Rabu, 09 November 2022

Maulid Nabi: Menegakkan Sunnah Nabawiyyah

ALHAMDULILLAH tiba juga kita pada Rabiul Awwal, bulan dilahirkannya Muhammad bin Abdullah: Rasulullah shallallaahu alaihi wa aalihi wassalaam (saw). Kelahiran Nabi merupakan awal perubahan sejarah peradaban manusia. Masa kehidupan pralahir Nabi Muhammad saw dikenal jahiliah dan banyak pelanggaran hak asasi manusia yang dilegalkan atas nama otoritas bangsawan dan penguasa. Nabi Muhammad saw sejak masa kecil hingga menjelang pengangkatannya menjadi Nabi dan Rasul menyaksikan kebejadan moral dan hancurnya nilai-nilai kemanusiaan sehingga Nabi berupaya untuk mengubahnya dengan menyempurnakan akhlak dan menyadarkan pentingnya nilai-nilai Islami dalam kehidupan di dunia.  

Ikhtilaf tanggal lahir

Dalam buku-buku sejarah Nabi Muhammad saw (sirah nabawiyah) terdapat dua versi tanggal mengenai lahirnya Muhammad saw, yaitu 12 dan 17.  Tanggal 12 didasarkan pada keterangan ahli sejarah Al-Mas’udi dan Syaikh Kulaini yang jatuh pada hari ahad (minggu). Lalu, kenapa ada yang menyebutkan hari senin? Kemungkinan merujuk pada hadis Nabi yang memerintahkan puasa senin dan kamis dengan menyebutkan Nabi lahir pada hari tersebut.

Al-Faqih Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd atau yang biasa dikenal Ibnu Rusyd (lahir 1126 dan wafat 1198 Masehi) dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid bagian kitab puasa bab puasa sunat, menyebutkan puasa senin dan kamis diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam kajian hadis, Abu Dawud tidak termasuk muhadis yang kuat kalau dilihat dari urutan muhadis Ahlussunah. Ulama sepakat bahwa Bukhari dan Muslim lebih utama tentang kesahihan hadis. Berdasarkan pada analisa hadis puasa tersebut tampaknya tidak bisa dijadikan pegangan untuk menyebutkan lahir Nabi hari senin.

Sementara yang menyebutkan Nabi lahir tanggal 17 hari Jumat saat fajar terbit merujuk pada keterangan ahli sejarah Syaikh Abbas Al-Qummi dan Syaikh Ath-Thusi menyebut malam 17 Rabiul Awwal (lihat Kitab Mafatihul Jinan, jilid 2, halaman 392). Sumber keterangannya diriwayatkan dari Keluarga Nabi (Ahlulbait).

Secara akal sehat dapat dicerna bahwa yang mengetahui lahir seorang anak adalah  orangtua dan keluarga terdekatnya. Berkaitan dengan informasi kelahiran seseorang, pasti orang yang berpikiran sehat akan lebih percaya kepada keluarga yang melahirkan dari pada orang lain.

Meski beda, tetapi ulama dan ahli sejarah dari mazhab Ahlussunnah dan Ahlulbait  sepakat bahwa Nabi akhir zaman lahir pada Rabiul Awwal tahun gajah atau 570 Masehi. Disebut tahun gajah karena pada masa itu telah terjadi pasukan Abrahah yang menunggang gajah hendak menghancurkan Ka’bah (Baitullah). Mereka juga sepakat Muhammad saw adalah putra dari Abdullah dan Aminah serta berasal dari keturunan Nabi Ibrahim as dari jalur Nabi Ismail as. Sepakat juga tentang tempat lahirnya di kaki Gunung Qubaisyi, daerah Suqullail, kota Makkah.

Dalam penanggalan kalender Masehi, ahli sejarah dari India Dr.Maulana Wahiduddin Khan dalam buku Muhammad: Nabi untuk Semua (Jakarta: Alvabet, 2005, halaman 21) menyebutkan Muhammad bin Abullah lahir pada 22 April 570 dan wafat 8 Juni 632 Masehi. 

Ikhtilaf merayakan maulid

Ulama dan umat Islam dalam merespon hari kelahiran Nabi (maulud) terbagi dalam dua pandangan. Pertama, tidak merayakannya karena tidak ada anjuran dan tidak dilakukan Nabi. Wajar mereka berargumen demikian karena tidak mungkin saat Nabi lahir langsung meminta dirayakan. Sejarah menyebutkan Abdul Muthalib (kakek Nabi) membawanya dikelilingkan di depan Ka’bah sebagai ungkapan gembira. Yang gembira dan bahagia hanya kakek, ibunda, dan keluarganya. Nabi saat ini masih bayi. Atas inilah tidak heran kalau mereka tidak merasa gembira dan tidak menganggap penting untuk dirayakan.

Kedua, membolehkan untuk merayakannya sebagai ungkapan gembira atau syukur kepada Allah atas nikmat yang terbesar dengan diturunkannya Sang Nabi akhir zaman yang kemudian membimbing umat manusia ke jalan-Nya. Argumennya berasal dari penyambutan Rasulullah saw saat Al-Hasan, cucunya, lahir yang kemudian didoakan Nabi dan membagikan makanan kepada orang-orang sekitar. Juga didasarkan pada surah Maryam ayat 15 bahwa Allah berfirman, “Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” Ayat ini merujuk pada kelahiran Nabi Isa as yang di dalamnya terdapat doa selamat atas kelahirannya. Mereka menjadikan ayat tersebut sebagai argumen untuk merayakan maulid dan ekspresi kecintaan kepada Rasulullah saw sebagai dasar dari perayaannya. Kalau sudah cinta, pasti bukan lagi logis atau tidak logis, tetapi sudah wilayah ‘rasa’ yang hanya dapat diketahui pelakunya.

Kalau ditanya: merayakan atau tidak? Jawabannya bergantung pada pilihan dan motivasi yang melandasinya. Terlepas dari persoalan ikhtilaf, yang jelas bahwa Nabi Muhammad saw merupakan sosok yang pantas diteladani, berakhlak mulia, dan dibimbing Allah dalam setiap gerak dan langkahnya.

Bagi saya, daripada merayakan hari ulangtahun perusahaan atau keluarga kita, lebih baik mengekspresikan kegembiraan atas lahirnya Rasulullah saw dengan ekspresi sederhana: membaca shalawat kepada Nabi dengan sepenuh hati dan menyantuni dengan berbagi sedikit harta untuk anak yatim piatu atau orang-orang dhuafa. Kedua aktivitas tersebut diperintahkan dalam Quran (Al-Ahzab: 56 dan Al-Ma’un: 1-3) dan hadis-hadis Rasulullah saw.  Karena itu, dengan melakukan keduanya pasti akan diakui sebagai orang yang menegakkan sunnah nabawiyyah. Wallahu a’lam bi shawab; wasshalli ala Muhammad wa ala aali Muhammad; wasalaamun ‘alaihi yauma wu lida wa yauma yamuutu wa yauma yub’asu hayyaa. *** (AHMAD SAHIDIN, penulis buku Tanda-Tanda Kiamat Mendekat)