Kamis, 14 Juli 2022

Mengupas Buku Api Sejarah (2)

Kemudian seorang dosen UIN Bandung masuk dan memberikan komentar bahwa soal penggambaran sejarah Islam yang penuh dengan peperangan dan pertumpahan darah di perguruan tinggi sangat terbuka. Itu soal kekayaan data dan fakta. Harus diakui, buku-buku sejarawan Barat seringkali lebih kaya akan data dan fakta sehingga lebih memiliki kekuatan. Yang diperlukan bukan pembelaan bahwa "tidak mungkin sejarah Islam penuh dengan peperangan dan pembunuhan" tapi sejauh mana para sejarawan Muslim mampu menuliskan sejarahnya sendiri yang ilmiah dan ini belum banyak dilakukan. Harap dicatat, kita membaca uraian sejarah seperti itu jutsru dari para penulis Muslim sendiri misalnya dari buku-buku Harun Nasution yang sangat berpengaruh di UIN. Harun menuliskan sejarahnya juga menggunakan sumber-sumber barbahasa Arab. 

Menurutnya, ia tidak setuju dengan pandangan bahwa buku Api Sejarah karya Pak Mansur itu sangat bagus. Di mata beliau, secara ilmiah buku itu banyak kekurangannya. Yang harus diapresiasi adalah semangatnya, tetapi dalam banyak penjelasannya belum memiliki keakuratan data dan fakta serta kekuatan untuk meluruskan sejarah Indonesia. 

Seperti kata Dr. Asvi Warman, buku Pak Mansur menggunakan sumber-sumber sekunder yang tidak bisa dilacak keberadaannya. Jadi, secara ilmiah, masih lemah. Dengan kata lain, buku itu lebih bersemangat dakwah daripada ilmiah. Seharusnya, dakwahnya itu ditunjang oleh akurasi ilmiah berupa kekuatan data sehingga buku itu memiliki kekuatan. Jadi, menurutnya, "Buku yang Akan Mengubah Drastis Pandangan Sejarah Anda tentang Sejarah Indonesia" seperti tertulis di jilidnya itu hanya iklan saja. Namun, harus dicatat,  ia sangat mengapresiasi dan mendukung usaha Pak Mansur. Terhadap buku Pak Mansur, bukan hanya kritik yang diperlukan, tapi penyempurnaan. Usaha dan perjuangan Pak Mansur perlu dilanjutkan. 

Beberapa hari kemudian muncul seorang mahasiswa yang sedang kuliah di Belanda. Menurutnya, konsep "sejarah yang membanggakan" mengandung pengertian bahwa sejarah yang ditulis haruslah mengungkapkan hanya sisi baiknya saja, atau setidaknya sebagian besar yang ditampilkan adalah sisi baiknya saja. Jika demikian maka konsep sejarah yang membanggakan bersebrangan dengan prinsip sejarah yang berbicara tentang kejadian yang sebenarnya berdasarkan fakta-fakta yang dikumpulkan secara ilmiah. terlebih lagi ini tidak relevan dengan proses pelurusan sejarah yang digadang-gadang oleh sejarawan terhadap penulisan sejarah di Indonesia paska reformasi. Kita ingat bangaimana orang mengkritik historiographi Indonesia yang ditulis pada masa Orde Baru, di mana negara memanipulasi sejarah dan tidak menampilkan sejarah yang apa adanya. Dengan demikian maka sejarah yang membanggakan menjadi lawan dari sejarah yang apa adanya. 

Bahkan tudingan adanya pengaruh Barat dan Yahudi oleh beliau karena ada kendala geograpis dan sumber daya manusia sehingga sumber yang mudah di akses adalah karya-karya dari Barat.

Tentu saja ada kekurangan dan kelebihan dalam menuliskan sejarah dari sumber Barat. Akan tetapi, sejumlah buku yang dikarang oleh pengarang barat juga menggunakan banyak sumber-sumber dari dunia Islam yang kita belum mampu untuk mengaksesnya. Sebagai contoh bagaimana Prof. Patrick Corn menuliskan sejarah khalifah menggunakan berbagi sumber, termasuk atsar dari para sahabat, selain numismatik dan sumber-sumber dokumen lainya. Namun, perlu di ingat juga bahwa rasa cinta terhadap Islam, khusunya sejarah Islam juga dilakukan dengan cara-cara yang akademis jika produk yang kita ingin hasilkan berupa produk akademis. 

Pada diskusi itu saya menyatakan setuju dengan pendapat dosen UIN tersebut, khususnya tentang kekayaan data dan fakta sejarah yang sering terungkap oleh sejarawan Barat. Saya membaca Ira M. Lapidus, tampak sangat kuat sekali dalam menggambarkan perkembangan Islam dari sejak Arab pra-Islam sampai Islam masa modern. Aspek geografis, sosiologis, dan dinamika umat Islam dalam sejarah digambarkan dengan gamblang. Bahkan, jika melihat referensi yang digunakannya terlihat kaya dan memang seorang sejarawan harus banyak memiliki referensi dalam menuliskan karyanya, khususnya yang termasuk sumber primer. 

Apalagi jika melihat Marshal GS Hodgson, gambaran analisa terhadap kawasan-kawasan Islam begitu kuat dengan analisa sosiologi. Pada buku bagian kesatu yang diterjemahkan Mulyadhi Kartanegara, Hodgson memberikan penjelasan tentang metodologi dalam menulis karyanya, The Venture of Islam. Tentang teori dan analisa yang dipakai dalam membaca sejarah Islam dan perkembangan umat Islam, pemikiran Hodgson banyak diapresiasi para sarjana Muslim, bahkan diajarkan di program S-1 jurusan Sejarah UIN Bandung dan S-2 Sejarah Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Bandung. 

Saya kira wajar dipakai karena selama ini belum ada dari kaum Muslim yang berani memberikan analisa, bahkan memunculkan metodologi sejarah yang khas Islam. (Ada gak ya?) Memang harus diakui, sejumlah sejarawan Barat, misalnya si Bernard Lewis, sangat terlihat memperlihatkan Islam berwajah ekstreem, darah, dan konflik. Saya yakin para mahasiswa, dosen, alumni, dan peminat sejarah bisa membedakannya antara yang benar-benar jujur dan tidak jujur, antara yang tuntutan ilmiah dengan tuntutan politis atau kepentingan finansial atau projek globalisasi. 

Persoalan buku/karya yang mengambarkan Islam yang maju dan membanggakan, saya kira sudah ada yang ditulis kaum Muslim seperti Azyumardi Azra yang menggambarkan jaringan intelektual ulama Nusantara dan kontribusinya dalam khazanah peradaban dunia (Islam). Kalangan Muslim Syiah di Iran pun banyak menelurkan karya-karya brilian mengenai sejarah Islam, khususnya dalam khazanah intelektual Islam dan peradaban Islam. Bahkan, di Jakarta telah muncul sebuah sekolah yang khusus mengkaji warisan intelektual Islam, yaitu ICAS (yang bekerjasama dengan komunitas Muslim Inggris dan Iran). (bersambung)