Rabu, 13 Juli 2022

Mengupas Buku Api Sejarah (1)

TULISAN ini bermula dari sebuah diskusi tentang buku Api Sejarah (jilid 1) karya Ahmad Mansur Suryanegara yang terbit 2009 oleh Salamadani Publishing. Saya dan teman kemudian mendiskusikan kembali. 

Dari diskusi itu kemudian melebar pada problem yang bersifat ideologis dan metodologi sejarah. Pembahasan yang menjadi perbincangan adalah mengenai komentar salah seorang  alumni S2 (Sejarah) Universitas Indonesia, yang menyebutkan bahwa buku Api Sejarah merupakan historigrafi Islam Indonesia yang bisa disebut utuh. Bahkan, ia juga menyayangkan buku tersebut tidak muncul dari sejarawan lulusan UIN atau dosen sejarah di perguruan tinggi Islam, malah lahir dari dosen sejarah Universitas Padjajaran Bandung yang disebutnya sekuler. Beliau juga memberikan sejumlah kritik terhadap pola pengajaran dan kurikulum jurusan sejarah di UIN yang mengekor pada Barat.  

Menurutnya, jurusan sejarah (Sejarah Peradaban Islam atau SPI) UIN tidak memberikan pendidikan sejarah yang kritis terhadap sejarah Islam, khususnya periode akhir Khulafa Ar-Rasyidin. Hanya menampilkan sisi konflik ketimbang sisi kedamaian dan ukhuwah. Karena itu, menurutnya, sambil menyetujui/membenarkan buku Pak Mansur, bahwa sangat tidak mungkin terjadi konflik di tengah umat Islam seperti Perang Jamal, Perang Nahrawan, Perang Siffin, dan lainnya karena yang menulis tentang semua itu sumbernya datang dari Barat dan Yahudi. Mereka tidak senang pada Islam, sehingga sejarah Islam yang disebarkan harus membuat umat Islam rendah diri dan tidak bangga dengan kebesaran Islam. 

Dalam milis tersebut, kemudian saya beri tanggapan seadanya. Saya hanya mengomentari bahwa sebenarnya sudah ada beberapa karya yang ditulis para alumni dan dosen UIN. Namun, khusus seperti buku Pak Mansur yang lebih mengedepankan dakwah dan membanguskan citra Islam tetapi kurang kritis dari segi peristiwa atau tema sejarah yg diambil, atau hanya mengandalkan interpretasi subjektif tanpa didukung data yang komplet, saya kira alumni dan dosen SPI tidak akan melakukannya. Meski saya beridentitas Muslim, tetapi dalam urusan ilmu pengetahuan dan keilmuan berpijak pada standar keilmuan. Apalagi sejarah, memiliki metodologi tersendiri. Jika sekadar pengayaan wacana, mungkin interpretasi Pak Mansur bisa masuk. Akan tetapi, jika berbicara akurasi sejarah layak disangsikan kebenarannya. 

Bagi saya, pernyataan dari kawan itu sebuah bukti masih bercokol paradigma hitam putih atau pemisahan antara Islam dan bukan Islam. Jika kita mau melirik sebentar pada khazanah filsafat yang dikeluarkan para filsuf Muslim, misalnya Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Arabi, sangat tampak tentang kesatuan ranah ilmu. Sebagai contoh pandangan kosmologi Farabi bahwa semuanya berasal dari satu sumber: Tuhan. Dari yang satu itu kemudian memancar dan melahirkan keanekaragaman. Intinya, dalam bidang keilmuan, unsur ideologis dan subjektif perlu untuk dilepas sebelum menemukan titik terang kebenaran. Urusan sejarah dan berkarya, saya kira jika mau didata akan tampak lebih banyak karya yang dihasilkan teman-teman UIN/IAIN. Buku yang bernuansa ideologis dan sekadar bermuatan dakwah, bisa saja lahir dari orang yang tidak bergelut dari sejarah. 

Saya teringat pada kajian hadis dan tafsir bahwa di dalamnya terdapat aturan yang jelas dengan metodologi yang khusus berkaitan dengan ilmu tersebut. Apalagi sejarah, saya kira karya Rasul Jafarian, Marshal Hodgson, Ira Lapidus, dan sejarawan ternama lainnya pasti tidak lepas dari metodologi sejarah. 

Nah, di sini yang perlu dipertanyakan: sudah adakah dalam Islam atau kaum Muslim atau sejarawan Muslim memiliki metodologi sejarah dan historiografi khas Islam? Apakah penulisan sejarah dan metode yang digunakan Pak Mansur selama ini bisa disebut mewakili khas Islam? Bukankah beberapa nama sejarawan di Indonesia (yang nasionalis dan sekular) jika diihat dari KTP tertera beragama Islam? Apa sih kriteria dari sosok sejarawan Muslim itu?

Adapun tentang "sangat tidak mungkin terjadi konflik dalam Islam seperti Perang Jamal, Perang Nahrawan, Perang Siffin, dan lainnya". 

Bagi saya kalimat tersebut secara ekstrem bisa dikatakan tidak mengakui keabsahan karya sejarah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun, Ibnu Jarir Ath-Thabary, Al-Mas`udi, Ibnu Hisyam, Muhammad bin Abdul Karim Ahmad Al-Syahrastani, Muhammad Husein Haikal, Rasul Ja`farian, Syed Mahmudunnasir, Ali bin Muhammad bin Atsir yg menulis kitab Al-Kamil fi Al-Tarikh, Maqatil bin Athiyah Al-Hanafi yang menulis kitab Al-Imamah wa Al-Khilafah,Ibnu SaĆ¢ad Al-Waqidi yang menulis Ath-Thabaqat Al-Kubra, Abdul Fattah Abdul Maqshud yg menulis kitab As-Saqifah wa Al-Khilafah, Ahmad bin Abi Yaqub Al-Yaqubi yang menulis kitab Tarikh Yaqubi, atau para muhadits dan mufasir yang banyak meriwayatkan tentang kejadian yang berhubungan dengan sejarah masa Rasulullah saw dan perilaku sahabat pasca Rasulullah saw. 

Ketahuilah hampir semua informasi sejarah Islam dan peradaban umat Islam yang sampai kepada kita dan diajarkan di jurusan SPI berasal dari karya mereka. Saya yakin mereka semua dalam menulisnya berdasarkan pada sumber yang valid. Unsur keberpihakan politik atau teologi (mazhab) pasti ada dan itu wajar. 

Sekali lagi: haruskah membuang semua karya para muarikh atau muhadis atau mufasir hanya sekedar untuk membenarkan pernyataan Pak Mansur yang termuat dalam buku "Api Sejarah: dan buku "Menemukan Sejarah", khususnya masalah sejarah Islam perode khulafarasyidun dan setelahnya; yang katanya berasal dari atau diciptakan Barat untuk membuat Islam itu horor. 

Jika sekadar ingin menampilkan Islam yang jaya: tulislah sejarah Islam yang diambilnya hal-hal yang bagus dan membanggakan. Jika tidak ada sumbernya, karang atau ciptakan dari imajinasi sendiri. Saya kira imajinasi adalah sumber yang tak pernah kering. Kalau ini yang dilakukan maka bukan karya sejarah, tetapi karya novel atau buku pencerahan jika mengandung ilmu dan mencerahkan akal. (bersambung)