Sabtu, 08 Oktober 2016

Akhlak yang Baik

SEORANG lelaki menemui Rasulullah saw dan bertanya, ”Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah saw menjawab, “Akhlak yang baik.”

Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Dengan tenang Rasulullah saw menjawab, “Akhlak yang baik.”

Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dari sebelah kirinya dan mengajukan pertanyaan yang sama, “Apa agama itu?” Rasulullah saw dengan tenang menjawab, “Akhlak yang baik.”

Lalu, orang itu mendatangi Rasulullah saw dari belakang dan bertanya,”Apa agama itu?”
Rasulullah menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu akhlak yang baik). Sebagai misal, janganlah engkau marah.”

Riwayat tersebut saya temukan dalam buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih karya Jalaluddin Rakhmat (2007: 147). Kalau pertanyaan demikian dilontarkan pada saya, pasti orang itu akan saya semprot. Namun, Rasulullah saw tidak melakukan demikian. Sang Nabi merasa tidak terganggu, malah terus menjawabnya dengan jawaban yang sama. Bagi saya, yang dilakukan Sang Nabi termasuk dalam kategori perbuatan yang pantas diteladani.

Akhlak
Pertanyaan yang berulang dengan posisi bertanya yang berbeda, sebetulnya ingin melihat konsistensi jawaban yang diberikan. Apakah beda arti agama kalau ditanya dari depan, belakang, samping kiri dan kanan? Jawabannya tetap sama: akhlak yang baik.

Memang, hakikat dan tujuan agama, kalau ditelaah bermuara pada perbuatan baik dan menjaga kehidupan berada dalam kondisi damai dan tenang yang berujung pada kebahagiaan. Tidak satu pun agama di dunia ini menyuruh untuk melakukan tindakan yang bejad atau keji. Kalau pun ada pasti telah menyimpang dari jalur yang benar. Orang-orang Kristen oleh Yesus diperintahkan untuk menebar kasih sayang. Penganut Yahudi juga demikian, dalam kitab suci taurat diperintahkan untuk melakukan kebaikan. Pemeluk Majusi (Zoroaster), Konghuchu, Budha, Hindu, dan agama-agama lokal seperti Sunda Wiwitan dan Kejawen memuat ajaran-ajaran yang menyuruh pemeluknya untuk berbuat baik dan menebar kedamaian.

Sang Nabi Islam: Muhammad Rasulullah saw diutus ke dunia ini untuk menyebarkan kebaikan dan menyempurnakan ajaran-ajaran terdahulu yang rusak. Sejarah mengabarkan ajaran agama terdahulu yang dibawa para Nabi sebelum Muhammad saw adalah secara umum pada dua ranah: menegaskan Allah sebagai Satu-satunya Tuhan (tauhid) dan melakukan perbuatan baik (amalusshalih). Ketika kedua ajaran ini hilang dari masyarakat maka yang terjadi adalah orang-orang tidak memiliki standar yang benar. Kekuatan dan kekuasaan serta kemewahan seseorang yang kemudian menjadi penentunya. Tidak peduli itu melanggar hak-hak orang lain atau menindas orang, kalau orang yang memiliki kuasa itu menentukan maka secara sosial menjadi standar. Perbuatan-perbuatan buruk seperti mabuk, judi, memperkosa, zinah, membunuh, mencuri, merampok, dan lainnya yang bersifat merugikan orang lain ditetapkan sebagai standar hidup, maka standar yang  berasal dari para Nabi menjadi hilang.

Sejarah memperlihatkan fakta bahwa yang diperbaiki Sang Nabi Islam ketika di Makkah dan Madinah adalah memperbaiki urusan ketuhanan dengan perbuatan baik. Kita tahu bagaimana akhlak Rasulullah saw. Ketika orang yang membenci dan setiap hari meludahinya menderita sakit. Alih-alih dibalas, malah Sang Nabi menengok, memaafkan, dan mendoakannya. Akhlak inilah yang kemudian membuat orang-orang Makkah sadar bahwa agama yang dibawa Sang Nabi merupakan ajaran yang luhur dan agung.

Kisah lainnya, seorang dari dusun datang ke Masjid Nabawi kemudian kencing. Orang-orang yang berada di sekitar Sang Nabi marah dan ada yang bersedia akan membunuhnya. Sang Nabi tidak memperkenankan tindakan tersebut, malah membiarkannya dan meminta orang untuk mengambil air yang kemudian Sang Nabi sendiri yang membersihkannya. Perbuatan mulia yang dilakukan Sang Nabi itu dilihat orang dusun tadi yang kemudian menyentuh kesadaran nuraninya sehingga menjadi pemeluk Islam. Seandainya orang dusun tersebut dibunuh, pasti tidak menjadi seorang Muslim, dan akan membuat orang-orang yang belum beriman akan semakin menjauh karena ketakutan dengan tindakan keras yang mudah menumpahkan darah. Meski memang pada zaman tersebut penumpahan darah atau kekerasan merupakan hal yang biasa dalam menyelesaikan sebuah persoalan yang dianggap penting. Hal-hal yang lumrah yang bernilai buruk, yang berlaku pada masyarakat Arab kemudian diubah dengan akhlak yang baik. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Nabi yang hingga sekarang tetap bergaung dalam ajaran-ajaran Islam adalah menyempurnakan akhlak.

Untuk menyempurnakan, memperbaiki, dan mengubah sebuah kebiasaan atau perbuatan buruk menjadi baik membutuhkan figur dan standar nilai yang menjadi pedoman. Dahulu memang ada Sang Nabi yang diketahui dari sejumlah buku sejarah dan riwayat-riwayat. Namun, sekarang ini siapa yang dapat memastikan bahwa buku dan riwayat tersebut benar-benar valid bersumberkan dari Sang Nabi? Siapa yang berhak menentukan bahwa riwayat yang dikemukakan muhadis Bukhari, Muslim, Nasai, Ahmad, Daud, Thabrani, dan lainnya otentik, sehingga dari mereka umat Islam dapat mengambil teladan dan sunnah Rasulullah saw yang berkaitan dengan akhlak dan ibadah?

Menjawab soal itu tentunya tidak sekadar dengan klaim bahwa seorang yang pernah ngaji di pesantren layak dijadikan pegangan dalam urusan agama. Tidak juga ada yang menentapkan bahwa seorang yang pernah belajar agama di universitas Islam ternama layak untuk diikuti pendapatnya dalam beragama dan pemecahan urusan keagamaan. Urusan yang menentukan kebenaran atau otentitas ajaran agama memang persoalan keilmuan yang akan terus memperkaya khazanah peradaban umat Islam.

Namun, secara lahiriah dalam kehidupan masyarakat yang dilihat adalah bagaimana pemeluk agama itu beragama? Kalau tidak sesuai dengan ayat atau ajaran yang tercantum dalam kitab suci dan sumber-sumber otentik agama maka orang akan dengan mudah menyebutnya pendusta agama. 

[ahmad sahidin]