Dalam buku DAN MUHAMMAD UTUSAN ALLAH karya
Annemarie Schimmel (Mizan, 1994, halaman 46) terdapat kutipan dari kitab Shahifah Hammam Ibnu Munabih karya Hamdullah bahwa
banyak catatan yang menyatakan Umar bin Khaththab menentang periwayatan hadits
dan menghukum orang-orang yang mengkabarkan keistimewaan keluarga Nabi Muhammad
saw. Pelarangan dilakukan karena khawatir terjadinya campur aduk antara wahyu
dan hadits Rasulullah saw.
Tidak kuat
Sayangnya, alasan tersebut tampaknya tidak cukup kuat. Jika dilihat dari
ucapan Aisyah binti Abu Bakar bahwa akhlak Nabi adalah al-Quran. Juga ada hadis
lain: Nabi adalah al-Quran yang berjalan. Artinya, sosok Nabi Muhammad saw
beserta tingkah laku, petuah, perintah, dan larangannya merupakan realisasi
dari wahyu. Karena itu, Nabi Muhammad saw dan al-Quran adalah satu-kesatuan
dari nubuwwah yang mestinya diterima secara lapang dada.
Al-Quran tidak akan bercampur aduk dengan hadits karena Allah Swt yang
menjaganya. Banyak bukti yang muncul bahwa orang-orang yang mencoba mengubah
isi Quran dapat segera diketahui. Bahkan, untuk urusan salah harakat saja cepat
diketahui. Karena itu, sangat tidak mungkin bercampur aduk dengan hadis ketika
berada dalam hafalan kaum Muslim pada masa dahulu.
Melihat sejarah Islam pascawafat Rasulullah saw bukan hanya Umar
yang telah berbuat demikian. Utsman bin Affan pun ketika berkuasa tidak
memberikan toleransi atas munculnya berbagai mushaf Al-Qur’an. Ia, atas
wewenang kekhilafahan membakar mushaf yang berbeda secara susunan dan
menyuguhkan mushaf versinya (dimulai surat al-Fatihah diakhiri surat an-Nas)
agar menjadi pegangan bagi kaum Muslim sampai sekarang.
Begitu juga Abu Bakar memerangi sebagian besar sahabat Nabi saw yang
menolak bai`at dan tidak memberikan tanah ‘fadak’ yang telah diberikan
Rasulullah saw kepada puterinya.
Pada waktu itu, dalam upaya menuntut haknya, Sayyidah Fathimah berpidato
di tengah umat Islam Madinah:
“Kamu sekalian mengira bahwa aku tidak mewarisi?
Apakah hukum jahiliyah yang kalian praktikan sekarang? Tidaklah ada hukum yang
lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin (QS Al-Maidah: 50).
Wahai orang Islam yang telah hijrah, pantaskah harta warisan dari ayahku akan
diambil dariku secara paksa? Apakah ada ketentuan dalam al-Qur’an, bahwa engkau
mewarisi dari ayahmu dan aku tidak mewarisi dari ayahku? Jika itu dibenarkan,
sungguh kalian telah mengerjakan suatu kesalahan yang besar!
“Sungguh di samping ayahku dan kamu sekalian, ada
al-Qur’an yang tertulis, yang akan dihadapkan kepadamu di masyhar. Di sana,
hakimnya Allah Swt dan pemimpinnya adalah Nabi Muhammad saw, yang bertemunya
kelak pada hari kiamat; dan pada waktu tibanya hari kiamat itu, orang-orang
yang berbuat salah akan merugi karena untuk setiap berita (yang dibawa oleh
Rasulullah) itu ada waktu terjadinya dan kelak kamu akan mengetahuinya (QS
Al-Anam: 67).”
Malik bin Anas dalam Al-Muwatha, bab jihad syuhada fi sabilillah, telah
meriwayatkan dari Umar bin Ubaidillah bahwa Rasulullah saw berkata kepada para
syahid di Uhud, “Aku menjadi saksi kepada mereka semua.”
Abu Bakar yang berada ditempat itu berkomentar, “Tidakkah kami wahai
Rasulullah saw saudara-saudara mereka. Kami telah masuk Islam sebagaimana
mereka masuk Islam dan kami telah berjihad di jalan Allah sebagaimana mereka
berjihad?”
Rasulullah saw menjawab, “Ya! Tetapi aku tidak mengetahui bid`ah mana
yang kalian akan lakukan selepasku.”
Al-Bukhari dalam kitab Jami Ash-Shahih, jilid 3, halaman 32, bagian
kitab bad’ al-khalq fi bab ghuzwah al-hudaibiyyah meriwayatkan dengan sanad
dari Al-Ala bin Al-Musayyab dari bapaknya berkata, “Aku berjumpa Al-Barra bin
Azib dan berkata kepadanya: Alangkah beruntungnya Anda karena bersahabat dengan
Nabi saw dan Anda telah membai`at kepada Nabi saw di bawah pohon. Lalu, dia
menjawab, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya Anda tidak mengetahui apa yang
kami telah lakukan selepasnya.”
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda kepada
orang-orang Anshar, “Sesungguhnya kalian akan menyaksikan sifat tamak yang
dahsyat selepasku. Oleh karena itu, bersabarlah sehingga kalian bertemu Allah
dan Rasul-Nya di Haudh.” (Al-Bukhari, Jami Ash-Shahih, jilid III, hal.135)
Ibnu Saad meriwayatkan dalam kitab Thabaqat, jilid VIII, hal. 51, dengan
sanad dari Ismail bin Qais berkata, “Aisyah ketika wafatnya berkata:
sesungguhnya aku telah melakukan bid`ah-bid`ah (ahdathtu) selepas wafat
Rasulullah saw maka kebumikanlah aku bersama-sama istri Nabi saw.”
Mengapa sahabat berbuat seperti itu? Memang jika dibongkar ada beberapa
kejadian yang tidak pernah sampai kepada umat Islam sekarang. Seperti
pembunuhan terhadap keluarga dan keturunan Rasulullah saw yang dilakukan para
penguasa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
Bahkan abad 19 masehi terjadi penghancuran dan perusakan kuburan
Rasulullah saw serta sebagian aksesoris Ka’bah (Baitullah) oleh kaum Muslim
puritan yang dipimpin Muhammad bin Abdul Wahab. Mereka meneriakkan bid’ah dan
menganggap sesat terhadap yang berbeda paham dalam menjalankan ibadah-ibadah
Islam.
Gerakan dan ajaran mereka itu sampai sekarang dipelihara dan menjadi
mazhab resmi kerajaan Arab Saudi serta meluaskan pahamnya ke berbagai negeri
Muslim, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, umat Islam harus mulai mengkaji dan mengkritisi
hadits-hadits maupun sejarah yang sampai kepada kita dengan membandingkannya
dengan sumber kebenaran yang utama: Al-Quran. (ahmad sahidin)