Jalaluddin Rumi, seorang sufi dari Persia,
bercerita bahwa ada orang India membawa seekor gajah ke suatu negeri yang
penduduknya belum pernah melihatnya. Mereka tempatkan gajah itu di sebuah rumah
yang gelap tanpa cahaya. Lalu, orang-orang pun masuk ke rumah itu satu demi
satu untuk merabanya.
Begitu mereka keluar dari rumah itu,
masing-masing pun bercerita tentang apa yang ditangkap indera perabanya.
Seseorang yang tangannya meraba belalai
mengatakan: gajah itu seperti terompet! Yang meraba telinganya mengatakan:
gajah itu seperti kipas! Orang tinggi yang bisa meraba punggungnya mengatakan:
gajah itu seperti kasur! Sedang si pendek yang hanya bisa meraba kaki-kakinya
mengatakan: gajah itu seperti tiang!
Mereka semua tidak bersepakat. Masing-masing
meyakini bahwa apa yang dirabanya itu benar-benar mewakili makhluk gajah
tersebut. Mereka pun saling klaim dan saling gugat.
Dari cerita Rumi tersebut tampak bahwa
pemahaman setiap orang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh penangkapan yang
bersifat parsial sehingga wujud-mutlak yang ada dalam ruang dan waktu terbatasi
dengan tabir-gelap yang melingkupi para penafsir (peraba).
Faktor kegelapan ruang dan waktu inilah yang
mengakibatkan mereka saling memunculkan temuan dan pemahamannya yang beragam.
Padahal, kalau saja ada pelita (di dalam ruang dan waktu yang gelap itu) pasti
mereka akan paham dan mengerti bahwa wujud-mutlak (gajah di atas) adalah
kesatuan dari temuan-temuan mereka.
Pendeknya, realitas hakiki dapat diketahui dan
dipahami ketika ada cahaya yang menerangi dan membuka tabir-gelap yang
membatasi panca indera dan akal pikiran kita.
Karena itu, kita memerlukan cahaya yang dapat
membuktikan kebenaran yang ada di sekitar kita sehingga setiap perbedaan dapat
terlihat benarnya. Namun, yang terpenting adalah memahami
perbedaan. Tidak perlu adu mulut hanya soal beda temuan. Perbedaan adalah
anugerah yang terindah dan dapat menyatukan wujud yang berbeda dalam satu
bentuk. Jika terjadi ikhtilaf maka dahulukan akhlak. Semua orang sepakat bahwa akhlak (perbuatan
baik dan ajaran moral) itu baik dan diperlukan. Agama dan mazhab apa pun pasti
meyakininya. Tidak akan ada yang menolaknya. ***
(Ahmad Sahidin)