PADA suatu malam, Imam Ali bin Abi Thalib as bersama salah seorang sahabatnya berjalan melewati sebuah gang di Kufah, Irak. Dari gang itu, keduanya mendengar lantunan suara yang membaca al-Quran yang terasa menyentuh hati. Ayat yang didengar Imam dan sahabatnya itu adalah, “Apakah kamu wahai orang-orang musyrik yang lebih beruntung atau orang-orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan dia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat tuhannya?” (QS Az-Zumar: 9)
“Alangkah
bahagia orang ini. Keselamatan dan kebahagiaan baginya,” gumam sahabat Imam
Ali. Mendengar itu, Imam Ali menoleh
kepada sahabatnya sambil berucap, “Tunggu dulu! Engkau jangan iri dengannya!”
Sahabat Imam Ali bingung dengan ucapan yang dikemukakan olehnya. Namun, tidak
berani bertanya dan malah kembali melanjutkan perjalanannya.
Selang
beberapa waktu setelah kejadian malam itu, terjadilah Perang Nahrawan
antara Imam Ali bin Abi Thalib melawan
kaum Khawarij, pasukan ekstrem yang membelot dari barisan Islam pascaperang
Shiffin. Dalam Perang Nahrawan itu pasukan Islam yang dipimpin Imam Ali bin Abi
Thalib berhasil mengalahkan kaum Khawarij. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian memeriksa
pasukan Khawarij yang terbunuh dan melihat salah seorang mayat. Setelah
mendekati mayat tersebut, Imam Ali bin Abi Thalib memanggil sahabatnya yang
pernah berjalan di malam hari bersamanya di kota Kufah.
“Mayat ini adalah orang yang yang dahulu melakukan shalat tahajjud dan membaca al-Quran di malam itu,” ujar Imam Ali sambil menunjuk pada mayat. Sahabat tersebut tertegun dan kaget, ternyata yang dikiranya saleh karena shalat malam dan membaca al-Quran itu berada dalam barisan musuh Islam.
Demikian
kisah sejarah yang saya temukan dalam buku Islam dan Tantangan Zaman karya
Murtadha Muthahhari. Muthahhari mengutip sebuah hadits dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Zaid
bin Khalid al-Juhani bahwa Imam Ali bin Abi Thalib berkata dalam sebuah
pertemuan, “Aku mendengar Rasulullah saw berkata: ‘Kelak akan muncul dari
umatku ini suatu kaum yang tekun membaca al-Quran, bacaan mereka tidak berbeda
dengan bacaan kalian, shalat mereka tidak berbeda dengan shalat kalian, dan
puasa mereka pun tidak pula berbeda dengan puasa kalian. Mereka membaca al-Quran
dan mengira bahwa dengan itu mereka memperoleh pahala, padahal justru mendapat
bencana, dan shalat mereka tidak memberi manfaat apa pun terhadap diri mereka.
Mereka keluar dari Islam persis melesatnya anak panah dari busurnya, dan kalau
para prajurit yang menemukan mereka dan harus melaksanakan perintah yang
disampaikan oleh Nabinya, hendaknya mereka tidak kebingungan untuk bertindak.
Tanda-tanda kaum itu adalah bahwa di antara mereka itu ada seorang laki-laki
yang punya pundak besar dan memiliki lengan pendek. Di atas pundaknya terdapat
semacam benjolan (punuk) dengan bulu-bulu berambut putih. Kemudian kalian akan
lari meninggalkan mereka lalu bergabung dengan Mu’awiyah dan orang Syam, lalu
membiarkan mereka menawan dan merampok anak dan harta benda kalian. Demi Allah!
Aku berharap bisa bertemu dengan mereka karena sesungguhnya mereka menumpahkan
darah yang haram ditumpahkan, merampas ternak dan menawan penggembalanya.’”
Sejarah
mencatat bahwa kaum yang diceritakan tersebut adalah kaum Khawarij. Setelah keluar
dari barisan Islam, mereka melakukan kezaliman terhadap umat Islam yang
pahamnya berbeda. Mereka juga membuat standar aturan agama secara harfiah. Kaum
Khawarij juga sering melakukan investigasi akidah terhadap orang-orang yang
ditemuinya. Jika ada orang yang mengaku Muslim ditanyakan perihal keimanan Imam
Ali bin Abi Thalib dan para sahabat besar seperti Umar bin Khaththab, Abu
Bakar, Ustman, atau Muawiyah yang memberontak. Jika mengatakan beriman maka
berakhirlah hidupnya di tempat itu. Kalau mengatakan tidak tahu, selamatlah jiwanya. Mereka juga berbeda dalam
memperlakukan orang. Jika seorang Muslim, akan selalu dicurigai. Apabila
non-Muslim, amanlah. Keberadaan mereka tidak lama karena penguasa Dinasti Umayyah
tak menghendakinya. Sedikit demi sedikit punahlah mereka.
Menurut Muthahhari bahwa ada dua hal yang menyebabkan seseorang atau firqah (kelompok agama) ekstrem. Pertama dikarenakan menafsirkan nash-nash Islam secara harfiah dan tak mau menggali khazanah ilmu-ilmu Islam yang lebih luas. Kedua dikarenakan kebodohan (jahl) dan kejumudan (tafrith) pola pikir. Kalau dilihat dari ciri dan karakternya, pada masa sekarang pun terdapat orang-orang yang terjerumus dalam ekstremisme agama seperti Khawarij. Mereka inilah orang-orang yang terjebak dalam pemikiran mentah dan reaksioner hingga mengekspresikan kegelisahannya dengan tindakan anarkis dan kekerasan, bahkan teror. Padahal dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS Al-Kahfi: 103-104). *** (ahmad sahidin)
Catatan: naskah ini pernah dimuat Majalah Itrah, Edisi Juni 2012