Minggu, 09 Februari 2020

Kultus: Mencari Kehidupan Lain

"RAGA adalah buruk, kehidupan materi adalah buruk, dan jiwa terkurung dalam raga ini. Dengan kematianlah ia akan terbebas dari keburukan, seperti burung yang lepas dari sangkarnya."

"Jadi, segala sesuatu yang berkenaan dengan dunia adalah buruk dan menjadi sumber segala keresahan, kegelisahan, dan penderitaan manusia selama ini."

"Ya, Tuanku. Kehidupan ibarat comberan yang tidak lain hanyalah lumpur yang bau busuk dan hanya cacing-cacinglah yang hidup di dalamnya."

"Seburuk inikah kehidupan ini Ma'ani?"

"Benar Tuanku. Karena itulah kita harus menyingkirkannya dengan kematian."

"Oh, begitu agungnya ajaranmu, Ma'ani."

"Begitulah ajaranku."

"Kalau begitu...bolehkan saya membeberkan jasa padamu Ma'ani?"

"Ya. Aku menginginkannya."

Sang Raja mendekat seraya mencabut pedang. Kemudian dihujamkan tepat di dada Ma'ani. "Kini kau telah terbebas dari penderitaan dan keburukan dunia, Ma'ani," ucap sang Raja sambil mencabut pedang yang menembus di tubuh yang terkulai.

Cerita di atas adalah kisah ajaran Ma'ani--agama kuno (nenek moyang) bangsa Iran—yang pada dekade 1970-an muncul kembali, yang disebarluaskan oleh Shadiq Hidayat, yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, bahkan sebagian besar pemuda Iran yang terpengaruh nekat melakukan aksi bunuh diri. Tindakan ini dilakukan juga secara massal di Guyana oleh pimpinan dan anggota kultus People's Temple, kemudian ajaran seks bebas Baghwan Shri Rajneesh (yang mati karena AIDS), lalu pembakaran diri para penganut kultus Branch Davidian di Waco, Texas, Amerika, sampai pada penyebaran gas beracun di stasiun kereta bawah tanah Tokyo Jepang oleh pengikut Soko Asahara.

Benar. Intinya adalah kematian yang caranya berbeda dan tidak wajar. Bukan kematian biasa. Sesat atau tidak, janganlah dipersoalkan sebab kematian di atas menyangkut dengan keyakinan atau "pengakuan diri" yang luar biasa dari ajaran yang diyakininya—dalam rangka menghubungkan "diri" kepada yang "Maha Transenden" yang ada di "wilayah lain" yang tak terjangkau—karena "jauh" dari jangkauan biasa.

Secara lahiriah, tindakan tersebut bisa dikatakan sikap tolol dan sia-sia yang membinasakan diri dalam kehancuran. “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan” (QS Al-Baqarah, 195), demikian kata Quran. Namun, apakah setiap kematian (dengan cara bunuh diri) adalah kebinasaan? Apakah setiap kehidupan adalah keberuntungan? Tidak! Kebinasaan dan keberuntungan tidak terletak pada kematian dan kehidupan, tapi pada tujuan yang menyertainya.

Dalam setiap agama atau ajaran apa pun,  saya yakin, ada dan memunyai tujuan yang hendak dan ingin diraih penganutnya. Keselamatan dan kebahagiaan adalah dua dari beberapa tujuan yang terdapat di dalamnya. Tujuan adalah harapan yang ingin didapatkan sekaligus diraih sebagai "prestasi" yang berdasar atas kesadaran "diri" yang menginginkan sesuatu atas apa yang diharapkannya. Dalam doktrin Syi'ah ada yang disebut Syahadah. Sebuah kesaksian yang berangkat dari satu tujuan yang suci dan pengorbanan yang diberikan dengan penuh kesadaran.

Dalam hal ini, logika yang digunakan berbeda dengan logika biasa. Ali Syari'ati menyebutnya alogical. Bukan tindakan yang logis atau kewajaran manusia dan bukan pula tindakan tidak logis yang dilakukan orang-orang gila, tetapi yang melampaui analisis logis dan tidak logis. A logical adalah aksi atau tindakan yang muncul dari hak-hak dan ambisinya demi meraih sesuatu yang lebih mulia. Inilah tindakan yang jauh dari pemahaman kita. Sebuah pengorbanan demi dan untuk menemukan bentuk "kehidupan" yang lain. Bukan kematian yang menjemput, melainkan keyakinanlah yang menjemput kematiannya. Kematian bukanlah kebinasaan, tapi justru menjadi penegas atas adanya "kehidupan" yang diyakininya.

Bagi mereka yang melakukan aksi dan tindakan alogical adalah sama seperti tindakan yang dilakukan Socrates, yang berani meminum racun demi mempertahankan keyakinan filsafatnya; Al-Hallaj, yang ikhlas dimutilasi atas keyakinannya; Hamzah Fansuri, yang rela dibakar hidup-hidup di tengah kobaran api; Syaikh Siti Jenar, yang memilih menghentikan napasnya daripada menghentikan spiritualitas yang dijalaninya.

Dalam hal ini, kematian adalah pintu kehidupan lain. Gerbang yang mempertemukan dua kekasih yang saling merindukan pertemuan. Sebuah jalan untuk kembali ke tempat asali-yang sejati. *** (ahmad sahidin)