Selasa, 31 Maret 2020

Khulafa Rasyidun: Khalifah Umar bin Khatab ra

Ketika memerintah, Khalifah Umar bin Khatab ra (634-644 M.) memprakarsai penanggalan kalender hijriah dan menyerahkan urusan pemerintahan pada orang-orang Romawi yang belum masuk Islam; mempelopori shalat tarawih berjamaah di masjid dan tidak menghukum pencuri saat masa paceklik terjadi. Khalifah Umar juga mengharamkan menangisi mayat, melarang menulis hadits atau sunah Rasulullah saw, mengharamkan haji tamattu yang merupakan sunah Nabi saw, dan mengharamkan perkawinan sementara (mut`ah).

Khalifah Umar juga melakukan perubahan dalam azan dengan menghilangkan kalimat “hayya ‘alal khairil ‘amal” (setelah kalimat “hayya ‘alal falah”) digantinya dengan “ashshalatu khairum minannaum” yang sering dikumandangkan setiap subuh, menetapkan kedua tangan agar bersedekap saat berdiri dalam shalat dan menetapkan ukuran baligh dengan enam jengkal yang bertentangan dengan sunah Rasulullah saw bahwa seorang anak lelaki baligh jika sudah mengalami ihtilam (mimpi bersebadan).

Sejarahwan Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Imran bin Sawad berkata, “Aku shalat subuh bersama Khalifah Umar bin Khaththab dan setelah itu aku mengikutinya. Umar mengetahui bahwa aku mengikutinya sehingga bertanya kepadaku: “Engkau ada keperluan?”

“Ada, yaitu nasihat!” kataku.

“Bagus!” ujar Khalifah Umar.

“Orang melihat Anda telah berbuat kesalahan dalam beberapa hal,” kataku. Khalifah Umar sambil memegang cemeti berkata: “Nah?”

Kemudian aku berkata lagi: “Anda telah melarang orang melakukan umrah pada bulan-bulan haji. Padahal Nabi Muhammad saw mmbolehkannya. Abu Bakar pun tidak berbuat seperti Anda.”

 Khalifah Umar segera menjawab: “Ini tidak lain untuk memperlihatkan kepada orang bahwa mereka tidak dibebaskan dari kewajiban menuaikan ibadah haji kalau mereka menunaikan umrah.”

 “Anda telah melarang pernikahan mut`ah dengan perempuan, padahal Nabi membolehkannya?” tanyaku lagi.

Khalifah Umar menjawab: “Aku ini setara dengan Muhammad; aku berbuat maksimal untuk mereka. Kalau aku tidak berbuat begitu maka aku akan meninggalkan kebenaran.”

Diceritakan pada sebuah peperangan, Khalifah Umar ditikam dengan pedang oleh seorang Persia bernama Fairus alias Abu Luluah. Melihat kondisi tubuhnya yang semakin kritis, Khalifah Umar segera membentuk majelis syura untuk memilih khalifah setelahnya dengan menunjuk dewan formatur yang terdiri dari Sa`d bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Al-Zubair bin Al-Awwam, dan Usman bin Affan.

Khalifah Umar berkata, “Jika seseorang dari mereka menentang dan lima setuju, bunuhlah dia. Jika dua menentang dan empat setuju maka bunuhlah keduanya. Jika tiga menentang dan tiga lagi setuju maka pilihlah pihak yang ada Abdurrahman bin Auf.”

Kemudian diadakan pemilihan khalifah yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf dengan menetapkan dua calon: Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Affan. Abdurrahman bertanya kepada Ali, “Bagaimana kalau aku membaiat Anda untuk bekerja berdasarkan Kitab Allah, sunah Rasulullah saw, dan mengikuti jejak dua orang khalifah yang lalu?” Dengan tegas Ali menjawab, “Tidak! Aku menerima jika didasarkan kepada Kitab Allah, sunah Rasulullah saw, dan ijtihadku sendiri.”

Kemudian Abdurrahman bin Auf mendatangi Utsman bin Affan dan mengajukan pertanyaan yang sama. Utsman bin Affan langsung menjawab, “Ya.”  

Mendengar pernyataan Usman yang menyatakan menerima, maka Abdurrahman bin Auf langsung memegang tangannya sebagai pembaiatan pemimpin yang ketiga menggantikan Khalifah Umar bin Khatab.***

(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)