Sabtu, 22 Februari 2020

Resensi buku (terjemahan) Hayatul Qulub

Akhirnya tuntas juga membaca buku Hayatul Qulub. Sebuah buku sejarah yang diterbitkan Mizan, Bandung. Hanya sekadar membaca tanpa studi kritik historis. Tidak lebih dari membaca saja. Tidak sempat melakukan cek sumber aslinya. Dan saya percaya pada penulisnya, Sayyid Muhammad Baqir Al-Majlisi, adalah ulama yang luar biasa dalam pengetahuan keagamaannya.

Al-Majlisi wafat tahun 1699 Masehi di Isfahan, Iran. Ia hidup pada zaman dinasti Safawiyah yang berkuasa di kawasan Asia Barat, khususnya Persia. Safawiyah bisa dikenal sebagai kerajaan yang menetapkan Syiah Itsna Asyariyah atau Imamiyyah sebagai mazhab resmi. Mazhab Syiah ini kini populer disebut pengikut Ahlulbait.

Al-Majlisi dikenal sosok ulama mazhab Syiah yang menjadi rujukan dalam urusan agama Islam bagi kaum Syiah. Hayatul Qulub memang dikenal buku rujukan untuk sejarah dengan cita rasa mazhab Syiah. Dan penerbit Mizan sudah berbaik menerjemahkan jilid pertama dan menerbitkannya. Sayang tidak ada kelanjutan dari buku tersebut. Buku jilid satu ini cukup tebal sekira 300 halaman. Saya menanti jilid lanjutan dari kitab Hayatul Qulub ini.

Buku Hayatul Qulub jilid satu ini menguraikan sejarah para nabi Allah. Mulai dari Nabi dan peristiwa pembangkangan Iblis, Syith, Idris, Nuh, Hud, Musa, Ibrahim, dan Ismail. Kota-kota dengan kaumnya yang dihancurkan Allah akibat pembangkangan kepada ajaran para Nabi pun dibahas. Peristiwa ashabul kahfi, dan unta Nabi Saleh pun masuk dalam narasi buku.

Narasi yang dibangun dalam buku "Hayatul Qulub" seperti gaya penulisan Ath-Thabari dalam kitab "Tarikh Ar-Rusul wal Muluk" yaitu bercorak riwayah. Yakni memuat riwayat-riwayat tanpa ada sikap dan penilaian atas riwayat yang dimuatnya. Padahal, tradisi kritis dalam hadis atau tarikh sudah berkembang masa kekuasaan dinasti Abbasiyah (pertengahan abad 10-13 Masehi) yang secara historis sebelum munculnya dinasti Safawiyah. Sebagai contoh bisa melihat karya Ibnu Khaldun dengan judul Al-Ibar, yang terkenal bagian pengantarnya, Mukaddimah.

Saya mengira karena riwayat yang dimuat dalam bukunya itu "merasa" tidak perlu dipertanyakan karena yang menyampaikan atau penuturnya para Imam Syiah. Dan sudah mafhum di kalangan Syiah bahwa para Imam Syiah adalah ma'sum (terjaga dari salah dan tidak ada dosa) sehingga tanpa perlu kritik. Dari aspek ini kajian atas buku "Hayatul Qulub" akan berhenti dan tinggal yakin saja dengan narasi-narasi sejarah dimuat dalam "Hayatul Qulub". Saya percaya di masa kini tentu ada ulama yang bersikap kritis pada kitab tersebut.

Secara historiografis, buku Hayatul Qulub berbasiskan pada "the great man" dan "the great time" dalam penulisannya. Tokoh "besar" para Nabi muncul dan yang berperan penuh dalam sejarah. Juga otoritas "sumber" kebenaran bersandar dari para Imam, yang jelas-jelas sebagai orang "besar" yang tidak diragukan otentisitas informasinya.

Peristiwa-peristiwa "dahsyat" atas murka Tuhan pada kaum penentang pun menjadi narasi sejarah yang utama dibandingkan aspek sosial kultural kaum terdahulu, yang berperilaku tidak sejalan dengan doktrin agama Islam.

Mungkin untuk sejarawan masa kini aspek sosial kultural pada setiap zaman yang direkonstruksi menjadi bangunan sejarah, akan sangat menjadi perhatian penulisan sejarah. Sebab jika sekadar memuat riwayat saja maka terasa kering saat dibaca. Mungkin mirip kumpulan hadis dan sejarah bukan seperti itu. Kekuatan penulisan sejarah ada pada interpretasi (baik pendekatan hermeneutika maupun semiotika) atas data (peninggalan) arkeologis yang terkait dengan sejarah para Nabi Allah.

Memang amat sulit untuk lepas dari dimensi teologis. Bahkan, untuk orang sekaliber ilmuwan (yang dalam bahasa Arab disebut 'alim atau ulama) pun jika terkait dengan mazhab maka bersikukuh dengan doktrin teologis yang dianutnya. Karena itu, pemahaman (jahil) saya bahwa khazanah ilmu dalam historiografi untuk buku Hayatul Qulub bisa dikatakan mengulang model tadwin at-tarikh dari ulama atau kitab terdahulu seperti Ath-Thabari.

Seharusnya, untuk kemajuan ilmu mestinya tidak berulang, tetapi menyajikan yang baru atau studi tambahan atas model riwayah dalam tadwin at-tarikh al-Islamiyyah.

Ah, sudahlah. Tidak perlu diperpanjang. Mungkin harus syukur kepada Allah dan berucap "hatur nuhun" pada para ulama terdahulu yang menyempatkan dirinya menulis dan mewariskan informasi pada generasi sekarang.

Dan ini satu lagi, di antara yang menarik dari buku Hayatul Qulub adalah kejadian dahsyat yang menimpa kaum yang diazab terjadi pada hari Rabu. Bahkan pembunuhan Habil oleh Qabil pun terjadi pada hari Rabu. Tidak percaya? Baca saja bukunya. *** (ahmad sahidin)