Dalam sejarah peradaban manusia tampaknya belum pernah ada agama yang menaruh perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan dan budaya intelektual selain Islam. Kelahiran Islam di kawasan yang lebih dominan dengan kehidupan ekonomi dan berkarakater keras bukanlah kesalahan sejarah. Akan tetapi, sebuah bukti keunggulan Islam yang mampu mengubah sejarah Arab dan sekitarnya menjadi pusat kebudayaan. Nabi Muhammad saw dengan membawa risalah Ilahi menjadi peletak dasar lahirnya masa gemilang Islam. Mekkah dan Madinah berubah menjadi kota Islam yang diperhatikan dunia. Keberhasilannya dalam mewujudkan masa ideal tersebut didasarkan pada konsep tauhid, keadilan, dan pemberdayaan. Nabi Muhammad saw dengan doktrin tauhid berhasil menarik massa dalam naungan kalimat la ilaha illallah dan membebaskannya dari belenggu stratifikasi sosial (kasta). Karena itu, umat Islam pada masa Muhammad saw tidak berbeda satu sama kecuali kualitas takwa dan keimanan.
Sejarah mencatat bahwa pada masa nabi Muhammad saw tidak ada yang
terzalimi dan tidak ada demonstrasi akibat perlakukan atau kebijakan Nabi,
semuanya merasakan ketenangan dan kedamaian dalam Islam. Keadilan memang
menjadi inti dari pemerintahan yang ditegakkan Nabi saw. Dalam sebuah hadits
Nabi saw menyatakan sanggup memberikan hukuman jika putrinya (Sayyidah Fahtimah
Az-Zahra) terbukti mencuri. Sebaliknya, Nabi saw juga berani mengusir saudara
dari sahabat dekatnya yang menghina dan tidak mengikuti aturan yang digariskan
dalam al-Quran dan risalah Nabi Muhammad saw. Pendeknya, Nabi saw tidak
‘pandang bulu’ dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat Muslim maupun
non-Muslim.
Bukan hanya itu, Nabi saw juga mengangkat derajat
orang-orang dhu`afa dan mereka yang membutuhkan pencerahan baca tulis.
Nabi saw memberikan ampunan kepada tawanan perang dari kaum kafir atau musyrik
yang mampu mengajarkan kaum Muslim sampai mampu baca tulis. Gerakan pembebasan
buta huruf tersebut menjadi peletak dasar lahirnya tradisi intelektual dalam
Islam. Dari gemblengan Nabi saw lahir sosok cendekiawan Ali bin Abi Thalib yang
kemampuan retorika, sastra, dan analisisnya tajam dan mencerahkan pemikiran;
Ibnu Abbas yang menjadi ahli tafsir al-Quran berkat doa Rasulullah saw; dan
Sayyidah Fahtimah menjadi sosok tangguh yang melahirkan dua cucu Rasulullah saw
yang saleh dan berjiwa kesatria. Yang dari cucu Rasulullah saw pula risalah
Islam terjaga dan khazanah Islam berkembang dilanjutkan oleh keturunannya seperti Imam Muhammad Al-Baqir
dan Imam Ja`far Ash-Shadiq. Keduanya merupakan figur ulama sekaligus ilmuwan yang
mumpuni dalam berbagai ilmu yang melahirkan para fuqaha, muhadis, teolog,
filsuf, dan sufi.
Kemunculan mereka tidak lepas dari landasan Ilahi dan
risalah Rasulullah saw yang mendorong kaum Muslim untuk berkarya dalam khazanah
ilmu-ilmu Islam.
Dalam al-Quran ada tiga istilah yang berkaitan dengan
khazanah ilmu ‘pengetahuan’ Islam (al-ma`rifah). Pertama, `Ilm
(ilmu) berasal dari kata `alima, yang artinya ‘mengetahui’. Kata ilmu
dalam al-Quran terulang dengan berbagai berbentuknya sebanyak 854 kali. Hal ini
menunjukkan bahwa ilmu sangat penting bagi umat Islam. Dalam beberapa hadits
Rasulullah saw bersabda, “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim”
(HR Bukhari), “Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu
maka Allah akan mudahkan jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat
meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai tanda ridha dengan yang
dia perbuat” (HR Muslim), “Barangsiapa keluar dalam rangka mencari ilmu
maka dia berada dalam jalan Allah (sabilillah) hingga kembali” (HR
Tirmidzi), dan “Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang abid,
seperti kelebihanku atas orang yang terendah dari umatku” (HR Tarmidzi).
Bahkan, Rasulullah saw mengibaratkan ilmu dengan cahaya, “al-`ilm nuur”
(ilmu adalah cahaya). Maksudnya, orang
yang tidak berilmu ibarat sedang berjalan sendirian di negeri asing dalam
keadaan gelap gulita. Perjalanannya pasti akan terkatung-katung, bahkan tidak
sampai pada tujuan. Sedangkan yang berilmu seperti orang berjalan ditempat yang
terang sehingga dapat mengarungi jalan hidup dengan nyaman, aman, dan selamat.
Karena itu, menjadi orang yang berilmu merupakan perintah Ilahi yang berarti
wajib untuk dikerjakan. Kaum Muslim terdahulu kemudian melaksanakannya sehingga
menjadi orang-orang yang berderajat tinggi dan dikenang karena karya-karyanya.
Benarlah firman Allah dalam al-Quran surah al-Mujaadillah [58] ayat 11, “Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam
majelis" maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’ maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Kedua, al-hikmah. Kata hikmah terulang sekira
30 kali dalam al-Quran yang maknanya adalah ‘kebijaksanaan’ atau ‘pencerahan’
yang didapatkan melalui penalaran akal atau pengamatan atas fenomena alam
semesta sehingga menghasilkan pengetahuan rasional dan empiris. Ada juga yang
didapatkan dengan riyadhah dan tazkiyatun nafs (latihan dan
penyucian jiwa) sehingga mendapatkan ‘pengetahuan’ yang bersifat langsung (hudhuri)
dari Allah tanpa harus melalui proses belajar.
Ketiga, al-kitab. Al-kitab adalah ‘pengetahuan’ yang berbentuk
wahyu yang dibawa para nabi dan rasul Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk
hidup dan jalan harus yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan, baik
dunia maupun akhirat. Para nabi sebelum Muhammad saw memang ada yang
mendapatkannya. Seiring dengan turunnya nabi akhir zaman Muhammad saw, ajaran
atau pengetahuan yang terdapat dalam al-kitab sebelumnya telah
disempurnakan dalam—satu al-kitab yang disebut—al-Quran yang khusus
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk bagi umat manusia sampai
tibanya hari kebangkitan (al-maad) sebagai berakhirnya kehidupan dunia
dan alam semesta.
Ketiga bentuk ‘pengetahuan’ Islam (`ilm, hikmah, dan
alkitab) tersebut merupakan ‘kebenaran’ yang berasal dari sumber yang sama:
Allah. Allah Ta`ala berfirman, “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu. Karena
itu, jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS
al-Baqarah [2] :147) dan “Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu.
Karena itu, janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS ali-Imran
[3]: 60)
Dalam konteks modern, ketiga ‘pengetahuan Islam’ tersebut
bisa dikatakan mewakili sains (al-`ilm), filsafat (al-hikmah),
dan agama (al-kitab). Bahkan, dalam sejarah ketiganya diukembangkan oleh
kaum Muslim sampai melahirkan cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sejak abad 9-16
Masehi, kaum Muslim meraih prestasi dan kejayaan dalam berbagai bidang, seperti
astronomi, filsafat, biologi, kedokteran, musik, matematika, sastra, optik,
botani, teologi, tafsir, sejarah, dan lainnya.
Kemajuan Islam pada masa itu dilatarbelakangi dari keinginan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan memajukan kehidupan umat Islam. Hal Ini
terjadi saat Eropa mengalami ‘zaman kegelapan’ akibat dari perlakuan yang tidak
bersahabat terhadap para ilmuwan oleh tokoh-tokoh agama Kristen dan orang-orang
Gereja yang sedang berkuasa.
Berbeda dengan para penguasa kerajaan Islam, alih-alih malah
mendatangkan karya-karya filsafat dan sains dari Yunani, Romawi, Mesir, dan
Suriah. Kemudian diterjemahkan, dikaji,
disaring, dan dikembangkan oleh umat
Islam sehingga menjadi karya-karya baru. Perpustakaan, majelis ilmu, dan
madrasah (sekolah) pun dibuat. Dari
kegiatan keilmuan itu lahirlah para ulama, filsuf, saintis, dan Muslim-muslim
yang ahli dalam masing-masing bidang ilmu pengetahuan. Bahkan, banyak ulama
yang menguasai lebih dari tiga bidang ilmu pengetahuan dan karyanya hingga
sekarang masih dijadikan rujukan di dunia.
Namun, kemajuan peradaban Islam di Timur Tengah runtuh
akibat penyerangan penguasa Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Mereka
membakar dan memusnahkan perpustakaan beserta buku-bukunya. Begitu pula di
Andalusia (Spanyol) dan wilayah Islam Eropa lainnya. Ditambah lagi sering
terjadinya perselisihan di antara golongan-golongan umat Islam sehingga Islam
mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan sampai awal Abad Modern.
Pada masa kejayaan Islam, hampir setiap ulama atau ilmuwan
Muslim dalam menguraikan ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya saling berbeda
satu sama lain. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi sebuah kerugian karena
dengan perbedaan di antara mereka menunjukkan betapa kaya ilmu pengetahuan yang
diciptakan umat Islam. Jika dihitung dari abad klasik Islam sampai abad modern,
jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu ilmuwan Muslim dan ulama yang memiliki
karya-karya monumental. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)