"RAGA adalah buruk, kehidupan materi
adalah buruk, dan jiwa terkurung dalam raga ini. Dengan kematianlah ia akan
terbebas dari keburukan, seperti burung yang lepas dari sangkarnya."
"Jadi, segala sesuatu yang berkenaan
dengan dunia adalah buruk dan menjadi sumber segala keresahan, kegelisahan, dan
penderitaan manusia selama ini."
"Ya, Tuanku. Kehidupan ibarat comberan
yang tidak lain hanyalah lumpur yang bau busuk dan hanya cacing-cacinglah yang
hidup di dalamnya."
"Seburuk inikah kehidupan ini
Ma'ani?"
"Benar Tuanku. Karena itulah kita harus
menyingkirkannya dengan kematian."
"Oh, begitu agungnya ajaranmu,
Ma'ani."
"Begitulah ajaranku."
"Kalau begitu...bolehkan saya membeberkan
jasa padamu Ma'ani?"
"Ya. Aku menginginkannya."
Sang Raja mendekat seraya mencabut pedang.
Kemudian dihujamkan tepat di dada Ma'ani. "Kini kau telah terbebas dari
penderitaan dan keburukan dunia, Ma'ani," ucap sang Raja sambil mencabut
pedang yang menembus di tubuh yang terkulai.
Cerita di atas adalah kisah ajaran
Ma'ani--agama kuno (nenek moyang) bangsa Iran—yang pada dekade 1970-an muncul
kembali, yang disebarluaskan oleh Shadiq Hidayat, yang mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri, bahkan sebagian besar pemuda Iran yang terpengaruh nekat
melakukan aksi bunuh diri. Tindakan ini dilakukan juga secara massal di Guyana
oleh pimpinan dan anggota kultus People's Temple, kemudian ajaran seks bebas
Baghwan Shri Rajneesh (yang mati karena AIDS), lalu pembakaran diri para
penganut kultus Branch Davidian di Waco, Texas, Amerika, sampai pada penyebaran
gas beracun di stasiun kereta bawah tanah Tokyo Jepang oleh pengikut Soko
Asahara.
Benar. Intinya adalah kematian yang caranya
berbeda dan tidak wajar. Bukan kematian biasa. Sesat atau tidak, janganlah
dipersoalkan sebab kematian di atas menyangkut dengan keyakinan atau "pengakuan
diri" yang luar biasa dari ajaran yang diyakininya—dalam rangka
menghubungkan "diri" kepada yang "Maha Transenden" yang ada
di "wilayah lain" yang tak terjangkau—karena "jauh" dari
jangkauan biasa.
Secara lahiriah, tindakan tersebut bisa
dikatakan sikap tolol dan sia-sia yang membinasakan diri dalam kehancuran.
“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan” (QS Al-Baqarah,
195), demikian kata Quran. Namun, apakah setiap kematian (dengan cara bunuh
diri) adalah kebinasaan? Apakah setiap kehidupan adalah keberuntungan? Tidak!
Kebinasaan dan keberuntungan tidak terletak pada kematian dan kehidupan, tapi
pada tujuan yang menyertainya.
Dalam setiap agama atau ajaran apa pun, saya yakin, ada dan memunyai tujuan yang
hendak dan ingin diraih penganutnya. Keselamatan dan kebahagiaan adalah dua
dari beberapa tujuan yang terdapat di dalamnya. Tujuan adalah harapan yang
ingin didapatkan sekaligus diraih sebagai "prestasi" yang berdasar
atas kesadaran "diri" yang menginginkan sesuatu atas apa yang diharapkannya.
Dalam doktrin Syi'ah ada yang disebut Syahadah. Sebuah kesaksian yang berangkat
dari satu tujuan yang suci dan pengorbanan yang diberikan dengan penuh
kesadaran.
Dalam hal ini, logika yang digunakan berbeda
dengan logika biasa. Ali Syari'ati menyebutnya alogical. Bukan tindakan yang
logis atau kewajaran manusia dan bukan pula tindakan tidak logis yang dilakukan
orang-orang gila, tetapi yang melampaui analisis logis dan tidak logis. A
logical adalah aksi atau tindakan yang muncul dari hak-hak dan ambisinya demi
meraih sesuatu yang lebih mulia. Inilah tindakan yang jauh dari pemahaman kita.
Sebuah pengorbanan demi dan untuk menemukan bentuk "kehidupan" yang
lain. Bukan kematian yang menjemput, melainkan keyakinanlah yang menjemput kematiannya.
Kematian bukanlah kebinasaan, tapi justru menjadi penegas atas adanya
"kehidupan" yang diyakininya.
Bagi mereka yang melakukan aksi dan tindakan alogical adalah sama seperti tindakan yang dilakukan Socrates, yang berani
meminum racun demi mempertahankan keyakinan filsafatnya; Al-Hallaj, yang ikhlas
dimutilasi atas keyakinannya; Hamzah Fansuri, yang rela dibakar hidup-hidup di
tengah kobaran api; Syaikh Siti Jenar, yang memilih menghentikan napasnya
daripada menghentikan spiritualitas yang dijalaninya.
Dalam hal ini, kematian adalah pintu kehidupan
lain. Gerbang yang mempertemukan dua kekasih yang saling merindukan pertemuan.
Sebuah jalan untuk kembali ke tempat asali-yang sejati. *** (ahmad sahidin)