Ketika memerintah, Khalifah Umar bin Khatab ra (634-644 M.) memprakarsai penanggalan kalender hijriah dan menyerahkan urusan pemerintahan pada orang-orang Romawi yang
belum masuk Islam; mempelopori shalat tarawih
berjamaah di masjid dan tidak menghukum pencuri saat masa paceklik terjadi. Khalifah Umar juga mengharamkan menangisi mayat, melarang
menulis hadits atau sunah Rasulullah saw,
mengharamkan haji tamattu yang merupakan sunah Nabi saw, dan mengharamkan
perkawinan sementara (mut`ah).
Khalifah Umar juga
melakukan perubahan dalam azan dengan menghilangkan kalimat “hayya ‘alal
khairil ‘amal” (setelah kalimat “hayya ‘alal falah”) digantinya
dengan “ashshalatu khairum minannaum” yang sering dikumandangkan setiap
subuh, menetapkan
kedua tangan agar bersedekap saat berdiri dalam
shalat dan
menetapkan ukuran baligh dengan enam jengkal yang bertentangan dengan
sunah Rasulullah saw bahwa seorang anak lelaki baligh jika sudah
mengalami ihtilam (mimpi
bersebadan).
Sejarahwan
Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Imran bin Sawad berkata, “Aku shalat
subuh bersama Khalifah Umar bin Khaththab dan setelah itu aku mengikutinya. Umar mengetahui
bahwa aku mengikutinya sehingga bertanya kepadaku: “Engkau ada keperluan?”
“Ada, yaitu nasihat!” kataku.
“Bagus!” ujar Khalifah Umar.
“Orang melihat Anda telah berbuat kesalahan dalam
beberapa hal,” kataku. Khalifah Umar sambil memegang cemeti berkata: “Nah?”
Kemudian aku berkata lagi: “Anda telah melarang orang
melakukan umrah pada bulan-bulan haji. Padahal Nabi Muhammad saw mmbolehkannya.
Abu Bakar pun tidak berbuat seperti Anda.”
Khalifah Umar segera menjawab: “Ini tidak lain
untuk memperlihatkan kepada orang bahwa mereka tidak dibebaskan dari kewajiban
menuaikan ibadah haji kalau mereka menunaikan umrah.”
“Anda telah melarang pernikahan mut`ah
dengan perempuan, padahal Nabi
membolehkannya?” tanyaku lagi.
Khalifah Umar menjawab: “Aku ini setara dengan Muhammad; aku berbuat maksimal
untuk mereka. Kalau aku tidak berbuat begitu maka aku akan meninggalkan
kebenaran.”
Diceritakan pada sebuah peperangan, Khalifah Umar ditikam dengan pedang oleh seorang Persia bernama Fairus alias Abu
Luluah. Melihat kondisi tubuhnya yang semakin kritis, Khalifah Umar segera
membentuk majelis syura untuk memilih khalifah setelahnya dengan
menunjuk dewan formatur yang terdiri dari Sa`d bin Abi Waqas, Abdurrahman bin
Auf, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Al-Zubair bin Al-Awwam, dan
Usman bin Affan.
Khalifah Umar berkata, “Jika seseorang dari mereka menentang dan lima setuju,
bunuhlah dia. Jika dua menentang dan empat setuju maka bunuhlah keduanya. Jika
tiga menentang dan tiga lagi setuju maka pilihlah pihak yang ada Abdurrahman
bin Auf.”
Kemudian diadakan pemilihan khalifah yang dipimpin oleh
Abdurrahman bin Auf dengan menetapkan dua calon: Ali bin Abi Thalib dan Usman
bin Affan. Abdurrahman bertanya kepada Ali, “Bagaimana kalau aku membaiat Anda
untuk bekerja berdasarkan Kitab Allah, sunah Rasulullah saw, dan mengikuti
jejak dua orang khalifah yang lalu?” Dengan
tegas Ali menjawab, “Tidak! Aku menerima jika didasarkan kepada Kitab Allah,
sunah Rasulullah saw, dan ijtihadku sendiri.”
Kemudian Abdurrahman bin Auf
mendatangi Utsman bin Affan dan mengajukan pertanyaan yang sama. Utsman bin
Affan langsung menjawab, “Ya.”
Mendengar pernyataan Usman yang menyatakan menerima, maka Abdurrahman bin Auf langsung memegang tangannya sebagai pembaiatan pemimpin yang ketiga menggantikan Khalifah Umar bin Khatab.***
(Diambil dari buku SEJARAH
POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:
Acarya
Media Utama, Bandung, tahun 2010)
Mendengar pernyataan Usman yang menyatakan menerima, maka Abdurrahman bin Auf langsung memegang tangannya sebagai pembaiatan pemimpin yang ketiga menggantikan Khalifah Umar bin Khatab.***