Senin, 17 Oktober 2016

Budaya dan Iklan: Neo Colonialism

Dahulu mungkin Anda pernah lihat iklan motor (salah satu) perusahaan Jepang di layar TV yang diperankan bintang-bintang film ternama. Yang menggambarkan dua karakter budaya antara Sunda dan Batak. Si Batak digambarkan orang yang bisa menerima motor, yang sekaligus sebagai simbol hidup orang maju (high) dan si Sunda yang kurang respect dianggap, seakan-akan tidak maju (low). Dari sini kemudian akan muncul citra dan persepsi bahwa "orang-maju" adalah yang memiliki motor, atau yang bisa mengkonsumsi barang-barang dari luar.

Dari iklan tersebut tampak bagaimana budaya dikaji dan ditelaah serta dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Yang secara tidak sadar telah menciptakan bentuk (contruction) kebudayaan baru dengan menyisihkan (eclution) kebudayaan lama. Inilah cara kapitalisme menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas dan cara agar bisa menguasai dunia.

Memang harus diakui bahwa Barat telah melahirkan kemajuan yang spektakuler dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kehebatan itu sehingga Barat punya rasa percaya diri yang besar bahwa dirinya mampu menata dunia. Barat tidak sadar bahwa tidak semua manusia akan mengikuti dan mempraktekan nilai-nilai yang ditawarkannya. Sebab setiap penerimaan yang diterima secara terbuka dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan adalah bentuk neo-colonialism.

Saya yakin bahwa tidak setiap bangsa-negara ingin mendapatkan paket-paket yang diarahkan sesuai dengan kehendak mereka. Bukankah setiap bangsa dan negara sebenarnya ditegakkan oleh masyarakatnya sendiri?

Karena itu, paket-paket dari negeri asing berupa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu tipu muslihat Barat yang sedang mencoba bergerak dari arah lain. Seperti isu terorisme yang digembor merupakan strategi untuk menata dunia sesuai dengan agenda besarnya yang berkesinambungan dari sang Adi-kuasa. Mereka ingin menunjukan dirinya sebagai super-power sekaligus penentu dunia dan kehidupan manusia.

Saya (senantiasa) curiga tentang gerak sejarah kebudayaan dan peradaban manusia yang berganti rupa,yang sebenarnya tak terlepas dari proyek-proyek ideologi yang sengaja dijejalkan dalam pelbagai bentuk paket dan kemasan menggiurkan. Kemudian membungkam dunia dengan mengatasnamakan akhir sejarah.

Hanya dengan kesadaran yang luas dan senantiasa bersikap kritis, kita akan segera bisa terbebas dan keluar dari "jejaring-lingkaran" tersebut. Dengan sikap demikian, kita dapat menunjukan bukti tadanya nilai, kekuatan, dan kesadaran terhadap keberadaan identitas budaya manusia. Selamat merenung!

(Ahmad Sahidin)