SAYA merasa aneh apabila masih ada yang memperdebatkan tentang sejarah yang benar pada masa sekarang ini. Sejarah bagi saya tidak lebih dari hasil "rekacipta" seorang sejarawan yang dalam penulisannya pasti dipengaruhi ideologi, politik, bahkan kepentingan financial. Karena itu, tidak salah jika HAMKA membuat lembaga sejarah dalam rangka memproduksi sejarah versinya (umat Islam) dalam rangka melawan sejarah versi nasionalisme atau gerakan Komunisme Indonesia yang dilembagakan dalam organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Namun, selama menulis sejarah itu masih berkutat dan merasa perlu membela aliran dan mazhab serta ideologinya, pasti akan terus berhadapan dan saling mematahkan satu sama lain. Meskipun memakai metodologi sejarah dan dikayakan dengan fakta dan data yang lengkap pasti akan ada penggugatnya.
Saya melihat hal itu persoalannya terletak pada seberapa besar seorang penulis sejarah itu berpengaruh di masyarakat, jika dikenal dan dianggap guru besar biasanya diterima secara mentah-mentah. Tidak diuji lagi. Tampaknya “megalomania” akan muncul jika sejarawan Muslim masih terus berkutat memperjuangkan nilai dakwahnya ketimbang objektivitas sejarah.
Wacana soal objektivitas sejarah juga pada zaman sekarang ini sudah mulai ditinggalkan karena seringkali terjebak pada relativitas. Karena itu, kaum posmodernian meletakkan “objektivitas” bukan pada data dan fakta, tetapi pada makna. Kalau karya sejarah atau catatan sejarah itu bermakna bagi kehidupan atau menjadi inspirasi buat kehidupan yang lebih baik, jelas berguna. Jadi, konteksnya sudah bergeser pada aksiologi sejarah, bukan ontologi dan epistemologi (metodologi sejarah).
Pun Sapun ka Maha
Agung
Ka Gusti Nu Maha
Asih
Gusti pamuntangan
beurang
Gusti pamantengan
peuting
Sajatining pati
hurip
Sajatining
kalanggengan
Pun Sapun ka sakur
dulur
Nu sarasa jeung
sasukma
Utamana Tatar
Sunda
Jembarna
sa-Nusantara
Tamperkeun
saripatina
Tanjeurkeun
aweuhanana
Pun Sapun…
Ampun paralun…