Dr. Haidar Bagir dalam Buku Saku Tasawuf menceritakan sebuah kejadian pada zaman Rasulullah saw yang berkaitan dengan ihsan. Sebagaimana kita ketahui bahwa selain iman dan Islam (syariat), terdapat pula ihsan yang mengokohkan bangunan keislaman seorang Muslim atau Muslimah.
Al-kisah, pada suatu pagi setelah shalat jamaah shubuh, penglihatan Rasulullah tertumbuk pada seorang anak muda bernama Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari. Badannya kurus, mukanya pucat, dan kedua matanya sendap. Apabila dilihat sepintas dia tampak seperti linglung. Kepada anak muda itu Rasulullah saw bertanya, ”Bagaimana keadaanmu?”
“Saya
telah sampai pada keimanan tertentu,“ jawabnya.
“Apakah tanda-tanda keimananmu?” tanya Nabi Muhammad
saw kembali.
Anak
muda itu menjawab, ”Keimanan telah menenggelamkan saya dalam kesedihan.”
Kemudian
bercerita bahwa hal tersebut telah membuatnya tidak bisa tidur pada malam hari
karena terus ingin beribadah dan selalu dahaga pada siang hari karena berpuasa.
Singkatnya,
keadaan yang dialami Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari telah sepenuhnya
menceraikannya dari dunia ini dan segala urusannya sehingga seolah-olah dia
dapat melihat ’arasy Allah telah ditegakkan untuk memulai perhitungan
atas segala perbuatan umat manusia dan melihat seluruh manusia telah
dibangkitkan dari kematian.
Haritsah
bin Malik Nu’man Al-Anshari mengatakan bahwa pada saat itu ia merasa dapat
melihat para ahli surga menikmati karunia-karunia Allah dan para ahli neraka
menderita siksaan-siksaannya serta dapat mendengar gemuruh jilatan apinya.
Mendengar itu, Nabi Muhammad saw menoleh kepada para sahabatnya sambil berkata,
”Ini adalah seseorang yang hatinya telah disinari dengan cahaya keimanan oleh
Allah.”
Lalu
Nabi Muhammad saw berpesan kepada Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari, ”Pertahankan
keadaaanmu ini dan jangan biarkan ia lepas darimu.”
Haritsah
bin Malik Nu’man Al-Anshari tersenyum kemudian berkata, ”Ya Rasulullah,
doakanlah aku agar Allah mengaruniaiku dengan syahadah.”
Diceritakan
bahwa setelah pertemuan itu terjadilah sebuah peperangan dan Haritsah bin Malik
Nu’man Al-Anshari pun mendapatkan syahadah.
Dalam
khazanah tasawuf, riwayat di atas seringkali dikutip sebagai dalil
dibenarkannya menjalani praktik sufistik dan riyadhah spiritual dalam
Islam. Bahkan, filsuf dan sufi Muhammad Iqbal menyebutnya sebagai bentuk
penelitian yang dilalukan Nabi Muhammad terhadap gejala psikologi spiritual
yang dalam sejarah lebih dikenal sebagai gejala sufistik.
Menurut
Haidar Bagir, riwayat di atas dapat dimaknai sebagai ilustrasi pemahaman ihsân
yang dianggap sebagai dasar penghayatan kesufian bersama prinsip-prinsip iman
dan Islam membangun kelengkapan ajaran Islam. Sebagaimana telah diketahui dalam
hadits yang populer bahwa ihsan adalah seseorang yang beribadah dalam
keadaan seolah-olah ia melihat Allah atau meskipun ia tidak dapat melihat-Nya, tetapi
ia yakin bahwa Allah Melihatnya.
Secara
praktis atau amaliah ibadah, ihsan bisa disamakan dengan zuhud. Sebagaimana
kita ketahui dalam khazanah ilmu keislaman, zuhud diartikan sebagai sikap dan
perilaku yang lebih mementingkan akhirat atau spiritualitas ketimbang kehidupan
dunia. Karena itu, perilaku atau praktik zuhud dapat disebut sisi praktis dari ihsan.
Murtadha
Muthahhari, dalam buku Neraca Kebenaran dan Kebatilan menjelaskan arti zuhud
dengan merujuk pada kamus Al-Munjid sebagai aktivitas meninggalkan dunia untuk
menyepi guna beribadah. Menurut Muthahhari bahwa agama Islam memang menganjurkan manusia
menjalani kezuhudan demi tercapainya tujuan menjadi manusia yang beriman atau
manusia ihsan. Meski tidak ada penjelasan yang pasti, zuhud dalam
Islam dapat dimaknai ‘menutup mata dari kenikmatan halal duniawi', tetapi tidak
melupakan urusan sosial dan kemanusiaan. Misalnya, tatkala seseorang berhadapan
dengan orang yang lebih memerlukan kebutuhan hidup, seorang Muslim yang zuhud
dan ihsan akan berusaha memberikan bantuannya karena membantu sesama
manusia akan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Karena itu, seorang
manusia ihsan akan mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang
kepentingan dirinya sendiri dan bersikap dermawan. Kezuhudan semacam inilah
yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali bekerja keras, tetapi tidak memakan
hasilnya sendiri malah dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Imam
Ali tidak berpakaian yang bagus-bagus sehingga dapat membeli pakaian untuk
orang lain.
Bahkan,
perilaku Imam Ali menurun kepada cucunya,
Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali. Diriwayatkan bahwa ketika
menjalankan shaum sunnah, Imam Ali Zainal Abidin menyuruh pembantunya untuk
menyiapkan santapan untuk berbuka. Makanan yang dimasak waktu itu berupa daging
kambing. Mereka pun memasaknya. Ketika tiba waktu berbuka, Imam Ali Zainal
Abidin duduk di hadapan hidangan kemudian menyuruh pembantunya membawa makanan
tersebut untuk dibagikan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang
membutuhkan. Sedangkan untuk keluarganya, Imam Ali Zainal Abidin hanya
menyisakan secukupnya. Inilah salah satu contoh praktik zuhud atau bentuk
penerapan ajaran ihsan; karena dalam Islam seorang Muslim harus lebih
mengutamakan orang lain dan berempati terhadap segenap derita saudaranya.
Mereka
yang berperilaku zuhud dengan dilandasi prinsip ihsan tercantum dalam Al-Quran,
"Dan mereka memberi makan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak
yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata
mengharap ridha Allah, serta tidak mengharapkan balasan dan juga rasa terima
kasih." (QS Al-Insan [76]: 8-9) *** (ahmad sahidin)