Rabu, 02 November 2022

Ihsan dan Zuhud

Dr. Haidar Bagir dalam Buku Saku Tasawuf menceritakan sebuah kejadian pada zaman Rasulullah saw yang berkaitan dengan ihsan. Sebagaimana kita ketahui bahwa selain iman dan Islam (syariat), terdapat pula ihsan yang mengokohkan bangunan keislaman seorang Muslim atau Muslimah.

Al-kisah, pada suatu pagi setelah shalat jamaah shubuh, penglihatan Rasulullah tertumbuk pada seorang anak muda bernama Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari. Badannya kurus, mukanya pucat, dan kedua matanya sendap. Apabila dilihat sepintas dia tampak seperti linglung. Kepada anak muda itu Rasulullah saw bertanya, ”Bagaimana keadaanmu?”

“Saya telah sampai pada keimanan tertentu,“ jawabnya.

 “Apakah tanda-tanda keimananmu?” tanya Nabi Muhammad saw kembali.

Anak muda itu menjawab, ”Keimanan telah menenggelamkan saya dalam kesedihan.”

Kemudian bercerita bahwa hal tersebut telah membuatnya tidak bisa tidur pada malam hari karena terus ingin beribadah dan selalu dahaga pada siang hari karena berpuasa.

Singkatnya, keadaan yang dialami Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari telah sepenuhnya menceraikannya dari dunia ini dan segala urusannya sehingga seolah-olah dia dapat melihat ’arasy Allah telah ditegakkan untuk memulai perhitungan atas segala perbuatan umat manusia dan melihat seluruh manusia telah dibangkitkan dari kematian.

Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari mengatakan bahwa pada saat itu ia merasa dapat melihat para ahli surga menikmati karunia-karunia Allah dan para ahli neraka menderita siksaan-siksaannya serta dapat mendengar gemuruh jilatan apinya. Mendengar itu, Nabi Muhammad saw menoleh kepada para sahabatnya sambil berkata, ”Ini adalah seseorang yang hatinya telah disinari dengan cahaya keimanan oleh Allah.”

Lalu Nabi Muhammad saw berpesan kepada Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari, ”Pertahankan keadaaanmu ini dan jangan biarkan ia lepas darimu.”

Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari tersenyum kemudian berkata, ”Ya Rasulullah, doakanlah aku agar Allah mengaruniaiku dengan syahadah.”

Diceritakan bahwa setelah pertemuan itu terjadilah sebuah peperangan dan Haritsah bin Malik Nu’man Al-Anshari pun mendapatkan syahadah.

Dalam khazanah tasawuf, riwayat di atas seringkali dikutip sebagai dalil dibenarkannya menjalani praktik sufistik dan riyadhah spiritual dalam Islam. Bahkan, filsuf dan sufi Muhammad Iqbal menyebutnya sebagai bentuk penelitian yang dilalukan Nabi Muhammad terhadap gejala psikologi spiritual yang dalam sejarah lebih dikenal sebagai gejala sufistik.

Menurut Haidar Bagir, riwayat di atas dapat dimaknai sebagai ilustrasi pemahaman ihsân yang dianggap sebagai dasar penghayatan kesufian bersama prinsip-prinsip iman dan Islam membangun kelengkapan ajaran Islam. Sebagaimana telah diketahui dalam hadits yang populer bahwa ihsan adalah seseorang yang beribadah dalam keadaan seolah-olah ia melihat Allah atau meskipun ia tidak dapat melihat-Nya, tetapi ia yakin bahwa Allah Melihatnya.

Secara praktis atau amaliah ibadah, ihsan bisa disamakan dengan zuhud. Sebagaimana kita ketahui dalam khazanah ilmu keislaman, zuhud diartikan sebagai sikap dan perilaku yang lebih mementingkan akhirat atau spiritualitas ketimbang kehidupan dunia. Karena itu, perilaku atau praktik zuhud dapat disebut sisi praktis dari ihsan.

Murtadha Muthahhari, dalam buku Neraca Kebenaran dan Kebatilan menjelaskan arti zuhud dengan merujuk pada kamus Al-Munjid sebagai aktivitas meninggalkan dunia untuk menyepi guna beribadah. Menurut Muthahhari bahwa agama Islam memang menganjurkan manusia menjalani kezuhudan demi tercapainya tujuan menjadi manusia yang beriman atau manusia ihsan. Meski tidak ada penjelasan yang pasti, zuhud dalam Islam dapat dimaknai ‘menutup mata dari kenikmatan halal duniawi', tetapi tidak melupakan urusan sosial dan kemanusiaan. Misalnya, tatkala seseorang berhadapan dengan orang yang lebih memerlukan kebutuhan hidup, seorang Muslim yang zuhud dan ihsan akan berusaha memberikan bantuannya karena membantu sesama manusia akan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Karena itu, seorang manusia ihsan akan mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri dan bersikap dermawan. Kezuhudan semacam inilah yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali bekerja keras, tetapi tidak memakan hasilnya sendiri malah dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Imam Ali tidak berpakaian yang bagus-bagus sehingga dapat membeli pakaian untuk orang lain.

Bahkan, perilaku Imam Ali menurun kepada cucunya,  Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali. Diriwayatkan bahwa ketika menjalankan shaum sunnah, Imam Ali Zainal Abidin menyuruh pembantunya untuk menyiapkan santapan untuk berbuka. Makanan yang dimasak waktu itu berupa daging kambing. Mereka pun memasaknya. Ketika tiba waktu berbuka, Imam Ali Zainal Abidin duduk di hadapan hidangan kemudian menyuruh pembantunya membawa makanan tersebut untuk dibagikan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan untuk keluarganya, Imam Ali Zainal Abidin hanya menyisakan secukupnya. Inilah salah satu contoh praktik zuhud atau bentuk penerapan ajaran ihsan; karena dalam Islam seorang Muslim harus lebih mengutamakan orang lain dan berempati terhadap segenap derita saudaranya.

Mereka yang berperilaku zuhud dengan dilandasi prinsip ihsan tercantum dalam Al-Quran, "Dan mereka memberi makan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata mengharap ridha Allah, serta tidak mengharapkan balasan dan juga rasa terima kasih." (QS Al-Insan [76]: 8-9) *** (ahmad sahidin)