UMAT Islam sudah diingatkan Allah dalam Al-Quran tentang
bahaya dari ulah-ulah manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap
lingkungannya. Semua kerusakan di alam ini jelas akibat manusia yang kurang
tidak menyadari efek dari tingkahnya itu.
Membuat sampah disembarang tempat dan ke parit atau got
kompleks mengakibat aliran pembuangan mampet dan menimbulkan bau tak sedap.
Ketika hujan turun, air yang mengalir tertahan hingga meluap ke jalan dan
mengakibatkan banjir atau tergenang. Air yang tergenang sampai berhari-hari
menimbulkan penyakit berupa kutu air karena bercampur dengan kotoran dan
merusak aspal jalan seperti berlobang dan pecah-pecah. Sangat tampak dan terasa
hal itu bila sedang menggunakan kendaraan badan kita bergoyang dan tak enak
saat mengendarakan atau menumpangnya. Tak jarang setelah turun hujan kita
sering menemukan kemacetan jalan akibat banjir atau yang menggenang. Juga kita
lihat di media massa (cetak,elektronika, atau online) tentang kerugian material
dan penyakit yang diderita masyarakat yang terkena banjir. Itu semua terjadi
akibat dari kecerobohan dan ketidaksadaran manusia terhadap lingkungan
sekitarnya.
Masalah kepedulian dan kesadaran terhadap alam sekitar atau
lingkungan hidup manusia berpokok dari akhlak manusia itu sendiri. Kurangnya
pemahaman keimanan (akidah) dan keislaman (syariat) di masyarakat menyebabkan
tidak tumbuhnya perilaku atau akhlak yang terpuji pada diri seseorang. Ilmu
yang berkaitan dengan masalah akhlak mulia ini memang sejak di Taman
Kanak-kanak/Taman Pendidikan Al-Quran (TK/TPA) telah diajarkan oleh guru atau
ustadz-ustadzah yang mengajarkan beserta dalil dan praktiknya. Bukannya tidak
berhasil dalam mengajarkan akhlak mulia, tapi baru sekadar menjadi wawasan atau
ilmu semata. Akhlak mulia yang dipelajari oleh bkita semua belum menjadi bagian
dari kehidupan; sehingga dalil atau ilmu yang didapat sejak kecil sampai dewasa
tidak berbekas dan belum berwujud.
Sekadar contoh, bila kita berkunjung ke pesantren, masjid,
dan sekolah di daerah, tak jarang kita menemukan lingkungan yang kurang bersih:
sampah bekas makanan berserakan, bak air penuh lumut dan jentik, kakus yang
baunya menyangat sampai keluar, air bekas kencing bercampur dengan buang hajat
terapung karena tersumbatnya saluran air, dan lainnya. Itu terjadi tidak hanya
di daerah, tapi juga di kota-kota besar, terutama di lingkungan instansi
pemerintah dan kampus-kampus. Memang ini menjadi tugas pekerja kebersihan. Tapi
bila hanya mengandalkan mereka yang serba terbatas dan kadang kelelahan karena
banyak yang diurusinya, kebersihan lingkungan dan kesehatan tubuh tak akan
terasa oleh kita semua. Urusan kebersihan dan kesehatan bukan hanya urusan
petugas kebersihan, tapi menjadi urusan kita semua: dari pejabat tertinggi dan
tinggi negara hingga kondektur dan sopir atau mereka yang sehari-hari berada di
jalanan. Saya kira hal ini yang harus dicermati oleh semua orang, baik itu
pendidik maupun pihak-pihak lainnya.
Menurut saya, pangkal persoalannya terletak pada akhlak.
Memang harus diakui persoalan akhlak bukan perkara yang gampang, yang sekali
membalik tangan berubah hanya dengan kata simsalabim abragkatabrag.
Tidak semudah itu. Urusan akhlak adalah masalah kebiasaan dan pembiasan hidup
serta pemahaman agama yang menyerap dalam diri hingga berwujud dalam kehidupan
sehari-hari.
Mereka yang hidupnya tidak terbiasa atau acuh tak acuh terhadap
kebersihan di rumah dan lingkungan sekitarnya yang tak mendukung, maka
menerapkan akhlak mulia terhadap lingkungan akan terasa berat.
Muhammad Quraish Shihab menerangkan bahwa akhlak terhadap
lingkungan meliputi segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan,
maupun benda-benda tak bernyawa. Menurutnya, akhlak terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah, yang mengharuskan adanya interaksi
antara manusia dengan sesama dan manusia terhadap alam sekitarnya. Setiap
manusia dituntut untuk bisa menghormati prosesi kehidupan alamiah yang sedang
berjalan dan harus bertanggung jawab terhadap semua perusakan yang
dilakukannya. Hal ini bisa tumbuh apabila kita menyadari bahwa semua yang
terdapat di alam semesta adalah milik Allah dan memiliki ketergantungan
kepada-Nya. Bila seorang Muslim menyadari hal ini, maka ia akan memperlakukan
semua yang ada sebagai bagian dari kesatuan ”umat” Tuhan yang harus kita
perlakukan dengan baik.
Mengenai hal ini Allah Ta`ala berfirman, “Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat seperti kamu”
(QS Al-An'am [6]: 38); “Apa saja yang
kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas
pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah” (QS Al-Hasyr [59]: 5); dan
“Kamu sekalian pasti
akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang
kamu peroleh)” (QS At-Takatsur
[102]: 8).
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw menyatakan bahwa
kebersihan itu bagian dari iman. Beliau juga bersabda dalam sebuah hadits—yang
dikutip Quraish Shihab—bahwa “setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi,
setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan
setiap tetes hujan yang
tercurah dari langit
akan dimintakan
pertanggungjawaban manusia menyangkut
pemeliharaan dan pemanfatannya.”
Harus diakui secara sadar bahwa lingkungan atau alam semesta
ini merupakan milik Allah. Kita selaku khalifah-Nya bertanggungjawab
memelihara, merawat, dan sadar bahwa semua yang ada dan berhubungan dengan
keseharian kita—seperti menjaga lingkungan agar bersih dan tubuh agar
sehat—adalah amanat yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat.
[ahmad sahidin]