ALHAMDULILLAH tiba juga kita pada Rabiul Awwal, bulan dilahirkannya Muhammad bin Abdullah: Rasulullah shallallaahu alaihi wa aalihi wassalaam (saw). Kelahiran Nabi merupakan awal perubahan sejarah peradaban manusia. Masa kehidupan pralahir Nabi Muhammad saw dikenal jahiliah dan banyak pelanggaran hak asasi manusia yang dilegalkan atas nama otoritas bangsawan dan penguasa. Nabi Muhammad saw sejak masa kecil hingga menjelang pengangkatannya menjadi Nabi dan Rasul menyaksikan kebejadan moral dan hancurnya nilai-nilai kemanusiaan sehingga Nabi berupaya untuk mengubahnya dengan menyempurnakan akhlak dan menyadarkan pentingnya nilai-nilai Islami dalam kehidupan di dunia.
Ikhtilaf tanggal
lahir
Dalam buku-buku
sejarah Nabi Muhammad saw (sirah nabawiyah) terdapat dua versi tanggal
mengenai lahirnya Muhammad saw, yaitu 12 dan 17. Tanggal 12 didasarkan pada keterangan ahli
sejarah Al-Mas’udi dan Syaikh Kulaini yang jatuh pada hari ahad (minggu). Lalu,
kenapa ada yang menyebutkan hari senin? Kemungkinan merujuk pada hadis Nabi
yang memerintahkan puasa senin dan kamis dengan menyebutkan Nabi lahir pada
hari tersebut.
Al-Faqih
Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd atau yang biasa dikenal
Ibnu Rusyd (lahir 1126 dan wafat 1198 Masehi) dalam Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid bagian kitab puasa bab puasa sunat, menyebutkan puasa
senin dan kamis diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam kajian hadis, Abu Dawud
tidak termasuk muhadis yang kuat kalau dilihat dari urutan muhadis Ahlussunah.
Ulama sepakat bahwa Bukhari dan Muslim lebih utama tentang kesahihan hadis.
Berdasarkan pada analisa hadis puasa tersebut tampaknya tidak bisa dijadikan
pegangan untuk menyebutkan lahir Nabi hari senin.
Sementara
yang menyebutkan Nabi lahir tanggal 17 hari Jumat saat fajar terbit merujuk
pada keterangan ahli sejarah Syaikh Abbas Al-Qummi dan Syaikh Ath-Thusi
menyebut malam 17 Rabiul Awwal (lihat Kitab Mafatihul Jinan, jilid 2, halaman
392). Sumber keterangannya diriwayatkan dari Keluarga Nabi (Ahlulbait).
Secara
akal sehat dapat dicerna bahwa yang mengetahui lahir seorang anak adalah orangtua dan keluarga terdekatnya. Berkaitan
dengan informasi kelahiran seseorang, pasti orang yang berpikiran sehat akan
lebih percaya kepada keluarga yang melahirkan dari pada orang lain.
Meski
beda, tetapi ulama dan ahli sejarah dari mazhab Ahlussunnah dan Ahlulbait sepakat bahwa Nabi akhir zaman lahir pada
Rabiul Awwal tahun gajah atau 570 Masehi. Disebut tahun gajah karena pada masa
itu telah terjadi pasukan Abrahah yang menunggang gajah hendak menghancurkan
Ka’bah (Baitullah). Mereka juga sepakat Muhammad saw adalah putra dari Abdullah
dan Aminah serta berasal dari keturunan Nabi Ibrahim as dari jalur Nabi Ismail
as. Sepakat juga tentang tempat lahirnya di kaki Gunung Qubaisyi, daerah Suqullail,
kota Makkah.
Dalam penanggalan kalender Masehi, ahli sejarah dari India Dr.Maulana Wahiduddin Khan dalam buku Muhammad: Nabi untuk Semua (Jakarta: Alvabet, 2005, halaman 21) menyebutkan Muhammad bin Abullah lahir pada 22 April 570 dan wafat 8 Juni 632 Masehi.
Ikhtilaf merayakan maulid
Ulama dan umat
Islam dalam merespon hari kelahiran Nabi (maulud) terbagi dalam dua pandangan.
Pertama, tidak merayakannya karena tidak ada anjuran dan tidak dilakukan Nabi.
Wajar mereka berargumen demikian karena tidak mungkin saat Nabi lahir langsung
meminta dirayakan. Sejarah menyebutkan Abdul Muthalib (kakek Nabi) membawanya dikelilingkan
di depan Ka’bah sebagai ungkapan gembira. Yang gembira dan bahagia hanya kakek, ibunda, dan keluarganya. Nabi saat ini masih bayi. Atas inilah tidak heran kalau mereka
tidak merasa gembira dan tidak menganggap penting untuk dirayakan.
Kedua,
membolehkan untuk merayakannya sebagai ungkapan gembira atau syukur kepada
Allah atas nikmat yang terbesar dengan diturunkannya Sang Nabi akhir zaman yang
kemudian membimbing umat manusia ke jalan-Nya. Argumennya berasal dari
penyambutan Rasulullah saw saat Al-Hasan, cucunya, lahir yang kemudian didoakan
Nabi dan membagikan makanan kepada orang-orang sekitar. Juga didasarkan pada
surah Maryam ayat 15 bahwa Allah berfirman, “Dan kesejahteraan bagi dirinya
pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup
kembali.” Ayat ini merujuk pada kelahiran Nabi Isa as yang di dalamnya
terdapat doa selamat atas kelahirannya. Mereka menjadikan ayat tersebut sebagai
argumen untuk merayakan maulid dan ekspresi kecintaan kepada Rasulullah saw
sebagai dasar dari perayaannya. Kalau sudah cinta, pasti bukan lagi logis atau
tidak logis, tetapi sudah wilayah ‘rasa’ yang hanya dapat diketahui pelakunya.
Kalau
ditanya: merayakan atau tidak? Jawabannya bergantung pada pilihan dan motivasi
yang melandasinya. Terlepas dari persoalan ikhtilaf, yang jelas bahwa Nabi
Muhammad saw merupakan sosok yang pantas diteladani, berakhlak mulia, dan
dibimbing Allah dalam setiap gerak dan langkahnya.
Bagi
saya, daripada merayakan hari ulangtahun perusahaan atau
keluarga kita, lebih baik mengekspresikan kegembiraan atas lahirnya Rasulullah
saw dengan ekspresi sederhana: membaca shalawat kepada Nabi dengan sepenuh hati dan menyantuni dengan berbagi
sedikit harta untuk anak yatim piatu atau orang-orang dhuafa. Kedua aktivitas
tersebut diperintahkan dalam Quran (Al-Ahzab: 56 dan Al-Ma’un: 1-3) dan hadis-hadis
Rasulullah saw. Karena itu, dengan
melakukan keduanya pasti akan diakui sebagai orang yang menegakkan sunnah
nabawiyyah. Wallahu a’lam bi shawab; wasshalli
ala Muhammad wa ala aali Muhammad; wasalaamun ‘alaihi yauma wu lida wa yauma
yamuutu wa yauma yub’asu hayyaa. *** (AHMAD SAHIDIN, penulis buku Tanda-Tanda Kiamat
Mendekat)