Selasa, 26 Juli 2022

Musibah di Negeri Kita

KEMARIN kita melihat betapa nelangsanya saudara-saudara kita yang mengalami musibah berupa banjir, gempa, gunung meletus, badai, dan lainnya. Terakhir, kita juga melihat melalui media tentang kasus pembagian zakat yang berakhir dengan kematian dan pembagian daging qurban yang ricuh. 

Memang, yang paling membuat kita harus trenyuh dan miris dalam hati, bukan saja musibah berbentuk fisik atau hilangnya barang dan harta akibat banjir, kebakaran, pembunuhan, tapi hilangnya moralitas para pejabat yang pada saat krisis pun tak masih tetap berupaya menguntungkan diri sendiri. Apalagi menjelang pemilu, hampir semua caleg dan capres yang memampangkan dirinya melalui papan iklan maupun famplet yang kini bertebaran di jalan-jalan, seolah-olah menggambarkan bahwa merekalah yang akan menjadi “pahlawan” yang bisa membereskan semua persoalan negeri ini. Entah, apakah mereka semua ‘ngeh’ dengan musibah yang terjadi sekarang ini atau justru mau menambah lagi “musibah”? 

Meski memang itu semua adalah sebuah musibah, tapi kita tak boleh menyalahkan takdir. Kita harus mulai introspeksi dan melihat lingkungan sekitar serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya bencana tersebut. 

Namun yang paling penting, bukan sekedar mengetahui sebab-musabab datangnya musibah dan penanggulangannya, tapi juga harus mengambil hikmah dibalik semua kejadian tersebut. 

Bila kita menelusuri tugas apa yang diemban manusia di dunia ini, tentu akan dijawab menjadi khalififah, makhluk Allah yang diberi kemampuan mengelola, merawat, dan  melestarikan alam ini sekaligus mendayagunakannya dengan baik. Bila manusia sebagai khalifah tak mumpu mengelolanya dengan baik, maka akan muncul musibah-musibah dari hukum alam ini yang susah sekali untuk mengelakkannya. 

Sebenarnya, bila dilihat al-Quran, munculnya musibah tak seluruhnya akibat ulah manusia. Tapi alam pun terlibat juga. Sekedar contoh, angin yang berhembus mendistribusi awan (QS al-Baqarah/2:164) dan menyebabkan penyerbukan dalam dunia tumbuh-tumbuhan (Q.S. al-Kahfi/18:45), tiba-tiba tampil begitu ganas memorak-porandakan segala sesuatu yang dilewatinya (QS Fushshilat/41:16). Atau gunung-gunung asalnya diposisikan sebagai pasak bumi (QS al-Naba'/78:7), tiba-tiba memuntahkan debu, lahar panas, dan gas beracun (QS al-Mursalat/77:10). 

Bencana seperti ini merupakan ujian bagi kita. Karena musibah menimpa bukan saja menimpa yang berdosa, tapi orang yang beriman pun kena. Apakah ini azab dari Allah swt? Marilah kita hindarkan anggapan bahwa ini merupakan azab atas dosa-dosa yang diperbuat para korban sendiri. Sebab ketika menganggap ini azab, maka bagi korban yang menderita akan mendapatkan kesusahan dua kali. Pertama, musibah itu sendiri dan yang kedua adalah suudlon (buruk sangka) sehingga membuat kita makin bermusibah. Azab Allah Ta`ala di dalam Alquran hanya menimpa mereka yang durhaka dan tidak bagi  mereka yang saleh.  Sedangkan musibah atau bala bencana tak membedakan satu sama lainnya. Sekedar contoh yaitu, banjir besar (atau tsunami pertama) yang ditimpakan pada umat Nabi Nuh; bencana alam dahsyat berupa suara yang menggemuruh yang dialami umat Nabi Syu'aib; tanah longsor dahsyat ditimpakan kepada umat Nabi Luth. 

Lalu, bagaimana kita menyikapi musibah yang di luar kemampuan manusia untuk mengelolanya? Kesatu, kita maknai bahwa peristiwa musinah yang terjadi semata-mata ujian dari Allah. Ujian ini hadir sebagai upaya yang akan menaikkan derajat keimanan kita. Seperti sabda Rasulullah saw,  ''Siapa yang akan diberi limpahan kebaikan dari Allah, maka diberi ujian terlebih dahulu” (HR Bukhari dan Muslim). 

Kedua, setiap ujian harus dhadapi dengan kesabaran. Sebab kesabaran adalah sebuah tanda lulusnya sebuah ujian. 

Ketiga, seberat apa pun ujian yang berupa musibah alam raya ini harus yakin bahwa Allah pasti sudah proprosional dalam memberikan ujiannya dan tak akan melebihi kesanggupan orang yang tertimpanya. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya'' (QS Al-Baqarah [2]: 286). 

Keempat, apapun bentuk musibah yang di derita seorang muslim, baik itu berupa kesusahan, penderitaan maupun penyakit, Allah akan menghapus sebagian kesalahan dan dosanya. 

Kelima, bagi kita yang tidak secara langsung mengalami musibah, hendaknya menjadikan peristiwa tersebut sebagai momentum untuk menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah, sehingga akan menguatkan keimanan kita bahwa Allah Yang Mahakuasa. 

Namun, bagaimana dengan musibah yang berkaitan dengan agama berupa pembagian zakat dan daging qurban serta kelakuan-kelakuan para pejabat yang membuat kaum dhuafa dan miskin terus tertindas dan tak berdaya dari hari ke hari. Saya kira urusan ini sangat kompleks dan butuh pengakuan dari masing-masing yang berkaitan dengan ”musibah” tersebut. 

Bersyukur masih ada KPK yang gencar melakukan penangkapan, tapi yang ditangkap masih kecil jumlah dibandingkan yang belum ditangkap. Saya kira di akhir 2008 ini kita harus berupaya introspeksi dan evaluasi,  di semua lini dan bagian kehidupan kita, akankah terus negeri ini ditimpa musibah demi musibah?  Kita berharap musibah yang menimpa negeri tercinta ini akan membawa kebaikan-kebaikan dan menjadikan kita waspada serta selalu sadar tentang perlunya hidup selara dengan alam, masyarakat, dan selaras dengan aturan Allah.  Mari kita mengambil hikmahnya. *** (ahmadsahidin)