Kamis, 06 Oktober 2016

Peduli Lingkungan

UMAT Islam sudah diingatkan Allah dalam Al-Quran tentang bahaya dari ulah-ulah manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Semua kerusakan di alam ini jelas akibat manusia yang kurang tidak menyadari efek dari tingkahnya itu.

Membuat sampah disembarang tempat dan ke parit atau got kompleks mengakibat aliran pembuangan mampet dan menimbulkan bau tak sedap. Ketika hujan turun, air yang mengalir tertahan hingga meluap ke jalan dan mengakibatkan banjir atau tergenang. Air yang tergenang sampai berhari-hari menimbulkan penyakit berupa kutu air karena bercampur dengan kotoran dan merusak aspal jalan seperti berlobang dan pecah-pecah. Sangat tampak dan terasa hal itu bila sedang menggunakan kendaraan badan kita bergoyang dan tak enak saat mengendarakan atau menumpangnya. Tak jarang setelah turun hujan kita sering menemukan kemacetan jalan akibat banjir atau yang menggenang. Juga kita lihat di media massa (cetak,elektronika, atau online) tentang kerugian material dan penyakit yang diderita masyarakat yang terkena banjir. Itu semua terjadi akibat dari kecerobohan dan ketidaksadaran manusia terhadap lingkungan sekitarnya.

Masalah kepedulian dan kesadaran terhadap alam sekitar atau lingkungan hidup manusia berpokok dari akhlak manusia itu sendiri. Kurangnya pemahaman keimanan (akidah) dan keislaman (syariat) di masyarakat menyebabkan tidak tumbuhnya perilaku atau akhlak yang terpuji pada diri seseorang. Ilmu yang berkaitan dengan masalah akhlak mulia ini memang sejak di Taman Kanak-kanak/Taman Pendidikan Al-Quran (TK/TPA) telah diajarkan oleh guru atau ustadz-ustadzah yang mengajarkan beserta dalil dan praktiknya. Bukannya tidak berhasil dalam mengajarkan akhlak mulia, tapi baru sekadar menjadi wawasan atau ilmu semata. Akhlak mulia yang dipelajari oleh bkita semua belum menjadi bagian dari kehidupan; sehingga dalil atau ilmu yang didapat sejak kecil sampai dewasa tidak berbekas dan belum berwujud.

Sekadar contoh, bila kita berkunjung ke pesantren, masjid, dan sekolah di daerah, tak jarang kita menemukan lingkungan yang kurang bersih: sampah bekas makanan berserakan, bak air penuh lumut dan jentik, kakus yang baunya menyangat sampai keluar, air bekas kencing bercampur dengan buang hajat terapung karena tersumbatnya saluran air, dan lainnya. Itu terjadi tidak hanya di daerah, tapi juga di kota-kota besar, terutama di lingkungan instansi pemerintah dan kampus-kampus. Memang ini menjadi tugas pekerja kebersihan. Tapi bila hanya mengandalkan mereka yang serba terbatas dan kadang kelelahan karena banyak yang diurusinya, kebersihan lingkungan dan kesehatan tubuh tak akan terasa oleh kita semua. Urusan kebersihan dan kesehatan bukan hanya urusan petugas kebersihan, tapi menjadi urusan kita semua: dari pejabat tertinggi dan tinggi negara hingga kondektur dan sopir atau mereka yang sehari-hari berada di jalanan. Saya kira hal ini yang harus dicermati oleh semua orang, baik itu pendidik maupun pihak-pihak lainnya.

Menurut saya, pangkal persoalannya terletak pada akhlak. Memang harus diakui persoalan akhlak bukan perkara yang gampang, yang sekali membalik tangan berubah hanya dengan kata simsalabim abragkatabrag. Tidak semudah itu. Urusan akhlak adalah masalah kebiasaan dan pembiasan hidup serta pemahaman agama yang menyerap dalam diri hingga berwujud dalam kehidupan sehari-hari. 

Mereka yang hidupnya tidak terbiasa atau acuh tak acuh terhadap kebersihan di rumah dan lingkungan sekitarnya yang tak mendukung, maka menerapkan akhlak mulia terhadap lingkungan akan terasa berat.

Muhammad Quraish Shihab menerangkan bahwa akhlak terhadap lingkungan meliputi segala sesuatu yang berada di sekitar  manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Menurutnya, akhlak terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah, yang mengharuskan adanya interaksi antara manusia dengan sesama dan manusia terhadap alam sekitarnya. Setiap manusia dituntut untuk bisa menghormati prosesi kehidupan alamiah yang sedang berjalan dan harus bertanggung jawab terhadap semua perusakan yang dilakukannya. Hal ini bisa tumbuh apabila kita menyadari bahwa semua yang terdapat di alam semesta adalah milik Allah dan memiliki ketergantungan kepada-Nya. Bila seorang Muslim menyadari hal ini, maka ia akan memperlakukan semua yang ada sebagai bagian dari kesatuan ”umat” Tuhan yang harus kita perlakukan dengan baik.

Mengenai hal ini Allah Ta`ala berfirman, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat  seperti kamu” (QS Al-An'am [6]:  38); “Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah” (QS Al-Hasyr [59]: 5); dan “Kamu  sekalian  pasti  akan  diminta  untuk mempertanggungjawabkan nikmat  (yang  kamu  peroleh)” (QS At-Takatsur [102]: 8).

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw menyatakan bahwa kebersihan itu bagian dari iman. Beliau juga bersabda dalam sebuah hadits—yang dikutip Quraish Shihab—bahwa “setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan  setiap tetes  hujan  yang  tercurah  dari  langit  akan  dimintakan pertanggungjawaban  manusia  menyangkut  pemeliharaan dan pemanfatannya.”

Harus diakui secara sadar bahwa lingkungan atau alam semesta ini merupakan milik Allah. Kita selaku khalifah-Nya bertanggungjawab memelihara, merawat, dan sadar bahwa semua yang ada dan berhubungan dengan keseharian kita—seperti menjaga lingkungan agar bersih dan tubuh agar sehat—adalah amanat yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat. [ahmad sahidin]