SEORANG
lelaki menemui Rasulullah saw dan bertanya, ”Ya Rasulullah, apakah agama itu?”
Rasulullah saw menjawab, “Akhlak yang baik.”
Kemudian
ia mendatangi Rasulullah saw dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya
Rasulullah, apakah agama itu?” Dengan tenang Rasulullah saw menjawab, “Akhlak
yang baik.”
Kemudian
ia mendatangi Rasulullah saw dari sebelah kirinya dan mengajukan pertanyaan
yang sama, “Apa agama itu?” Rasulullah saw dengan tenang menjawab, “Akhlak yang
baik.”
Lalu,
orang itu mendatangi Rasulullah saw dari belakang dan bertanya,”Apa agama itu?”
Rasulullah
menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu
akhlak yang baik). Sebagai misal, janganlah engkau marah.”
Riwayat tersebut saya temukan
dalam buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih karya Jalaluddin
Rakhmat (2007: 147). Kalau pertanyaan demikian dilontarkan pada saya, pasti
orang itu akan saya semprot. Namun, Rasulullah saw tidak melakukan demikian.
Sang Nabi merasa tidak terganggu, malah terus menjawabnya dengan jawaban yang
sama. Bagi saya, yang dilakukan Sang Nabi termasuk dalam kategori perbuatan
yang pantas diteladani.
Akhlak
Pertanyaan yang berulang dengan
posisi bertanya yang berbeda, sebetulnya ingin melihat konsistensi jawaban yang
diberikan. Apakah beda arti agama kalau ditanya dari depan, belakang, samping
kiri dan kanan? Jawabannya tetap sama: akhlak yang baik.
Memang, hakikat dan tujuan agama,
kalau ditelaah bermuara pada perbuatan baik dan menjaga kehidupan berada dalam
kondisi damai dan tenang yang berujung pada kebahagiaan. Tidak satu pun agama
di dunia ini menyuruh untuk melakukan tindakan yang bejad atau keji. Kalau pun
ada pasti telah menyimpang dari jalur yang benar. Orang-orang Kristen oleh
Yesus diperintahkan untuk menebar kasih sayang. Penganut Yahudi juga demikian,
dalam kitab suci taurat diperintahkan untuk melakukan kebaikan. Pemeluk Majusi
(Zoroaster), Konghuchu, Budha, Hindu, dan agama-agama lokal seperti Sunda
Wiwitan dan Kejawen memuat ajaran-ajaran yang menyuruh pemeluknya untuk berbuat
baik dan menebar kedamaian.
Sang Nabi Islam: Muhammad
Rasulullah saw diutus ke dunia ini untuk menyebarkan kebaikan dan
menyempurnakan ajaran-ajaran terdahulu yang rusak. Sejarah mengabarkan ajaran
agama terdahulu yang dibawa para Nabi sebelum Muhammad saw adalah secara umum
pada dua ranah: menegaskan Allah sebagai Satu-satunya Tuhan (tauhid) dan
melakukan perbuatan baik (amalusshalih). Ketika kedua ajaran ini hilang dari
masyarakat maka yang terjadi adalah orang-orang tidak memiliki standar yang
benar. Kekuatan dan kekuasaan serta kemewahan seseorang yang kemudian menjadi
penentunya. Tidak peduli itu melanggar hak-hak orang lain atau menindas orang,
kalau orang yang memiliki kuasa itu menentukan maka secara sosial menjadi standar.
Perbuatan-perbuatan buruk seperti mabuk, judi, memperkosa, zinah, membunuh,
mencuri, merampok, dan lainnya yang bersifat merugikan orang lain ditetapkan
sebagai standar hidup, maka standar yang
berasal dari para Nabi menjadi hilang.
Sejarah memperlihatkan fakta bahwa
yang diperbaiki Sang Nabi Islam ketika di Makkah dan Madinah adalah memperbaiki urusan ketuhanan dengan perbuatan baik. Kita tahu bagaimana akhlak Rasulullah saw. Ketika orang yang membenci dan setiap hari meludahinya menderita sakit. Alih-alih dibalas, malah Sang Nabi menengok, memaafkan, dan mendoakannya. Akhlak
inilah yang kemudian membuat orang-orang Makkah sadar bahwa agama yang dibawa
Sang Nabi merupakan ajaran yang luhur dan agung.
Kisah lainnya, seorang dari dusun
datang ke Masjid Nabawi kemudian kencing. Orang-orang yang berada di sekitar
Sang Nabi marah dan ada yang bersedia akan membunuhnya. Sang Nabi tidak
memperkenankan tindakan tersebut, malah membiarkannya dan meminta orang untuk
mengambil air yang kemudian Sang Nabi sendiri yang membersihkannya. Perbuatan
mulia yang dilakukan Sang Nabi itu dilihat orang dusun tadi yang kemudian
menyentuh kesadaran nuraninya sehingga menjadi pemeluk Islam. Seandainya orang
dusun tersebut dibunuh, pasti tidak menjadi seorang Muslim, dan akan membuat
orang-orang yang belum beriman akan semakin menjauh karena ketakutan dengan
tindakan keras yang mudah menumpahkan darah. Meski memang pada zaman tersebut
penumpahan darah atau kekerasan merupakan hal yang biasa dalam menyelesaikan
sebuah persoalan yang dianggap penting. Hal-hal yang lumrah yang bernilai
buruk, yang berlaku pada masyarakat Arab kemudian diubah dengan akhlak yang
baik. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Nabi yang hingga sekarang tetap
bergaung dalam ajaran-ajaran Islam adalah menyempurnakan akhlak.
Untuk menyempurnakan, memperbaiki,
dan mengubah sebuah kebiasaan atau perbuatan buruk menjadi baik membutuhkan
figur dan standar nilai yang menjadi pedoman. Dahulu memang ada Sang Nabi yang
diketahui dari sejumlah buku sejarah dan riwayat-riwayat. Namun, sekarang ini
siapa yang dapat memastikan bahwa buku dan riwayat tersebut benar-benar valid
bersumberkan dari Sang Nabi? Siapa yang berhak menentukan bahwa riwayat yang
dikemukakan muhadis Bukhari, Muslim, Nasai, Ahmad, Daud, Thabrani, dan lainnya
otentik, sehingga dari mereka umat Islam dapat mengambil teladan dan sunnah
Rasulullah saw yang berkaitan dengan akhlak dan ibadah?
Menjawab soal itu tentunya tidak
sekadar dengan klaim bahwa seorang yang pernah ngaji di pesantren layak dijadikan
pegangan dalam urusan agama. Tidak juga ada yang menentapkan bahwa seorang yang
pernah belajar agama di universitas Islam ternama layak untuk diikuti
pendapatnya dalam beragama dan pemecahan urusan keagamaan. Urusan yang
menentukan kebenaran atau otentitas ajaran agama memang persoalan keilmuan yang
akan terus memperkaya khazanah peradaban umat Islam.
[ahmad sahidin]