang menjelaskan kenabian Sayyid Muhammad bin Abdullah.[1]
Riwayat Bukhari yang dikutip di atas dilihat
dari fakta sejarah dan
sanad patut diragukan. Aisyah binti Abu Bakar yang
mengabarkannya
saat itu belum lahir sehingga tidak mungkin mengetahuinya dengan
lengkap. Sejarah mengisahkan Aisyah
yang berusia antara tujuh sampai sembilan tahun menikah dengan Nabi setelah
Hijrah ke Madinah. Sementara kejadian bi’tsah terjadi di Makkah. Kalau
pun Aisyah mendengar dari orang lain harusnya menyebutkan jalurnya. Adakah orang yang menjadi
saksi penuturan kisah bi’tsah kalau disampaikan langsung kepada Aisyah dari
Rasulullah saw? Kalau melihat kedekatan hubungan dengan Nabi Muhammad saw
seharusnya jalur periwayatan bi’tsah ini datang dari Khadijah dan Ali
bin Abi Thalib yang sehari-hari bersama Rasulullah saw, bahkan menemaninya di
Gua Hira.[2]
Dari segi matan, tidak sesuai dengan al-Quran
surah Al-An`aam [6] ayat 125, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan
barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah
Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Dari ayat ini jelas bahwa
seseorang yang mendapatkan petunjuk dari Allah akan mengalami kelapangan dada, kelegaan
hati, dan ketenteraman
jiwa. Bandingkan
dengan riwayat di atas: malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada
Muhammad bin Abdullah dengan cara yang mengerikan, didekap dengan keras sampai kepayahan dan
ketakutan luar
biasa, tidak sadar kalau dirinya akan menjadi Nabi, meminta konfirmasi dari
tokoh non-Islam untuk pembenaran.
Apalagi dengan keterlibatan tokoh non-Islam dalam kenabian Nabi Muhammad
bin Abdullah ini perlu dikaji kembali. Tidak dapat dipahami orang yang
terpilih menjadi Nabi Allah tidak mengetahui bahwa dirinya calon Nabi dan
sedang diberi wahyu
atau dilantiknya menjadi Rasul Allah. Apalagi harus
berkonsultasi dengan tokoh agama lain yang dalam sejarah keberadaannya masih
perlu dikaji ulang.[3]
Muhammad Hadi Ma’rifat, seorang ahli sejarah
al-Quran, berkomentar tentang riwayat bi’tsah
dengan menulis, “Bagaimana bisa, seorang nabi yang telah menapaki
tangga-tangga kesempurnaan dan merasakan berita gembira kenabian jauh hari
sebelum diutus, tidak mampu menyaksikan dengan jelas. Padahal, dia memiliki
akal yang paling tinggi dan sempurna. Sesungguhnya, Allah
mendapati hati Muhammad sebaik-baik hati dan yang paling siap maka Dia
memilihnya sebagai nabi-Nya. Bagaimana bisa, orang yang telah mencapai kesempurnaan,
menjadi bimbang dan ragu terhadap dirinya sendiri. Kemudian kebimbangannya
sirna karena seorang wanita dan jawaban lelaki yang berpengetahuan sedikit.
Bahkan disebutkan bahwa Muhammad merasa yakin sebagai nabi ketika sudah mendengar
nasihat Waraqah.”[4]
Muhammad Hadi Ma’rifat menerangkan bahwa bitsah terjadi pada 27 Rajab (12 Februari 610[5]) saat Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun. Peristiwa ini disebut periode wahyu risali. Dalam periode ini Nabi menunggu turunnya wahyu sebagai kitab samawi sambil terus berdakwah secara diam-diam dan untuk lingkungan keluarga. Dapat dimengerti masa ini Nabi berupaya menguatkan keimanan orang-orang yang berada di sekitarnya. Selama tiga tahun Rasulullah saw membimbing dan mengajarkan ajaran-ajaran Islam di lingkungan keluarga. Masa penantian wahyu lanjutan ini dikenal dengan sebutan fatrah.[6] Kemudian pada 17 Ramadhan tahun ke-3 kenabian, atau ketika Nabi berusia 43 tahun (Mei 612 Masehi) menerima wahyu samawi selama sepuluh tahun di Makkah dan di Madinah selama sepuluh tahun. Hal ini sesuai dengan hadis dari Imam Jafar Ash-Shadiq dan diriwayatkan Ibnu Babawaih Shaduq, Allamah Al-Majlisi, Sayyid Abdullah Syubhar, dan Jalaluddin Suyuthi.[7] *** (ahmad sahidin)
[1]Jalaluddin
Rakhmat, Al-Mushthafa: Manusia Pilihan
yang Disucikan (Bandung: Simbiosa,
2008) h.183-191.
[2] Riwayat
berkaitan dengan kebersamaan Nabi dengan Ali dapat dibaca dalam buku Muhammad
Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali r.a. (Bandung:
Mizan, 2001) h.30.
[3] Kajian lengkap
mengenai riwayat turunnya wahyu pertama dan tokoh-tokoh agama yang dibhubungkan
dengan bi’tsah Muhammad saw dapat
dibaca pada karya Jalaluddin Rakhmat, Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan (Bandung: Simbiosa, 2008) bab 10
Versi Turunnya Wahyu yang Pertama kepada Rasulullah, h.183-210.
[4] Muhammad Hadi
Ma’rifat, Sejarah Al-Quran (Jakarta:
Al-Huda, 2007) h.23.
[5] Penanggalan
Masehi ini diambil dari Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad: Nabi untuk Semua (Jakarta: Alvabet, 2005) h.25. Dr.Muhsin Labib, Rahasia Hari dan
Primbon Islam (Jakarta: Zahra, 2010) h.73, menyebutkan bi’tsah terjadi
17 Rajab (tahun 1 kenabian) dan dianggap hari besar Islam bagi pengikut mazhab
Syiah.
[6] Muhammad Hadi
Ma’rifat, Sejarah Al-Quran (Jakarta:
Al-Huda, 2007) h.43.
[7] Muhammad Hadi
Ma’rifat, Sejarah Al-Quran (Jakarta:
Al-Huda, 2007) h.43-44.