Jumat, 15 Juli 2022

Mengupas Buku Api Sejarah (3)

Diskusi pun berlanjut. Seorang alumni S2 sejarah UI kembali merespon bahwa yang dikemukakan terlampau pleonastis. Menurutnya, soal konflik Jamal dan Shiffin yang diuraikan saya salah tangkap. Ia hanya ingin menjelaskan dalam perspektif sejarah bahwa konflik-konflik yang terjadi di awal sejarah Islam ini bukan semata-mata "perebutan kekuasaan" seperti yang dipahami belakangan ini. 

Soal data-data dan metodologi dalam sejarah, ia bilang masih ingat dengan apa yang diajarkan Nina Herlina Lubis saat kuliah S1 sejarah di Unpad atau Prof. Leirizza di S2 sejarah UI. Jadi, tidak akan debat kusir dan ia katanya masih lihat-lihat buku-buku metodologi sejarah.

Selanjutnya, alumni SPI UIN yang kini beraktivitas di dunia informatika masuk dan berkomentar. Menurutya, dalam historiografi kita belajar tentang obyektifitas dan subyektifitas sejarah. Lantas ia bertanya, apa benar memperjuangkan nilai dakwah itu bertentangan dengan "objektifitas". 

Kemudian ia juga mengulas tentang sejarawan yang otoritatif. Menurutnya, membincangkan hal ini sangat menarik sekali. Ia juga bilang bahwa ia membaca tulisan Iip Zulkifli Yahya yang "menelanjangi" argument-argumen Nina Herlina Lubis. Namun, sayang karena Iip bukan sejarawan atau ia sebut sebagai "sejarawan jalanan" karena bukan alumni sejarah sehingga cenderung terabaikan dan tidak ada tanggapan balik dari Nina Herlina Lubis. 

Adapun tentang buku Api Sejarah karya Pak Mansur, salamadani selaku penerbit telah mengadakan diskusi. Di samping kepentingan bisnis, juga untuk menguji terbukti buku tersebut. Terbukti Dr.Asvi Warman di undang dan juga yang lainnya sehingga ia yakin bahwa buku Pak Mansur itu masuk dalam "pengujian". 

Saya langsung menanggapinya. Saya menerangkan bahwa hubungan sejarah dan dakwah tampaknya “pabaliut” karena konteks sejarah secara ilmiah untuk wilayah kajian ilmiah. Sedangkan dakwah bisa diambil dari buku sejarah yang validitas fakta dan data sejarahnya teruji secara ilmiah. Dakwah berbalut dengan kebohongan, pastinya dilarang dalam Islam. 

Saya juga menyampaikan bahwa Pak Mansur dalam setiap diskusi yang saya ikuti kadang lompat-lompat dalam menjawab pertanyaan, khususnya mengenai validitas sejarah. Bersama Pak Asvi Warman, malah mengelak saat dikatakan buku Api Sejarah bagus hanya saja sumbernya termasuk sekunder. Pak Mansur malah menjawab dengan analogi bahwa Al-Quran menceritakan sejarah-sejarah Nabi dan bangsa terdahulu semata-mata memberikan pesan kepada umat. Menurutnya, sejarah yang ditulisnya juga seperti itu. 

Kemudian waktu dikejar sumber dari interpretasi “Merah Putih” sebagai bendera Rasulullah saw hanya mengutip Al-Quran. Kalau memang sejarawan harusnya mengacu pada bendera yang dipakai Rasulullah saw. Kalau tak salah berwarna hitam dan untuk panji ada warna putih. 

Begitu juga perihal batik, Pak Mansur mengira-ngira berasal dari kreasi Walisongo; yang kepanjangan dari bismilllahirrahmanirrahim; yang kemudian disingkat menjadi “ba, titik” dan diucapkan “batik”. Hal itu terlahir, menurut Pak Mansur, karena ingin membusanai rakyat Jawa yang berada dalam kekuasaan Dinasti Majapahit dan kain busana itu oleh para Walisongo disebut batik. Kemudian saat salah seorang mahasiswa bertanya sumbernya, apakah lisan atau artefak, Pak Mansur hanya menjawab dengan tingkah laku Hayam Wuruk dalam memperakukan masyarakat dan menegaskan bahwa batik budaya Islam. Sebab menurut Pak Mansur bahwa gambar di candi-candi bergambar orang yang tidak berpakaian lengkap. Saya melihat gambar tersebut karena memang jiwa zaman waktu itu belum masuk pada kebudayaan busana alias masih sederhana. 

Saya juga melaporkan beberapa diskusi Api Sejarah yang digelar di kampus dengan pembandingnya seorang ahli sejarah hanya beberapa tempat: (1) Pra launching di Landmark Braga Bandung bersama Dr.Ajid Thohir, dosen sejarah S2 UIN Bandung. Kang Ajid tidak memberikan kritik dalam diskusi tersebut dan lebih banyak bernostalgia. Kalimatnya yang masih ingat tentang buku Api Sejarah adalah “biarlah masyarakat yang akan menilai buku ini”; (2) Diskusi di UNPAD Jatinangor bersama Asvi Warman dan Reiza Dienaputra. Pak Mansur diserang secara metodologis oleh Asvi; (3) Diskusi di UNPAD Dipatiukur bersama Maman Kh dari UIN Jakarta; dan (4) diskusi di Masjid PP Persis bersama Tiar Anwar Bahtiar, pengajar sejarah dan alumni S2 ilmu sejarah UI. Sedangkan diskusi ditempat lainnya hanya bentuk promosi saja dan tampil solo serta lokasinya bukan wilayah kampus: masjid, perusahaan, dan pameran buku. Dalam diskusi yang bukan bersama ahli sejarah tersebut bukan pengujian materi sejarah secara ilmiah, tetapi menurut saya bagian dari promosi dan memprovokasi orang untuk membeli. 

Saya sendiri kagum dengan buku Api Sejarah karya Pak Mansur ini karena dengan buku tersebut ternyata masyarakat masih menyukai sejarah dan merindukan kebenaran. Jadi, kalau dibilang sejarah itu sesuatu yang tidak laku atau langka diminati; dengan hadirnya buku Api Sejarah terbantahkan. Sekarang sudah cetakan dua dan terus mengalir orang-orang yang meminta untuk menggelar diskusi buku Api Sejarah. Kabarnya, pada pertangahan 2010 buku Api Sejarah (jilid 2) akan terbit yang isinya melanjutkan kupasan buku Api Sejarah jilid 1 dan pasti lebih kontroversi serta penuh gugatan-gugatan sejarah. ***