AL-JUNAID adalah salah seorang di antara para sufi yang
terkenal dalam sejarah Abad Pertengahan Islam. Ia banyak dikagumi karena zuhud,
tawadhu, dan toleran terhadap sesama manusia sehingga banyak yang menjadi
muridnya. Suatu ketika ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dan
tersebarlah berita tentang pemenjaraannya itu hingga berbondong-bondong para
murid datang menjenguknya. Setelah mengucapkan salam kepada para muridnya,
al-Junaid bertanya, “wahai para muridku, hal apa yang mendorong kalian datang
kemari?”
“Al-Junaid, engkau adalah guruku. Sudah sepantasnya kami
menunjukkan rasa cinta dan sayang padamu.”
“Oh, begitu,” ucap al-Junaid seraya membungkukkan badannya
untuk mengambil beberapa batu kerikil. Kemudian tanpa riskan ia lemparkan
kepada para muridnya itu. Mereka terkejut, kaget, dan langsung lari menghindar
dari lemparan sang guru. Melihat para muridnya berlarian, al-Junaid berteriak,
”kalian semua berdusta.”
Demikianlah kisah sufi yang kadang membuat kita harus
sedikit mengernyitkan dahi. Apa hikmah yang dapat kita ambil dari kisah
terebut? Jawabannya tergantung kecerdasan dan penafsiran kita.
Bagi saya,
al-Junaid dalam kisah itu menitipkan pesan bahwa yang disebut “cinta” itu butuh
bukti dan dituntut untuk membuktikannya. Bila kita mengatakan cinta namun
menghindar dari apa-apa yang telah diberikan dan diperintahkan kekasih, maka
cintanya itu dusta dan palsu. Bukti cinta yang diminta dalam kisah itu, adalah
“menerima” apapun yang diberikan dan memaknai lemparan batu sebagai simbol
lemparan “kasih dan cinta” dari sang guru kepada muridnya. Tetapi mereka malah lari menghindar lemparan
sehingga al-Junaid berteriak: “kalian semua dusta”. Atau dalam bahasa lain, para muridnya cuma
ngomong doang.
Begitu pun dengan ibadah. Sebagai bentuk ritual yang
dijalani dan dilaksanakan umat yang beragama tentu harus dibuktikan. Tetapi
yang seringkali kita buktikan adalah
“ketidaksadaran” atas posisi dan sikap dalam beribadah hingga
mengakibatkan keluar dari-nilai ilahiyah. Memang pada tujuan awal diturunkannya agama adalah
“jalan” untuk mencapai keselamatan dan kebahgiaan. Tapi justru kini
ibadah-ibadah tersebut hanya dijadikan “lipstik” agar kelihatan religius dan
shaleh di mata orang lain. Inikah yang disebut ibadah?
Maka tidak heran bila Imam Ali karamallahu wajhah membagi
ibadah pada tiga bentuk. Pertama, seseorang yang beribadah kepada Allah
dikarenakan rasa takut akan siksa dan murka yang bisa menjebloskannya ke dalam
neraka. Inilah ibadahnya seorang “budak” kepada tuannya. Kedua, seseorang yang
beribadah kepada Allah dikarenakan pahala dan surga.Inilah ibadahnya seorang
“pedagang” yang ingin mendapatkan keuntungan dan kebahagiaan. Ketiga, seseorang
yang beribadah kepada Allah dikarenakan rasa cintanya kepada Allah. Inilah
ibadahnya seorang “Muslim sejati” karena ibadahnya bukan karena takut
dimasukkan ke dalam neraka dan bukan pula ingin masuk ke surga. Tetapi ia
benar-benar atas rasa kecintaannya yang penuh kepada Allah—saestuna netepan
(shalat) abdi, pangorbanan abdi, hirup sareng maot abdi, sadayana kagungan
Pangeran nu ngurus sadaya alam (QS. al-An`am: 162).
Bentuk ibadah yang terakhir inilah yang dijalankan seorang
sufi Muslimah yang bernama Rabiah al-Adawiyah. Ia pada suatu hari membawa-bawa
obor menyala dan air seember serta kemudian berteriak di tengah pasar, “Hai dengarlah! Dengan air ini akan kupadamkan neraka dan
dengan api ini akan kubakar surga, agar kalian semua beribadah hanya karena
Allah.” Tapi apa jawab mereka, “Duh
kasihan, Rabiah al-Adawiyah sekarang menjadi gila.”
Benarkah ia gila? Memang benar ia gila. Akan tetapi menjadi
gila dikarenakan kecintaannya kepada sang kekasih, Allah. Artinya, secara tidak
langsung—bagi Rabiah al-Adawiyah—ingin menegaskan bahwa tidak ada kekasih yang
ia rindukan dan yang pantas untuk dicintai selain Allah. Atas rasa cinta inilah
yang menjadikannya tidak memberi ruang sedikit pun untuk membenci siapa pun
dikarenakan seluruh pikiran dan hatinya terisi oleh kekasihnya itu. Jadi,
segala urusan baginya sudah diarahkan hanya kepada Allah semata.
Dimensi
inilah yang perlu
ditanamkan dalam beragama. Sebab
sebuah aktivitas agama akan benar-benar bernilaikan “ibadah-yang-sejati” ketika
tidak lagi mempersoalkan hal-hal eksetoris dan esoteris, tetapi pada “sesuatu”
yang menggerakkannya itu. Jadi dalam menjalankan ibadah, seharusnya bukan
karena pertimbangan untung-rugi dan takut, tapi harus berdasarkan rasa ikhlas
dan kesadaran penuh kepada Allah semata.
Lalu, bagaimana dengan ibadah kita : apakah sudah
berdasarkan kesadaran atas rasa cinta kepada Allah atau masih karena yang lain?
Dan saya kira harus kita akui belum berbuat demikian. Karena ibadah yang kita
lakukan seringkali masih mempertimbangkan untung-rugi dan masih ada rasa ingin
dianggap shaleh. Atau kita beribadah hanya disebabkan adanya
kepentingan-kepentingan yang mendukung wibawa dan jabatan. Bahkan yang paling
mengerikan ketika dipakai menjadi “topeng“ dan “slogan” politik yang tidak
bertanggung jawab.
Inilah yang saya kira penting bagi umat Islam agar
merenungkan kembali (makna) ibadah-ibadahnya. Sejatikah ibadah kita? Mari kita
raih ibadah kita dengan kesadaran sejati. [ahmad sahidin]