Kamis, 28 Mei 2015

Muawiyah dan Kelahiran Tiga Mazhab Islam

Tahukah Anda siapa Muawiyah? Muawiyah adalah putra Abu Sufyan, orang Makkah yang memerangi Rasulullah saw. Sedangkan ibu Muawiyah adalah Hindun, perempuan yang memakan hati Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah saw).

Sejarah mengisahkan bahwa Muawiyah adalah warga Makkah yang memusuhi Nabi Muhammad saw. Ia memerangi Nabi bersama ayahnya yang bernama Abu Sufyan. Ketika pasukan Islam yang dipimpin Rasulullah saw berupaya membebaskan Makkah, orang-orang kafir Makkah ketakutan. Ada yang lari ke gunung. Ada yang sembunyi di Kabah. Juga ada yang meminta ampunan kepada Rasulullah saw. 


Dari beberapa orang yang meminta ampunan itu adalah Muawiyah. Ia kemudian masuk Islam. Ia menjadi sahabat Nabi dan dianggap penulis wahyu. Saya merasa heran kenapa para penulis sejarah dan para ustad di masjid-masjid sering bilang Muawiyah itu sahabat utama dan paling banyak menulis wahyu. Kalau dilacak dari peristiwa Futuh Makkah, Muawiyah masuk agama Islam kurang dari sepuluh tahun. Itu juga ketika keadaan terdesak karena mengalami “kekalahan” menghadapi pasukan Islam.

Setelah wafat Rasulullah saw, Muawiyah bin Abu Sufyan terlihat belangnya sebagai penguasa. Dengan dalih menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan yang wafat dibunuh sahabat-sahabat yang tidak suka dengan kebijakan Utsman bin Affan, ia meminta Imam Ali sebagai khalifah terpilih agar menghukum orang-orang yang terlibat pembunuhan Utsman.

Saat kejadian huru hara, Muawiyah berada di luar Madinah dan tidak membantu Utsman yang dikepung. Padahal Muawiyah punya hubungan dekat dengan Utsman.
Imam Ali selaku sahabat ikut membantu melindungi Khalifah Utsman dari demonstrasi. Karena emosi yang sudah memuncak–dalam buku Saqifah Bani Saidah karya O.Hashem–disebutkan tiga orang masuk ke kamar Utsman. Langsung menikamnya. Saat ditikam itu, Utsman bicara, “Celakalah engkau putra sahabat-sahabatku. Ayahmu pasti marah kalau dia masih hidup.”

Setelah Utsman meninggal dunia, seluruh umat Islam membaiat Imam Ali sebagai khalifah keempat. Imam Ali membuat kebijakan dengan mengganti pejabat-pejabat yang diangkat Utsman adalah kerabat-kerabatnya seperti Marwan bin Hakam, Amr bin Ash, Mughirah bin Syub’ah, dan Muawiyah yang menjadi seorang kepala daerah.

Gaji pejabat disamakan dengan orang-orang miskin yang layak dapat santunan baitul mal. Istana khalifah yang dihuni Utsman dijual dan uangnya diberikan fakir miskin. Imam Ali memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke kota Kufah, Irak. Di sanalah Imam Ali merintis dakwah dan memimpin umat Islam. Karena itu, tidak heran kalau sebagian besar pasukan Islam berasal dari Kufah.

Tidak terima dengan pemecatan, mantan pejabat Utsman membaut makar. Ia melakukan teror kepada Umat Islam. Bahkan menyebarkan isu bahwa Imam Ali terlibat dalam pembunuhan Utsman. Sejarah membuktikan Hasan dan Husein, kedua putra Imam Ali, justru ikut dalam memberikan bantuan air kepada Utsman yang dikepung para sahabat yang marah kepada Utsman karena tindakan politik yang mendahulukan urusan keluarga besarnya. 

Apalagi tindakan mantan pejabat Utsman seperti Muawiyah melakukan penuntutan 
darah atas matinya Utsman. Dengan dalih menutut balas, Muawiyah menyerang kepada umat Islam. Tindakan itu membuat Imam Ali geram sehingga mengambil tindakan. Terjadilah peperangan di Shiffin antara pasukan Islam yang dipimpin Imam Ali melawan pasukan pemberontak yang dipimpin Muawiyah.

Dalam perang Shiffin, pasukan Muawiyah yang memberontak kepada Imam Ali bin Abi Thalib terdesak saat melawan pasukan Imam Ali. Penasihat Muawiyah yang bernama Amr bin Ash menyarankan untuk mengacungkan Quran dengan tombak sebagai upaya perdamaian. Imam Ali mengetahui bahwa itu hanya taktik. 

Imam Ali meminta untuk terus memerangi orang-orang yang berontak terhadap pemerintahan yang sah. Sayangnya, segelintir orang yang punya penagruh di Kufah terpengaruh dengan taktik Quran tersebut. Mereka meminta Imam Ali untuk berhenti perang dan mengajak damai. Imam Ali menyampaikan bahwa lawan mau damai sudah ajak awal akan melakukannya ketika surat ajaka dialog dilayangkan kepada Muawiyah. Ternyata tidak direspon malah menyerang umat Islam. Meski sudah dijelaskan, orang Islam yang terpengaruh itu memaksa, bahkan mengancam akan balik menyerang kepada Imam Ali.

Sang pemimpin Islam itu pun menuruti untuk menghindari dari hal-hal yang buruk. Pihak Muawiyah menginginkan agar ada juru damai dari masing-masing. Dari kelompok Muawiyah adalah Amr bin Ash. Sedangkan dari pasukan Islam adalah Musa Asyari. Sebelumnya, Imam Ali mengajukan Malik Asytar atau Ibnu Abbas. Tetapi ditolak oleh orang-orang telah terpengaruh tipu muslihat Muawiyah yang menggunakan Quran diacungkan. Yang diajukan adalah Musa Asyari oleh mereka. Untuk maslahat orang banyak, Musa didatangkan yang saat itu tidak ikut berpihak pada keduanya.

Terjadilah perundingan. Di antara keduanya sepakat bahwa pemimpin Islam harus diserahkan kepada umat Islam. Biarlah umat Islam memilih. Lalu, kedua belah pihak yang mewakili harus menurunkan masing-masing pemimpinnya. Yang pertama mengumumkan adalah yang tua: Musa Asyari. Ia naik podium dan menyatakan Imam Ali secara resmi bukan lagi khalifah. Giliran Amr bin Ash bicara. Ia naik podium dan menyatakan bahwa ia menetapkan Muawiyah sebagai khalifah.

Terjadilah keributan lagi. Orang-orang yang memaksa Imam Ali untuk berunding marah. Mereka meminta Imam Ali untuk membatalkannya. Sesuai dengan ajaran Islam bahwa sebuah perjanjian harus dilaksanakan sehingga Imam Ali membiarkannya. Karena tidak direspon, orang-orang itu kemudian keluar dari barisan pasukan Islam atau kelompok Imam Ali. Mereka inilah yang kemudian disebut Khawarij.

Orang-orang Khawarij ini dalam gerakannya hampir sama dengan kelompok Muawiyah. Mereka menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Karena itu, tidak sedikit umat Islam yang berakhir dengan kematian saat menolak seruan mereka.

Dan di negeri kita ini masih ada orang-orang yang tidak belajar sejarah. Kerap kali menganggap orang-orang Islam yang keluar dari barisan Imam Ali sebagai Syiah yang berkhianat kepada Ahlulbait. Justru yang disebut Syiah itu adalah mereka yang tidak terpengaruh oleh Muawiyah dan tetap mengikuti Imam Ali dan Keluarga Rasulullah saw. Terbukti dalam sejarah bahwa Khawarij diperangi oleh Imam Ali. Meski kemudian Ibnu Muljam dari kaum Khawarij berhasil membacoknya saat sujud di Masjid Kufah pada shalat shubuh tanggal 19 Ramadhan. Imam Ali pun wafat pada tanggal 21 Ramadhan.

Tiga Mazhab Islam
Berdasarkan kajian di atas, maka pemetaan mazhab (aliran dan kelompok umat Islam) pascawafat Rasulullah saw dan setelah Khulafa Rasyidun maka terbagi dalam tiga.

Pertama, kelompok Ali bin Abi Thalib dan pengikut Ahlulbait yang kemudian disebut pengikut Syiah Ali atau Syiah saja. Dalam sejarah, mazhab ini terbagi lagi dalam kelompok-kelompok dari yang mayoritas dan benar sampai kaum Syiah yang dianggap menyimpang. Kedua, kelompok Muawiyah dan pengikutnya yang memberontak pada pemerintahan Islam yang sah. Dari kelompok Muawiyah ini lahir kaum Jabariyah yang meyakini segala keputusan dan jalan hidup telah ditetapkan Allah sehingga kaum Muslim hanya bisa pasrah dan menerima segala takdir yang menimpanya, termasuk dikuasai dan kendalikan pemerintah zalim.

Ketiga adalah kelompok Khawarij, kaum Muslim pengikut Ali bin Abu Thalib yang kecewa atas perundingan yang licik dan selanjutnya kaum ini memisahkan diri dari Ali bin Abu Thalib menjadi kelompok tersendiri, yang bernama Khawarij. Dalam sejarah, Khawarij terpecah-pecah dan sampai sekarang masih ada di Jordania yang disebut mazhab Ibadi. Mereka ini moderat dan tidak ekstream seperti kaum Khawarij yang hidup abad tujuh Masehi. Dalam keputusan internasional yang tertuang dalam Risalah Amman bulan Juli 2005 oleh 200 ulama dari 50 negara (termasuk Indonesia) dinyatakan Mazhab Ibadi masih tergolong Islam dan tidak boleh dikafirkan atau disesatkan oleh orang-orang Islam. *** (ahmad sahidin)