Minggu, 02 Oktober 2016

Meraih Ibadah Sejati

AL-JUNAID adalah salah seorang di antara para sufi yang terkenal dalam sejarah Abad Pertengahan Islam. Ia banyak dikagumi karena zuhud, tawadhu, dan toleran terhadap sesama manusia sehingga banyak yang menjadi muridnya. Suatu ketika ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dan tersebarlah berita tentang pemenjaraannya itu hingga berbondong-bondong para murid datang menjenguknya. Setelah mengucapkan salam kepada para muridnya, al-Junaid bertanya, “wahai para muridku, hal apa yang mendorong kalian datang kemari?”

“Al-Junaid, engkau adalah guruku. Sudah sepantasnya kami menunjukkan rasa cinta dan sayang padamu.”

“Oh, begitu,” ucap al-Junaid seraya membungkukkan badannya untuk mengambil beberapa batu kerikil. Kemudian tanpa riskan ia lemparkan kepada para muridnya itu. Mereka terkejut, kaget, dan langsung lari menghindar dari lemparan sang guru. Melihat para muridnya berlarian, al-Junaid berteriak, ”kalian semua berdusta.”

Demikianlah kisah sufi yang kadang membuat kita harus sedikit mengernyitkan dahi. Apa hikmah yang dapat kita ambil dari kisah terebut? Jawabannya tergantung kecerdasan dan penafsiran kita. 

Bagi saya, al-Junaid dalam kisah itu menitipkan pesan bahwa yang disebut “cinta” itu butuh bukti dan dituntut untuk membuktikannya. Bila kita mengatakan cinta namun menghindar dari apa-apa yang telah diberikan dan diperintahkan kekasih, maka cintanya itu dusta dan palsu. Bukti cinta yang diminta dalam kisah itu, adalah “menerima” apapun yang diberikan dan memaknai lemparan batu sebagai simbol lemparan “kasih dan cinta” dari sang guru kepada muridnya.  Tetapi mereka malah lari menghindar lemparan sehingga al-Junaid berteriak: “kalian semua dusta”.  Atau dalam bahasa lain, para muridnya cuma ngomong doang.

Begitu pun dengan ibadah. Sebagai bentuk ritual yang dijalani dan dilaksanakan umat yang beragama tentu harus dibuktikan. Tetapi yang seringkali kita buktikan adalah  “ketidaksadaran” atas posisi dan sikap dalam beribadah hingga mengakibatkan keluar dari-nilai ilahiyah. Memang pada  tujuan awal diturunkannya agama adalah “jalan” untuk mencapai keselamatan dan kebahgiaan. Tapi justru kini ibadah-ibadah tersebut hanya dijadikan “lipstik” agar kelihatan religius dan shaleh di mata orang lain. Inikah yang disebut ibadah?

Maka tidak heran bila Imam Ali karamallahu wajhah membagi ibadah pada tiga bentuk. Pertama, seseorang yang beribadah kepada Allah dikarenakan rasa takut akan siksa dan murka yang bisa menjebloskannya ke dalam neraka. Inilah ibadahnya seorang “budak” kepada tuannya. Kedua, seseorang yang beribadah kepada Allah dikarenakan pahala dan surga.Inilah ibadahnya seorang “pedagang” yang ingin mendapatkan keuntungan dan kebahagiaan. Ketiga, seseorang yang beribadah kepada Allah dikarenakan rasa cintanya kepada Allah. Inilah ibadahnya seorang “Muslim sejati” karena ibadahnya bukan karena takut dimasukkan ke dalam neraka dan bukan pula ingin masuk ke surga. Tetapi ia benar-benar atas rasa kecintaannya yang penuh kepada Allah—saestuna netepan (shalat) abdi, pangorbanan abdi, hirup sareng maot abdi, sadayana kagungan Pangeran nu ngurus sadaya alam (QS. al-An`am: 162). 

Bentuk ibadah yang terakhir inilah yang dijalankan seorang sufi Muslimah yang bernama Rabiah al-Adawiyah. Ia pada suatu hari membawa-bawa obor menyala dan air seember serta kemudian berteriak di tengah pasar,  “Hai dengarlah!  Dengan air ini akan kupadamkan neraka dan dengan api ini akan kubakar surga, agar kalian semua beribadah hanya karena Allah.”  Tapi apa jawab mereka, “Duh kasihan, Rabiah al-Adawiyah sekarang menjadi gila.”

Benarkah ia gila? Memang benar ia gila. Akan tetapi menjadi gila dikarenakan kecintaannya kepada sang kekasih, Allah. Artinya, secara tidak langsung—bagi Rabiah al-Adawiyah—ingin menegaskan bahwa tidak ada kekasih yang ia rindukan dan yang pantas untuk dicintai selain Allah. Atas rasa cinta inilah yang menjadikannya tidak memberi ruang sedikit pun untuk membenci siapa pun dikarenakan seluruh pikiran dan hatinya terisi oleh kekasihnya itu. Jadi, segala urusan baginya sudah diarahkan hanya kepada Allah semata.

Dimensi inilah yang perlu ditanamkan dalam beragama. Sebab sebuah aktivitas agama akan benar-benar bernilaikan “ibadah-yang-sejati” ketika tidak lagi mempersoalkan hal-hal eksetoris dan esoteris, tetapi pada “sesuatu” yang menggerakkannya itu. Jadi dalam menjalankan ibadah, seharusnya bukan karena pertimbangan untung-rugi dan takut, tapi harus berdasarkan rasa ikhlas dan kesadaran penuh kepada Allah semata.

Lalu, bagaimana dengan ibadah kita : apakah sudah berdasarkan kesadaran atas rasa cinta kepada Allah atau masih karena yang lain? Dan saya kira harus kita akui belum berbuat demikian. Karena ibadah yang kita lakukan seringkali masih mempertimbangkan untung-rugi dan masih ada rasa ingin dianggap shaleh. Atau kita beribadah hanya disebabkan adanya kepentingan-kepentingan yang mendukung wibawa dan jabatan. Bahkan yang paling mengerikan ketika dipakai menjadi “topeng“ dan “slogan” politik yang tidak bertanggung jawab.


Inilah yang saya kira penting bagi umat Islam agar merenungkan kembali (makna) ibadah-ibadahnya. Sejatikah ibadah kita? Mari kita raih ibadah kita dengan kesadaran sejati. [ahmad sahidin]